Arin sudah tidak penasaran lagi tentang kisah cintanya di masa lalu, setidaknya untuk hari ini. Tiba-tiba ia mendapat libur tak terduga di hari Rabu, jadi ia akan mencari tahu sesuatu yang harusnya ia tahu sejak lama.
Bodohnya ia mengira Vincent yang mengiriminya tiap bungkusan di depan pintu apartemen. Vincent kan sudah menyerah soal dirinya, jadi kenapa bingkisan itu masih terus berdatangan?
Belum terlalu terlambat untuk menangkap si pengagum rahasia. Mungkin saja kan orang itu adalah teman sekantornya yang, hmm, jatuh cinta pada pandangan pertama.
Arin kadang-kadang juga bisa berpikir random tahu! Bukan hanya terbawa nostalgia akan cerita lama.
Grasak-grusuk mulai terdengar, dan Arin sudah menyiapkan diri di balik pintu. Namun, belum sempat ia keluar, ia mendengar seseorang berbicara entah pada siapa. Tapi sejauh telinganya mendengar, ia rasa seseorang itu sedang bicara sendiri.
"Maaf Arin, aku tidak pernah cukup percaya diri untuk mengatakannya langsung padamu. Aku memang pengecut yang hina, tidak pantas berada di dekatmu. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membuatmu melupakan Vincent. Tapi kau justru bilang hadiahmu ini dari Vincent.Kau masih menyukai anak itu, kan?"
Kenapa orang itu membawa-bawa nama Vincent?
Cklek!
"Awan?"
Yang dipanggil lantas membelalak, ia menyembunyikan sebuah kotak di balik punggungnya, kemudian lari.
"A-Awan?"
Terlambat. Lelaki itu sudah melarikan diri.
---
Taman rumah sakit itu tempat terbaik untuk duduk berdiam diri. Melamun dan menatapi kisah manis orang-orang dari kejauhan.
Di atas kursi rodanya ini, Audy sesekali tersenyum melihat berpasang-pasang manusia yang sedang bermesraaan. Ada yang tengah saling menyuapi, ada juga yang tengah bercanda dengan anak mereka.
Audy mengusap perutnya yang semakin membesar. Ia menghela napas pasrah.
"Senang ya sebentar lagi bisa lihat wajah mama? Senang kan anak mama?"
Audy tersenyum kegelian saat bayinya menendang di dalam perut. Anaknya pasti sudah tak sabar juga untuk menyaksikan indahnya dunia lewat sorot mata mungilnya. Audy pun sudah tak sabar.
"Audy."
Mendengar suara yang tak asing ini, membuat Audy tersenyum kecut dan ingin melanjutkan monolognya.
"Audy."
"Kenapa kau masih ke sini? Cepat pulang, mungkin Arin menunggumu."
"Kenapa kau bicara begitu? Aku ini suamimu!"
"Sudah pulang saja sana, aku tidak mau ditunggui orang sepertimu."
"Dokter bilang kau tidak boleh emosi. Tidak baik untuk kesehatan bayi kita."
Audy sekali lagi menghela napas, terdengar lebih berat.
"Aku ke sini untuk minta maaf."
"Oh ya?"
"Aku serius Audy, kau tahu kan aku selalu memegang ucapanku?"
Audy terpaksa mendongak saat jemari Vincent mendarat di dagunya, meminta untuk bertatapan.
"Aku punya rasa bersalah di masa lalu, aku ingin menjaga Arin karena dia orang terdekatku. Dia satu-satunya sahabatku, dan aku yang selalu melindunginya dulu."
Audy masih diam.
"Sejak berjalan ke sini, dan sejak ditampar oleh Arin berulang kali, aku berpikir. Mungkin aku sudah tahu jawabannya sekarang.
Audy memegang lengan Vincent yang bergetar. Pria itu hampir menangis.
"Aku yang salah karena tidak bisa mengendalikan perasaanku. Aku yang salah. Seseorang sepertimu harusnya punya lelaki yang baik. Aku janji akan berubah jadi lebih baik, Audy."
Audy tersenyum tipis saat Vincent tidak melihatnya.
"Vincent."
"Ya?"
"Jangan berdiri terus, leherku sakit."
Vincent kemudian mengacak rambut Audy, untuk kemudian tertawa bersama.
Vincent mungkin masih belum mengerti tentang dirinya sendiri, ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini. Semuanya masih agak membingungkan. Kehadiran Arin yang tak ia sangka akan berakibat buruk pada pernikahannya.
Andai hidupnya bisa normal seperti saat ia pertama kali bertemu Arin. Ia berharap hidup bisa semenyenangkan itu lagi. Jatuh cinta untuk yang pertama kalinya, dan menyimpan kenangan cinta pertama untuk selamanya.
Lagipula ia sudah memilih Audy sebagai yang paling istimewa di hatinya sejak menjalani hidup baru di kota ini.
"Mau pulang denganku, tuan putri?" Vincent mengulurkan tangannya, membuat Audy tersenyum geli.
"Aku belum boleh pulang, Vincent."
"Kalau begitu aku akan menemanimu."
"Kau tidak bohong kali ini?"
