Atas dasar ganti rugi yang entah benar atau hanya akal-akalan Awan. Arin menepatinya. Ia kini sedang mengitari seluruh penjuru kedai, mengelap meja. Untuk hari ini saja dia bersedia, awas saja kalau lain kali laki-laki itu menyuruhnya lagi, akan ia guyur dengan kopi.
Tapi bekerja seperti ini menyenangkan juga sih, pikirnya. Ia jadi bisa sedikit mengabaikan masa-masa suramnya di rumah, dan menonton banyak orang di kedai ini. Ia kira kedai yang katanya terkenal sekali ini hanya ramai saat malam saja, ya siapa tahu kan orang-orang lebih suka bernostalgia di malam hari. Tapi nyatanya saat pagi menjelang siang pun sudah ada beberapa pasangan yang duduk di sudut-sudut ruangan.
Arin iri.
Eh tidak! Arin tidak boleh iri! Hari ini pokoknya ia hanya boleh fokus kerja.
Ngomong-ngomong, dimana si bos yang tadi sudah berbenah dari lahan kopi? Sepertinya orang itu menghilang lagi. Arin jadi tidak punya teman bicara. Yah, meskipun tadi Awan sudah memperkenalkannya pada pegawai yang lain, Arin tetap tidak punya keberanian untuk mengganggu orang-orang yang sama-sama sedang sibuk sendiri.
"Ah, dasar orang-orang menyebalkan. Sukanya kembali lagi dan lagi, cerita pun hanya seputar itu-itu saja."
Lamat-lamat perempuan itu mendengar salah satu pegawai laki-laki mendesah lelah di ruang istirahat.
"Kenapa memangnya?" Timpal yang lain.
"Ya kau tahu sendiri lah, pelanggan kita kan banyak, jadi susah mengingat nostalgia milik satu orang saja. Dia pikir aku ini robot curhat?"
Sementara yang lain cekikikan.
"Ya tinggal carikan orang lain lah, kita kan sudah menambah pegawai baru."
"Pegawai baru? Maksudmu perempuan yang bernama Arin itu? Jangan gila! Dia teman bos Awan, bisa habis kita." Akhirnya banyak yang berbisik-bisik.
Sayang sekali, Arin sudah mendengar semuanya.
"Ah iya, aku pikir pegawai tetap."
"Dia cuma punya janji ke bos Awan, makanya ikut kerja untuk hari ini saja."
"Bagaimana bisa begitu? Jangan-jangan dia punya hubungan dengan bos?"
"Hush, jangan bicara yang aneh-aneh. Lagipula pacar bos yang bernama Livia itu belum lama meninggal. Mana mungkin bisa berpindah hati secepat itu."
Livia?
Jadi gadis yang Awan ceritakan kemarin itu Livia? Teman satu sekolah Arin di smp? Lalu, Livia meninggal karena sakit? Kenapa tidak ada satupun orang rumah yang memberitahunya?
Baru hendak mendengar pembicaraan lebih jauh, Arin malah merasakan telinganya ditutup secara paksa. Saat ia menengok ke belakang, ada Awan yang tidak menunjukkan raut muka bahagia sedikitpun.
"Belum waktunya istirahat, cepat kembali kerja!"
Tak lama kemudian para pegawai yang asyik sendiri berhamburan ke sana kemari, kaget dengan kedatangan bos mereka yang tiba-tiba.
"Maaf, jangan didengarkan."
"Awan, orang itu… Livia?"
"Ya?"
"Dia teman sekolahku. Aku tidak menyangka dia yang punya hubungan denganmu."
"Ya sudahlah, memangnya kenapa? Lagipula itu kehidupanku, kau tidak perlu memikirkannya."
Arin menatap Awan iba, namun yang ditatap justru diam saja tanpa ekspresi.
"Kenapa masih lihat-lihat? Cepat kerja!"
"Ah, iya iya bos."
Karena selain minim ekspresi, Awan juga galak kalau sudah bicara masalah pekerjaan.
