Seorang pemuda bersurai kelam bersenandung di antara deretan polybag yang akan segera ia tanami bibit kopi. Lumayan lah, pikirnya. Daripada harus terus menerus membeli kopi dengan harga mahal, siapa tahu dengan menanam sendiri jadi bisa lebih berhemat. Belum lagi kalau dia dan pegawainya bisa berinovasi dengan kopi lokal ini, bisa untung berkali-kali lipat nantinya.
Namun, ia sendiri belum yakin apakah bisa benar-benar berinovasi atau tidak.
Menjadi mantan mahasiswa bisnis membuatnya sedikit kelimpungan ketika memaksakan diri bertani kopi. Ini bukan keahliannya, jelas ia bingung setengah mati.
Tapi, seorang gadis ramah waktu itu tiba-tiba membantunya, tanpa merasa jijik bermain dengan tanah.
Ketika tanah dan bibit hanya bisa ia pandangi seorang diri, si gadis bersurai hitam yang entah darimana datangnya sambil menenteng kantong plastik menghampirinya, bahkan hampir memukul kepalanya saat itu juga.
Kenapa?
Awan juga tidak tahu.
Tapi yang masih teringat jelas di ingatannya adalah ketika gadis itu bilang bahwa menanam kopi tidak bisa hanya dengan mencangkul tanah dan menyebar bibit. Siapapun juga tahu kalau caranya seperti itu akan gagal seratus persen. Bibit mahal yang sudah dibeli jadi terbuang sia-sia.
Keesokan harinya, gadis itu kembali dengan sekantong polybag yang bahkan Awan tidak pernah menyuruhnya untuk membeli. Gratis untuk sampel, katanya. Dan dengan telaten gadis itu mencontohkan cara bertani kopi yang baik dan benar, beberapa kali juga ia menjelaskan hal-hal yang harus diperhatikan dalam bertani kopi, meski Awan sendiri hanya sibuk menatapi wajah serius si gadis asing.
Ah, sejujurnya gadis itu tidak sepenuhnya asing. Awan sempat kok melihat dia beberapa kali ketika jalan-jalan pagi, hanya saja ia abaikan karena tidak berpikir akan saling mengenal sejauh ini.
Livia namanya. Gadis desa yang sudah mencuri perhatian seorang pemuda Hutama itu.
Ah, hari-hari di masa lalu benar-benar membuatnya tidak bisa untuk tidak bersenandung. Karena hanya dengan mengingat lagu favorit gadis itu, memorinya benar-benar menguar tanpa jeda. Alhasil, ia terus menerus tersenyum sepanjang hari bekerja.
Tapi belum juga waktu menunjukkan tengah hari, ada sebuah bayangan manusia yang berdiri di belakang Awan yang tengah jongkok. Pemuda itu membalik badan dan menemui seseorang yang tak ia sangka akan menatapnya dengan wajah khawatir.
"Awan, tolong paman."
---
Arin sudah mendekam di kamarnya dalam kurun waktu 2x24 jam. Orang tuanya sudah berkali-kali mengetuk pintu hanya untuk menawarkan makanan yang jelas langsung ditolak. Perempuan itu pun paling hanya keluar saat ke kamar mandi saja, dan langsung kembali mengunci pintu kamar.
Oh Arin, tidak biasanya kau jadi semurung ini di rumah sendiri. Di depan pintu, ibunya sedang sibuk menggigit jari. Bingung harus melontarkan kata-kata penenang apalagi demi menghadapi putri satu-satunya yang sedang penuh kelabu.
Begitu si ayah datang terengah-engah entah darimana, si ibu langsung memberondong pertanyaan.
"Bagaimana? Dia mau ke sini?"
Si ayah mengangguk. "Dia sedang bersiap-siap."
Dua orang itu akhirnya bisa bernapas lega, karena setelah ini putri mereka akan segera bersikap normal kembali.
Awan.
Hanya satu nama yang terlintas di kepala mereka, berhubung Arin kemarin menangis setelah pergi dijemput Awan.
"Apa sebaiknya kita ikut mendengarkan?" Si ibu menatap samar-samar si surai kelam yang hampir masuk pelataran rumah mereka.
