Chereads / Penghujung Tahun / Chapter 10 - 10. Pengakuan

Chapter 10 - 10. Pengakuan

Langkah kaki terdengar hingga penghujung ruangan, membuat si wanita hamil terpaksa bangun dari acara istirahatnya. Audy, orang biasa memanggilnya, hanya menyender di dinding depan kamar. Suaminya baru pulang.

"Sudah puas jalan-jalannya?"

Vincent yang baru saja melempar tubuhnya ke sofa lantas mendongak. Kaget. Ia tidak sadar kalau sedari tadi Audy memperhatikannya.

"Apa maksudmu jalan-jalan? Aku lembur."

Audy tertawa paksa. "Kau benar-benar tidak tahu aku ya? Aku bisa dengan mudah mencari nomor rekan kerjamu, semudah aku tahu kau mencoba mendekatiku dulu."

Vincent memejamkan matanya, ia lelah sekali. Pertengkaran hanya akan membuat emosinya kian menjadi, mengingat ia baru saja terkena serangan mendadak dari Arin. Ia tidak ingin diserang istrinya juga.

"Aku ingin istirahat sebentar, Audy.."

"Ku dengar kantormu sedang ada acara jalan-jalan, tapi kau malah tidak ikut. Ku kira kau ingin bersantai di rumah dan menikmati waktu berdua denganku, tapi..." Audy tidak melanjutkan kalimatnya, ia sibuk menahan genangan air matanya sendiri.

Sementara Vincent mulai bergerak gelisah meski matanya tertutup rapat, ingin mengabaikan ucapan Audy tapi sayangnya tidak bisa.

"Apa orang itu Arin?"

Vincent benar-benar membuka matanya. Ia hampir saja marah karena nama Arin disebut-sebut, tapi urung begitu melihat Audy menangis.

"Audy-"

"Kalian ada hubungan apa, cepat beritahu aku!"

"Kami hanya teman, bukankah aku sudah pernah bilang sebelumnya?" Laki-laki itu mendekati Audy dan coba menenangkannya.

Tapi Vincent salah langkah, karena Audy sudah lebih dulu menyadari sesuatu yang lain. Baju Vincent, baju yang tidak diganti sejak berangkat hari sabtu itu. Bau parfum perempuan.

"Menginap di rumah siapa kau?" Audy berteriak lagi.

Vincent meraup wajahnya kasar, ia frustasi sekali.

"Oke, aku memang pergi. Tapi aku pergi ke rumah temanku lamaku, aku menginap di sana."

"Oh ya?"

"Iya benar, sudah kan? Kau tidak perlu curiga begitu padaku. Aku hanya sayang kau Audy, dan juga calon bayi kita."

"Kau masih saja tidak mengerti ya, Vincent. Sudah ku bilang, aku bisa dengan mudah mencari tahu hal-hal yang kau sembunyikan dariku."

"Apalagi?"

"Parfum perempuan itu tertinggal di bajumu."

Vincent tersentak, ia sampai lupa kalau kemarin bajunya sempat menempel baju Arin.

---

Sore hari, Arin sudah berada di perjalanan pulang dari kantor. Perempuan ini sengaja jalan kaki, karena ia ingin menghabiskan siswa waktu sorenya di luar rumah. Berada berlama-lama di apartemen hanya membuatnya terus-menerus terpikir masalah tempo hari. Jadi, lebih baik jalan-jalan sebentar untuk melepas beban, kan?

Beberapa kali ia melihat banyak pasangan yang jogging sore, membuat pikiran Arin melayang kemana-mana. Andai saja ya, andai saja takdirnya tidak seburuk yang ia lalui sekarang. Ia pasti juga bisa bepergian dengan orang yang istimewa.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Vincent yang menelepon.

Dasar laki-laki ini. Belum puas dengan kejadian tempo hari, hah?

Tapi karena pada dasarnya Arin tidak setega itu, jadi ia angkat saja. Lebih baik ia marahi saja sekalian si Vincent, biar lelaki itu tahu kalau ucapannya bukan main-main.

