Perempuan itu dari tadi diam saja di dalam mobil, membuat satu orang lain bingung setengah mati. Padahal Vincent saja sempat gelagapan gara-gara ucapan Awan tapi kenapa perempuan yang kini sudah duduk di jok depan diam saja? Apakah sebenarnya Arin sempat dengar, tapi ia tidak menolak kalau…
"Arin, kita langsung jalan-jalan ya. Kau bisa pulang nanti sore saja, kan?"
Arin mengangguk singkat.
"Aku ingin ke tempat yang menyenangkan, Rin."
"Ya, aku ikut saja."
Mobil Vincent berhenti di depan rumah makan, membuat Arin bingung.
"Kenapa kita ke sini? Kau lapar? Tadi kan sudah makan di rest area."
"Tidak. Aku tidak lapar. Hmm.. Kau tidak ingat dulu kita pernah ke sini?"
Arin mencoba mengingat-ingat, tapi ia sudah lupa. Kalau bukan tempat yang terlalu memiliki kenangan, ia tidak merasa perlu mengingatnya. Tapi nyatanya, hal sekecil itupun masih ada dalam ingatan seorang Vincent.
"Dulu saat kita ketahuan pergi nonton kembang api, kita sembunyi di dalam rumah makan ini tanpa pesan makanan."
"Sepertinya bukan kenangan yang bagus." Arin terkekeh.
Mobil kembali berjalan. Arin berkali-kali membuang muka ke jalanan begitu sadar Vincent sedang melirik-lirik ke arahnya. Harusnya sih ia tersenyum saja kalau ada seseorang yang begitu, tapi Arin merasa asing dengan tatapan Vincent yang sekarang. Menakutkan.
Berhubung desa yang mereka tinggali tidak teramat luas, jadi dalam jarak dekat mobil yang mereka tumpangi sudah berkali-kali berhenti.
"Kita dimana?"
"Di danau tempat kita dulu sering melihat banyak ikan, Rin."
Wah benar, ternyata tempat ini benar-benar danau yang mereka sering kunjungi dulu. Tempatnya masih sama, masih menampilkan pegunungan di seberang sana.
Arin hampir keluar untuk menikmati keindahan danau yang tak ia lihat selama beberapa tahun, namun tangannya sudah lebih dulu digenggam oleh Vincent. Laki-laki itu lantas tersenyum manis, membuat Arin mau tak mau jadi kembali duduk seperti semula.
"Ada apa, Vincent? Kau tidak mau keluar?"
"Nanti saja, sekarang aku ingin memandangi danaunya saja dari dalam mobil. Denganmu."
Jangan lupakan tangan Vincent yang sekarang asyik mengusap-usap jemari Arin. Yang diperlakukan begitu tidak menolak sama sekali, justru ikut tersenyum.
Lama mereka dalam posisi seperti itu, hingga akhirnya Arin menyadari bahwa wajah Vincent sudah mendekat ke wajahnya entah sejak kapan. Tautan tangan Vincent sudah terlepas dan sekarang beralih meraih tengkuk Arin, bersiap memajukan wajahnya kian dekat lagi.
Arin menjauhkan wajahnya sebisa mungkin sampai membuat Vincent menyerah untuk mendekat lagi.
"Kenapa, Arin?" Vincent kembali mengelus tangan Arin.
"Tidak apa-apa. Aku hanya agak kaget saja."
Seusai Arin menyelesaikan kalimatnya, tangan Vincent sudah bertengger di pipinya. Mengelusnya lembut sekali, hampir membuat Arin terbuai.
"Aku rasa kita saling merindukan satu sama lain, iya kan?"
Wajah yang dengan beraninya kembali maju, dan Arin yang tak kunjung bergerak. Vincent merasa puas, tinggal sedikit lagi dan rasa rindunya tersalurkan.
"Tu-tunggu Vincent." Arin menahan wajah Vincent yang hanya tinggal beberapa senti dari wajahnya.
"Ada apa lagi?"
"Kenapa kau melakukan ini padaku?"
Vincent memutar bola matanya. "Tentu saja karena aku juga rindu padamu, dan aku sudah membayangkan hal yang menyenangkan denganmu sejak lama."
Hal menyenangkan?
Apa Arin hanya sebatas dijadikan pelampiasan kesenangan Vincent saja?
Boleh juga.
Arin tersenyum miring.
"Berarti selama ini kau tersiksa menikah dengan orang lain?" Dengan berani, Arin mengusak rambut Mingyu.
Vincent awalnya tersentak kaget, karena jujur ini pertama kalinya melihat perubahan Arin yang luar biasa begini. Membuatnya semakin tertarik saja pada sahabat lamanya ini.
"Iya, aku maunya kau. Tapi kau tidak juga kembali."
"Lalu kenapa kau menikahinya? Kenapa kau tidak sabar menungguku? Harusnya kan kau bisa jadi milikku sepenuhnya, jadi kita tidak perlu bersembunyi kalau ingin bersenang-senang."
Mendengar kalimat Arin, tangan Vincent langsung lepas kendali. Sekarang sedang mengelus paha Arin yang masih tertutup rok.
"Apa bedanya? Toh sekarang kau ada di sini, aku juga bisa melihatmu setiap hari kalau kau mau. Aku tidak masalah walaupun harus bersembunyi dari semua orang, asalkan kau ada di sampingku, Arin."
Arin terkekeh, tangannya ia gunakan untuk memperbaiki kerah kemeja lelaki yang berhadapan dengannya ini. Pikirannya mulai liar. Satu kancing teratas ia buka, lalu ia tutup lagi. Mempermainkan Vincent.