"Jangan, siapa tahu mereka sedang bertengkar karena masalah cinta-cintaan, bukan? Lebih baik kita pergi saja."
"Oh iya ya, benar. Kalau begitu kita jalan-jalan saja keluar, jadi tidak akan ada yang mengganggu pembicaraan mereka nanti."
Begitu sosok pemuda nampak dari kejauhan, si ayah lantas menunjukkan kamar Arin pada Awan yang baru saja datang.
Jujur saja, sejak awal si ayah ini sudah semangat sekali mengamati perkembangan hubungan anaknya dan Awan.
---
Tok Tok
"Arin, kau di dalam?" Awan berdiri di depan pintu Arin.
Sesuai perintah pak Reynaldio tadi, Awan akhirnya berada di sini. Ia tidak keberatan membantu Arin yang sedang sedi. Hanya saja ia takut kedatangannya justru tidak membantu sama sekali, mengingat kemarin perempuan itu justru marah besar padanya.
Dasar aneh. Yang pengkhianat siapa, yang kena marah siapa.
"Awan ya?"
Ah, ternyata perempuan itu mau menjawab. Syukurlah.
"Iya. Ayah dan ibumu sangat khawatir sampai memanggilku ke sini. Kenapa kau sampai tidak mau makan dua hari? Bukankah itu sedikit… berlebihan?"
Awan langsung sigap menutup telinga, bersiap menerima makian lainnya dari mulut si gadis. Namun, tak keluar satu patah kata pun.
Baiklah, Awan mungkin harus bersiap menerima kemungkinan lain kalau-kalau gadis itu sedang menangis dalam diam di balik pintu.
"Umm, itu… aku tidak bermaksud membawamu dalam masalah. Hanya saja aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku sendiri memang sudah berjanji akan membawamu ke depan Vincent. Dia juga merindukanmu kok."
Terdengar suara tawa yang dipaksakan. "Apa gunanya dia merindukanku kalau dia saja sudah punya orang yang bisa dimanja setiap hari?"
Mari kita luruskan kondisi saat ini. Awan masih ada di depan pintu Arin, tidak dibukakan pintu oleh yang punya kamar. Sementara Arin sendiri sedang duduk menyandar di pintu kamar.
Perempuan itu tidak menangis kok, lagipula ia sudah lelah mengeluarkan air matanya yang sia-sia selama 2 hari. Keadaan tidak juga berubah berpihak padanya.
"Kau bisa cerita masalahmu lagi kalau kau bersedia, Arin."
"Tidak, aku tidak sedang ingin pergi ke kedai atau kemanapun. Aku juga tidak ingin bertemu dengan orang-orang. Mataku bengkak."
Awan beralih duduk dan menyender di pintu. Ia menatap langit-langit rumah Arin, menerawang jauh. Sementara di dalam kamar, si gadis juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua menghela napas lelah.
"Kau tidak sendirian, Arin. Aku juga merasakannya."
"Apa maksudmu?"
Awan sekali lagi menghela napas sebelum bercerita. Cerita tentang masa lalu yang membuatnya nyaris meninggalkan desa ini. Padahal ia sedang mengemban pesan dari Vincent, jadi tak mungkin baginya pergi begitu saja.
Tapi pada dasarnya realita selalu saja menyudutkannya. Ia berakhir menjadi orang yang disalahkan.
"Saat pertama kali aku bertani kopi, aku bertemu seseorang di sini. Dia selalu membantuku, padahal aku tidak minta apapun darinya. Aku saja sampai kaget saat dia setiap hari mengantarkan makanan padaku. Lucunya kami sudah terlihat seperti suami istri."
Suasana hening. Di balik kamar Arin tak melakukan apapun selain mendengarkan.
Awan tertawa sejenak. Dia juga ingin bernostalgia.
"Saat itu aku belum lama membuka kedai, pegawaiku juga masih sedikit. Tapi dia terus saja menyemangatiku, katanya kedai kecilpun pasti punya kesempatan jadi yang paling laris kalau kita punya strategi. Yah, sekarang aku menyimpan strateginya yang tidak akan kubagikan dengan orang lain."