---
Sore hari, secara kebetulan malah sepi pelanggan. Ya memang sih, ini bukan malam minggu, jadi tidak terlalu difavoritkan orang-orang kasmaran maupun orang-orang suram. Tugas Arin pun sedari tadi hanya berputar-putar pada mengantar pesanan dan mengelap meja. Sementara pegawai lain mengurus sesi nostalgia.
Sekarang Arin sedang duduk di salah satu kursi yang kosong, sembari bermain batu-gunting-kertas dengan si empunya kedai. Mereka sesekali terkekeh saat salah satunya kalah, karena yang kalah harus menerima sentilan di dahi. Entah apa fungsinya dua manusia dewasa memainkan permainan ini, tidak ada yang tahu.
"Sudahlah, aku tidak mau main lagi." Arin berontak, sejak tadi ia kalah.
"Kalau kalah ya jangan marah, cepat kemarikan dahimu."
"Tidak mau, membosankan."
Awan hanya bergumam, mengejek si gadis yang cepat marah.
Keduanya langsung sama-sama diam memandangi ponsel masing-masing, namun tak lama pintu kedai terbuka lagi. Syukurlah, ada pelanggan lagi. Jadi kedatangan Arin tidak terlalu sia-sia sepanjang hari ini.
"Selamat datang di penghujung tahun," Ucap Awan masih tidak mengalihkan pandangannya dari telepon genggam.
Sementara itu Arin yang awalnya hendak tersenyum pada si pelanggan baru, justru tidak jadi karena wajah orang itu yang nampak garang.
Arin kan jadi takut.
"Silahkan dudu-"
Belum sempat Awan menyelesaikan kalimatnya, ia membelalak. Matanya dan mata orang itu langsung bersiborok dalam keheningan. Dan tanpa babibu, si lelaki paruh baya langsung menampar pipi kanan dan kiri Awan hingga lebam.
Arin hampir saja berteriak saking kagetnya. Namun aneh, Awan justru diam saja. Lelaki yang kerap marah-marah pada pegawainya itu tidak melawan sama sekali. Bahkan ketika lengannya ditahan ajudan pria tadi, Awan tetap diam.
Arin yang kebetulan sedari tadi membawa nampan langsung menghampiri pria tadi dan hampir memukul kepalanya, namun tangannya tiba-tiba ditahan ajudan lain. Perempuan itu berang, berkali-kali ia merengek pada ajudan minta nampannya dilepaskan. Sayangnya tidak berhasil.
"Minggir kalian, aku akan memukul orang tua itu!" Arin masih berontak meski ditahan ajudan.
"Arin, jangan." Itu suara Awan.
"Kenapa? Dia tidak boleh sembarangan memukul orang lain begitu, aku harus membalasnya!" Arin menggebu-gebu.
"Dia ayahku."
Arin lantas mematung, ia meneguk ludahnya kepayahan begitu pria yang katanya ayah Awan itu menatapnya marah. "Ma-maaf, paman."
"Siapa gadis ini? Kau pacaran lagi? Belum puas kau buat ayahmu ini malu, hah?!"
Sekali lagi pukulan dilayangkan.
Arin hanya bisa menunduk ngeri kali ini.
"Bukan, dia temanku."
"Ayah sudah tidak tahan mendengar gosip miring yang bisa-bisanya sampai ke telinga tetangga lama kita. Kau sebaiknya cepat pulang dan bereskan kekacauan yang sudah kau buat selama di sini." Ayahnya merapikan jasnya, hendak berbalik pergi.
"Aku tidak pernah membuat kekacauan apapun di sini!" Awan berteriak, membuat ayahnya tidak jadi kemana-mana.
"Masih berani bicara? Kau tidak ingat perempuan yang sudah kau bunuh?"
"Kapan aku membunuhnya?! Aku tidak pernah melakukan hal semacam itu! Penyakit yang membunuhnya! Kenapa ayahku sendiri bahkan menuduhku pembunuh? Apa kau benar-benar ayahku?!" Awan mulai berontak diantara genggaman para ajudan.
"Sudahlah, cepat bereskan semua yang kau punya di sini dan pulang."