"Buka saja, aku memang sudah gerah sejak tadi," Ucap Vincent.
"Vincent, memangnya kau sesenang itu bisa bertemu aku setiap hari?" Arin benar-benar melepas satu kancing itu seperti keinginan Vincent.
"Iya, karena kita bisa melakukan banyak hal bersama lagi. Aku senang sekali."
Begitu Vincent sudah memberikan gestur hampir memeluk, Arin justru menahan dahi pria itu dengan jari telunjuknya.
"Menurutmu aku juga senang?" Arin memundurkan kepala Vincent.
"Kenapa Arin? Kau tidak suka dengan rencanaku?"
"Aku tidak suka dengan laki-laki yang sudah beristri."
Pintu mobil terbuka, menampilkan Awan yang tersenyum lebar sambil menjulurkan tangan. Mengajak Arin keluar.
"Maaf Vincent, tapi persahabatan kita cukup sampai di sini saja. Aku tidak bisa lagi bersahabat kalau kau sendiri tidak merasa ingin menjadi sahabatku."
Vincent bengong.
"Ah, dan satu lagi. Aku pernah suka juga padamu dulu, hanya saja aku malu karena masih terlalu muda. Jadi, maaf atas sikapku yang waktu itu. Tapi sekarang perasaanku sudah jelas, aku tidak menginginkanmu sama seperti dulu lagi. Sampaikan salamku untuk Audy, semoga bayi kalian lahir dengan selamat."
Vincent semakin bengong.
"Ayo, Arin. Tinggalkan saja si tukang selingkuh ini."
Begitu Awan dan Arin pergi, Vincent memukul-mukulkan kepalanya di setir mobil. Ia seketika teringat Audy di rumah. Betapa bodohnya ia hampir lepas kendali tadi. Gara-gara kalimat Awan, ia jadi rusak sendiri.
---
Malam sebelum Arin pergi dengan Vincent…
"Arin,"
"Ya?"
Gerakan tangan Awan menggonta-ganti channel berhenti, dan ia beralih memperhatikan Arin yang entah mengapa tak kunjung selesai membereskan bajunya.
"Ada yang ingin ku katakan."
"Apa?"
"Kau masih suka dengan Vincent atau tidak?"
"Kenapa? Bukankah aku sudah pernah menceritakannya di kedai bodohmu itu?"
Awan mencibir. "Maksudku setelah tahu laki-laki itu punya istri."
Arin nampak berpikir, namun ia justru khawatir sendiri karena tidak bisa menemukan jawaban pastinya.
"Sepertinya aku sudah mulai merelakan dua orang itu bahagia, walaupun Vincent akhir-akhir ini aneh sekali padaku. Aku justru takut kalau Vincent yang masih ada perasaan padaku."
"Kalau begitu kenapa tidak kau pastikan saja?" Awan tersenyum jahil.
"Kenapa aku harus melakukannya? Lagipula dia akan tetap lebih memilih istrinya."
Awan tertawa seraya tiduran di atas karpet.
"Kau tidak tahu isi pikiran laki-laki."
"Oke, apa yang harus aku lakukan?"
"Gampang, kau hanya perlu menggodanya."
Pipi Arin merah mendengar ucapan Awan yang kelewat vulgar di telinga.
"Kau sudah gila? Bagaimana kalau Vincent benar-benar tergoda? Kau ingin masa depanku berakhir di depan laki-laki yang sudah beristri?"
Lagi-lagi Awan hanya menertawakan Arin. Ternyata perempuan itu tidak sepolos yang ia kira, pikirannya juga sudah terisi pikiran-pikiran orang dewasa pada umumnya.
"Tenang saja, aku akan mengikutimu. Begitu kau pergi berdua dengan Vincent, pastikan telepon aku dan jangan dimatikan. Simpan ponselmu di tas saja supaya tidak ketahuan."
Arin menggaruk tengkuknya. "Baiklah, akan aku coba."
---
Dua puluh menit Arin berjalan dengan Awan di jalan setapak ini. Dua puluh menit juga Arin ditertawakan. Awan bilang Arin hebat sekali soal menggoda laki-laki, sampai-sampai kalimatnya terngiang-ngiang di telinga Awan. Jadi ingin dengar lagi.
"Apa sih Awan, menyebalkan tahu!" Wajah Arin sudah merah sekali.
"Aku kan hanya menirukan saja, Arin. Kenapa malu? Seperti itu di depan Vincent saja tidak malu," Ujar Awan diselingi gerakan bergidik geli.
Arin menatap datar Awan dan langsung saja menginjak kakinya.
"Ah iya iya! Aku bercanda!" Awan meringis kesakitan.
"Oh iya Awan, kau tadi menyusul kami naik apa? Kenapa sekarang kita jalan kaki?"
"Tadi ada orang baik kebetulan lewat dan mau membantuku membuntuti mobil Vincent."
Arin mengangguk, tapi sedetik kemudian ia menatap Awan lagi. Matanya menyipit curiga.
"Siapa? Kenalan?"
"Ada lah. Kenapa memangnya? Kau cemburu? Tenang saja, tadi orang tua kok yang mengantarku." Awan cengengesan saja, tidak tahu kalau Arin makin malas meladeni pembicaraannya.
"Sudah sana pergi, aku mau pulang ke rumah." Arin buru-buru melangkah lebih cepat.
"Oke, beritahu aku besok kalau sudah siap kembali."
Arin mengangguk.
Ia dan Awan berpisah di persimpangan jalan. Tujuan mereka berbeda.