"Sebentar Awan, apa jangan-jangan gadis itu juga yang menyuruhmu mengecat kedaimu jadi berwarna pink?"
"Iya."
"Ah, pantas aku merasa aneh ketika melihat interior kedaimu."
"Dia tiba-tiba sudah menenteng dua kaleng cat tembok. Aku mana mungkin menolak."
Arin terkekeh. "Sepertinya dia sangat menyayangimu."
Awan meluruskan kakinya. "Ya, tapi semua orang tidak menyayangi kami."
Hening lagi. Awan sedang menimang-nimang apakah sebaiknya ia menceritakan masalahnya secara mendetail atau tidak, karena Arin masih orang baru di hidupnya. Si surai kelam berkali-kali memainkan kukunya, masih ada sisa tanah yang tidak tercuci bersih tadi karena buru-buru ke rumah ini.
"Apa kau mau bilang kalau kalian berpisah karena orang-orang tidak setuju?"
Andai saja Arin melihat, saat ini Awan sedang menggeleng kuat-kuat. Orang-orang memang tidak menyayangi hubungannya, tapi mereka tidak sejahat itu dengan memisahkan dirinya dan Livia secara paksa. Tidak. Melainkan ada hal lain yang membuat mereka terpaksa berpisah.
"Apa kau sudah pacaran dengan gadis itu?"
"Tidak, waktu terlalu cepat mengambilnya sebelum aku mengajaknya pacaran."
Arin dengan cepat membuka sedikit pintu kamarnya. Perempuan itu tidak bercanda, matanya benar-benar bengkak.
"Apa maksudmu?"
"Dia sakit, dan aku tidak mengetahuinya selama ini."
Arin membatu, membiarkan Awan bercerita lagi.
"Dia sakit, dan sebenarnya ia tidak bisa berlama-lama berada di luar rumah. Tapi dia bandel, dan menemuiku setiap hari, membawakan ini itu yang pasti terasa berat."
"Sekarang? Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Dia sudah tidak ada, dan itulah kenapa aku sudah tidak menyewa lahan milik ayahnya. Aku selalu saja disalahkan, mereka bilang aku yang membuatnya meninggal. Karena aku, Livia jadi lupa minum obat dan main denganku sepanjang hari sampai lupa waktu."
Arin kembali berkaca-kaca. Terserah dengan matanya yang akan bengkak lebih besar lagi setelah ini, ia tidak peduli. Ia sudah terlanjur larut pada cerita tragis milik lelaki yang kini tengah duduk di depan pintunya.
"Maaf sampai harus membuatmu menceritakan hal seperti itu."
"Tidak apa, asalkan kau tidak jadi orang ke sekian yang menyalahkanku."
Arin diam-diam tersenyum, ia ingin sekali rasanya menertawakan kebodohannya sendiri. Bodoh sekali, ia jadi menyalahkan orang lain yang sama sekali tidak pantas disalahkan.
"Maaf, harusnya aku tidak marah padamu. Masalahku dan Vincent benar-benar tidak ada kaitannya denganmu. Aku minta maaf."
"Begitu dong, kan tidak menyusahkan orang lain." Awan menarik hidung Arin.
"Tapi Awan, kalau tahun baru ini aku ke kota, aku pasti akan bertemu Vincent. Aku harus bagaimana?"
"Biarkan saja, toh dia sudah punya kehidupan sendiri. Mana mungkin orang yang sudah berumah tangga mau jalan-jalan dengan teman perempuannya. Tidak kan?"
Ya, mari berharap semua itu tidak akan terjadi dan biarkan hidup Arin tenang setelah ini. Setidaknya untuk 1 tahun saja, Arin hanya butuh 1 tahun untuk menata hatinya kembali. Agar bisa melihat Vincent sebagai seseorang yang tidak berarti lagi.
"Karena kau sudah membuat bos kedai kopi nostalgia jadi bernostalgia sendiri, kau harus ganti rugi." Awan berubah menyilangkan lengannya.
"Apa yang harus ku lakukan?"
"Bekerja untukku satu hari besok."