"Arin, aku minta tolong."

---

Siapa yang menyangka kalau Arin akhirnya harus berhadapan dengan Audy di kamar rumah sakit. Arin bahkan setuju-setuju saja saat Vincent bilang bahwa Audy tidak mau ditemani Vincent dan lebih memilih untuk minta dipertemukan dengan Arin.

Pasti perempuan yang tengah hamil itu sudah tahu tentang dirinya dan Vincent, dan sekarang butuh pengakuan.

'Ah, Arin... Kau memang bodoh sekali karena mengiyakan keinginan Vincent.'

Arin sudah cemas sejak masuk ke ruangan ini, karena Audy tidak kunjung mengatakan kemauannya. Hanya melirik saja sedari tadi.

"Audy, aku tahu tidak berhak menanyakan ini. Tapi... apa kau ada masalah dengan Vincent?"

Audy mengangguk.

"Dua hari aku kepikiran tentang Vincent yang tiba-tiba saja pergi. Dia bilang mau lembur. Aku tidak tahu kalau akan jadi stress dan masuk rumah sakit begini. Harusnya aku tidak usah memikirkan laki-laki yang begitu." Audy terkekeh.

"Maaf," Arin menunduk.

"Maaf? Jadi kau mengakui kalau kau yang pergi dengan Vincent?" Audy menelisik wajah Arin yang kian menunduk.

Perempuan itu diam saja, tidak berani menjawab. Ia takut salah bicara, terlebih kalau ia jujur bahwa kemarin ia juga sempat menggoda Vincent hanya untuk memperjelas status diantara mereka. Audy pasti akan lebih syok lagi.

Baru saja memikirkan banyak hal, Arin merasakan tangannya digenggam. Audy kemudian tersenyum begitu ia mendongak. Cantik sekali.

"Aku tidak akan marah padamu, asalkan kau jujur padaku. Aku hanya tidak mau bayiku lahir tanpa seorang ayah."

Tapi Arin hanya menjawabnya dengan maaf, ia tidak sanggup melihat Audy terluka lebih dalam. Ia tidak bisa jujur, karena memang pada dasarnya sejak awal persahabatan antara Arin dan Vincent tidak didasari rasa sayang antar dua orang teman.

Mereka mungkin sudah saling jatuh cinta sebelum memutuskan untuk jadi sahabat selama 3 tahun sekolah bersama.

"Aku hanya bisa memastikan kalau setelah ini tidak akan ada apa-apa lagi diantara kami." Arin balas menggenggam tangan Audy.

Audy tersenyum.

"Lagipula aku juga sedang tertarik dengan seseorang, jadi tidak mungkin aku merebut Vincent darimu. Bagiku, Vincent hanya teman lama."

---

Arin pamit setelah selesai dengan keperluannya di kamar Audy. Tapi bukannya berjalan menuju pintu keluar, ia justru terjebak di taman belakang rumah sakit. Arin ingin berdiam diri di sana, ia ingin sendirian dulu.

Mengapa hidup bisa sesulit ini? Begini salah, begitu pun disalahkan. Kenapa juga ia bisa terjebak diantara orang-orang rumit ini, yang mana tiap hari hanya membuat beban di kepalanya semakin banyak saja.

Audy, dia bukan siapa-siapa. Arin bahkan kenal lebih dulu dengan Vincent. Tapi bagaimana bisa perempuan itu dengan mudah mengusirnya dari hidup Vincent?

Kenapa?

Kenapa bukan Arin saja yang saat ini duduk manis sambil menyiapkan makan malam untuk laki-laki itu sepulang kerja?

Tapi Vincent, dia sangat egois. Kalau saja perasaannya benar-benar murni untuk Arin, mana mungkin dia akan menikahi orang lain. Apalagi di umur yang masih muda. Sebegitu tidak tahan kah dia menunggu waktu yang tepat agar Arin kembali lagi dan menjadi miliknya secara utuh?

Bayangkan saja, sekarang Vincent sudah menikah...