Uluran tangan Vincent kini berubah jadi jari kelingking yang mempesona wajah Audy.
"Ayo buat janji. Kita tidak akan pernah berpisah, tidak bahkan jika ada laki-laki lain yang naksir padamu nanti."
Audy mencebikkan bibirnya, meski begitu ia tetap menerima tautan kelingking suaminya ini.
"Kau juga jangan cari masalah denganku lagi. Jangan pernah ada orang lain lagi."
Vincent mendekatkan wajahnya pada si wanita di atas kursi roda. Rambut wanitanya ia selipkan di belakang telinga. Audy kemudian memejamkan mata, begitu pula Vincent yang langsung menyerang bibirnya.
"Jadi kita sudah baikan, sayang?"
---
Arin sekarang sedang duduk menyilangkan lengan di depan meja. Kopi panas yang mengepul di atas mejanya saja tidak membuat perempuan ini terpesona. Wajahnya menatap luar jendela, entah memandangi apa. Ia kesal.
Tadi pagi-pagi sekali, ia dapat kabar kalau Awan sudah ada di penghujung tahun lagi. Aneh sekali, tidak biasanya lelaki ini bersikap setakut itu terhadap dirinya. Memangnya Arin ini apa? Setan?
Seharian ditelepon tidak diangkat, malah lari entah kemana. Malamnya ditunggu di depan lobby apartemen juga tidak kunjung datang.
Tahu-tahu saat Arin iseng menelepon nomor kedai penghujung tahun, salah satu staff bilang bosnya baru saja tiba. Maka dari itu sekarang Arin sedang ada di sini, menuntut penjelasan mengapa Awan melarikan diri.
"Maaf," Tiba-tiba saja Awan mengatakannya setelah hampir sepuluh menit diam saja memainkan ujung kaosnya.
"Kenapa kau kabur begini? Apa salahmu? Kenapa membuat perempuan yang mencarimu, Awan?"
Awan semakin menunduk, tidak sadar kalau para pegawai di belakang mesin kopi tengah menertawakannya.
"Aku pasti membebanimu, makanya aku pilih pergi saja."
Arin mengernyitkan dahi. "Itu saja? Kau pergi karena alasan itu?"
"Katakan saja kalau kau keberatan dengan hadiahku, aku akan menghentikannya."
Arin mengacak rambutnya, agak frustasi.
"Kenapa kau tidak bilang saja dari awal kalau itu kau? Aku tidak pernah bilang akan menolaknya."
Tapi Arin hanya kembali mendapat kata maaf, sama seperti saat dia berhadapan dengan Audy.
"Sejujurnya, aku tidak tahu kenapa kau melakukan semua ini. Bukankah kau sibuk sebagai pegawai kantor baru? Kita bahkan hanya bisa bertemu satu minggu sekali."
"Aku selalu bisa menyempatkan diri." Awan berkata tanpa keraguan.
"Kenapa kemarin kau bicara sendiri?"
"Aku putus asa."
"Kenapa kau harus putus asa?"
"Karena kau masih menyukai Vincent."
"Ha?!"
Awan tidak berani bicara lagi. Ia takut sebenarnya, karena setelah menjadi tempat curhat bagi banyak orang. Ia jadi tahu kalau sifat perempuan itu sangat menakutkan ketika sedang marah. Kalau salah bicara, bisa-bisa masa depan Awan berakhir saat itu juga.
"Kenapa kau mengira aku masih ada rasa pada Vincent?"
"Karena cinta pertama biasanya sulit dilupakan."
Arin lantas tertawa, perutnya sampai sakit karena tidak bisa mengendalikan tawanya.
"Kau tidak paham tentang perempuan, Awan. Bagi kami, cinta pertama tidaklah lebih penting dari seseorang yang bersama kami saat ini. Cinta pertama memang istimewa, tapi orang yang bersedia menghabiskan waktunya bersama kami saat ini jauh lebih istimewa."
Arin tersenyum. Awan ikut tersenyum. Ia hampir berdiri memeluk Arin kalau saja perempuan itu tidak menahannya.
"Eits, apa kau pikir aku sudah menerimamu?"
Awan kebingungan kali ini. Jadi dia ini ditolak atau bagaimana?
"Dasar kau ini. Memang kau sudah bilang suka padaku?"
"Kalau aku bilang sekarang, kau janji mau menerimaku?" Awan tersenyum lembut.
"Entah ya, aku butuh alasan yang bagus untuk menjawabnya." Arin mengendikkan bahunya, mempermainkan Awan yang sudah tidak sabar mendengar resminya hubungan mereka.
"Alasan ya… Tentu saja karena aku suka kau, Arin."
"Dan karena ini penghujung tahun, tempat yang penuh cerita tentangmu dan tentangku. Jadi, kenapa kita tidak melukiskan lebih banyak kenangan manis di kedai ini, Arin?"
Arin berkaca-kaca mendengarnya.
"Hei, kenapa menangis Arin? Kau ini, jawab dulu perasaanku."
THE END
.
.
.
A/N : Jangan lupa mampir ke akun wattpadku (starsinbottle) untuk banyak cerita lainnya 💕