"Pulang kemana? Rumahku di sini. Ayah yang membawaku ke sini dan bilang kita bisa tinggal di desa ini untuk selamanya. Kenapa tiba-tiba kembali ke rumah lama? Apa karena ibu memilih pergi bersama laki-laki lain dari desa ini? Ayah pikir kenapa ibu sampai bertingkah begitu? Itu semua karena ayah yang tidak pernah mengerti perasaan ibu! Hanya tahu pergi pagi pulang malam tiap hari!"
Sekali lagi Awan kena pukulan, dan kali ini ia langsung pingsan.
"Awan!"
"Bos!"
---
Awan ada di klinik, dan Arin menemaninya. Pegawai kedai sudah pergi sejak tadi, mereka bilang kedai tidak boleh tutup meski hanya satu hari saja... Yah, Arin mengerti. Lagipula kedai terkenal seperti itu kan pasti antriannya mengular.
Arin sejak tadi hanya melamun di samping jendela. Kolam ikan koi di belakang klinik yang sejujurnya menyejukkan untuk dilihat tidak bisa menarik matanya kali ini.
Arin sibuk, ia memikirkan apa yang tadi disaksikan langsung oleh kedua matanya. Bagaimana dua lelaki tadi berkelahi, saling membentak, memukul, tapi mereka juga-
"A-air,"
"Awan? sudah sadar?" Arin cepat-cepat mendekati laki-laki itu.
"A-air,"
"Ah, air. Sebentar, aku ambilkan."
Arin buru-buru keluar dan kembali lagi membawa sebotol air mineral. Ia langsung membantu Awan yang ingin duduk, baru meminum air yang tadi diminta. Beruntung, dokter tadi bilang luka Awan tidak terlalu parah dan sudah bisa pulang begitu sadar.
"Awan, kau sudah boleh pulang."
"Baguslah, aku tidak betah berlama-lama di ruangan bau obat ini. Eh, tunggu, aku harus bayar biaya administrasinya dulu."
Arin langsung gelagapan. "Ti-tidak usah, sudah dibayar kok."
"Kau yang bayar?" Awan mengerutkan dahi.
"I-iya, aku yang bayar." Gadis itu menunduk, tak berani berlama-lama menatap si lelaki yang wajahnya penuh luka.
"Ak-aku juga sudah dapat gel dan obat lainnya untuk menyembuhkan lukamu, jadi sebaiknya kita langsung pulang saja."
Arin mengangguk. Mereka berdua kini sudah berjalan bersama keluar rumah sakit.
Sebenarnya Arin ngilu. Ia memang sudah banyak melihat kekerasan, apalagi ketika tinggal di negara orang, sudah biasa. Tapi setahunya, desa yang ia tinggali sejak lahir ini damai. Orang yang berada di sini juga pasti baik-baik, tapi kali ini tidak sama sekali. Ah, mungkin dia yang terlalu lugu, sampai mengira semua keluarga punya kondisi yang baik-baik saja.
Masalahnya, setiap umur bertambah, kehidupan juga pasti berubah. Hidup orang lain belum tentu baik-baik saja, meski kelihatannya begitu. Masih beruntung Arin diberi keluarga yang utuh, meski sesekali agak menyebalkan.
"Eumm, Awan…"
Mereka masih berjalan menuju kedai, satu-satunya tempat yang diinginkan Awan. Namun, Arin yang sedari tadi diam nyatanya tidak bisa lagi untuk menyembunyikan rasa penasarannya, meski ia tahu ini bukan wilayahnya untuk bertanya.
Tapi daripada penasaran kan?
"Apa?"
"Kau dan ayahmu tadi kenapa…"
"Sudahlah, aku tidak ingin membahas orang tua itu. Dia itu orang jahat, jadi kau tidak usah penasaran lagi. Mengerti?"
"Tapi tadi dia-"
"Cukup, sampai situ saja bicaranya." Awan mencubit hidung Arin gemas.
Padahal Arin ingin mengatakan bahwa yang menyelesaikan biaya administrasi itu ayah Awan sendiri. Mungkin sebetulnya ayah Awan itu sangat peduli pada anaknya. Siapa tahu, kan?