Tapi laki-laki itu masih menginginkannya...

Memangnya apa yang bisa Arin harapkan dari hubungan seperti itu? Ia masih sayang harga diri, dan lebih baik menyukai orang yang sekarang selalu ada untuknya, daripada mencintai seseorang yang cintanya sudah terbagi.

---

Baru saja hendak pergi dari taman, tiba-tiba saja ada yang memeluknya dari belakang. Awalnya Arin tidak tahu, ia hanya peduli pada tatapan orang-orang yang menatapnya penasaran. Aduh, ia jadi malu sekali.

"Aku minta maaf, Arin."

Vincent.

Laki-laki ini.

"Lepas."

"Sebentar saja, Arin. Aku ingin menjelaskannya. Aku tidak mau kau kabur ketika aku bicara, jadi biarkan aku memelukmu seperti ini."

"Seharian ini aku berpikir, dan ternyata pikiranku tidak bisa jauh-jauh darimu."

'Ya, karena lebih baik tubuhmu yang jauh-jauh dariku.'

"Aku sedih saat Audy menyalahkanku, tapi aku tetap tidak merasa ingin berpisah darimu. Karena kita baru saja bertemu lagi setelah sekian lama."

'Bodoh. Justru masalah ini bermula karena acara NOSTALGILA di penghujung tahun.'

"Arin, jangan jauh-jauh dariku, ya?"

Arin melepaskan tangan Vincent dari perutnya, dan tanpa basa-basi langsung menampar pipi kiri lelaki di hadapannya itu. Ia lantas menghela napas.

"Semua masalah ini bermula darimu, jangan libatkan aku lagi."

Satu tamparan kembali mendarat di pipi kanan Vincent. Vincent sendiri jelas kaget.

"Kenapa kau menamparku lagi?"

"Supaya kau sadar kalau kau sudah punya istri."

"Aku tahu aku punya Audy, dan aku tidak pernah berpikir untuk melepaskannya."

"Lalu apa yang kau lakukan padaku sekarang?"

"Hatiku masih untukmu."

Arin tidak tahan lagi, ia menangis di depan Vincent. Ia tiba-tiba jadi marah sekali.

Vincent yang menolak untuk mengerti situasi justru mendekat, tapi beruntungnya Arin jauh lebih peka dan mundur.

"Vincent, aku tidak pernah ingin membencimu. Sejak dulu, kau satu-satunya orang yang bersedia berada di sisiku, sementara orang lain bahkan tidak ada yang mau mendekatiku. Aku pun sudah bilang, aku juga dulu menyukaimu. Tapi kalau kau mengungkit ini lagi sekarang, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kehidupan kita sudah berubah."

Arin kembali menghela napas, berusaha mati-matian menghentikan air matanya.

"Baiklah, aku akan mengaku. Aku sedang suka dengan Awan. Sangat menyukainya. Bahkan kehidupanku yang sekarang jadi jauh lebih baik karena ada dia. Aku sudah tidak pernah memikirkanmu lagi."

Arin memandangi Vincent yang diam saja. Arin tahu ia keterlaluan, sampai membawa-bawa nama Awan agar masalahnya selesai.

"Ah, begitu. Baguslah, kalau kau sudah menemukan penggantiku." Vincent menggaruk tengkuknya.

Arin tahu bahwa Vincent bukannya jahat, dan bukannya tukang selingkuh, atau julukan buruk lain yang orang berikan padanya. Vincent hanya butuh waktu untuk berpikir, karena semua yang ia alami selalu saja tiba-tiba. Dalam hal ini, mungkin bisa dibilang Arin lah yang paling mengerti lelaki itu.

Kematian orang tuanya yang tiba-tiba.

Kedatangan Arin yang tiba-tiba.

Dan juga... pernikahannya di usia 22 tahun masih terlalu muda.

Vincent pasti jauh lebih menderita dari yang orang lain pikirkan. Tapi Arin tidak punya hak untuk memberikan pundaknya, karena ada Audy yang pasti jauh lebih bisa memberikan segalanya untuk Vincent.