Malam tahun baru ini sama saja dengan malam-malam sebelumnya, hanya ada nyala kembang api yang saling kejar-kejaran. Arin menatapnya sebentar bersama keluarganya, ya hanya di luar rumah saja sih, tidak kemana-mana. Lagipula tadi sore ia sudah pergi jalan-jalan sebentar dengan Awan, membuang suntuk barang sejenak sebelum pergi ke kota.
Memulai kehidupan baru.
Beberapa waktu belakangan ini Arin dan Awan jadi akrab. Mereka sudah membicarakan banyak hal, bahkan tak sungkan mendiskusikan tentang pergi bersama ke kota. Ya, Awan juga mau tak mau harus pindah ke kota, supaya ayahnya tidak datang mengacau lagi di kedai.
"Kenapa kita harus pergi di hari yang sama, Awan?"
"Karena orang tuamu ingin aku menjagamu."
"Lalu kau menuruti kemauan mereka? Untuk apa?"
"Aku tidak keberatan kok, santai saja."
Arin yang sedang mengemasi barang bawaan jadi mendengus, memikirkan ucapan Awan yang menyuruhnya untuk segera bersiap-siap karena besok pagi mereka berangkat. Padahal baru kemarin Arin menatap orang tuanya lagi setelah sekian lama, tapi ia sudah harus pergi lagi.
Sedih? Jelas.
Ibunya bahkan sampai berkali-kali bertanya karena khawatir soal tempat tinggal, takut anak perempuan satu-satunya yang sejujurnya sudah terbiasa hidup tanpa orang tua akan tinggal di lingkungan yang kumuh lah, atau punya tetangga yang suka mabuk lah.
Beruntungnya Arin punya teman yang pengertian, dan ia diajak si pemuda tampan itu melihat-lihat apartemen di kota. Secara kebetulan mereka tinggal di wilayah yang sama, jadi Arin juga sekalian menyewa di salah satu unit apartemen yang sama.
"Kenapa kau tinggal di apartemen juga? Kau tidak tinggal dengan... ayahmu?"
"Buat apa tinggal dengan orang seperti itu? Sudah baik aku mau kembali ke perusahaannya."
"Lalu kedaimu?"
"Pegawaiku sudah mandiri, mereka bisa bekerja dengan baik. Tapi mungkin nanti aku akan hubungi temanku untuk bantu mengurusnya."
Dan begitulah mengapa mereka berakhir memulai cerita baru bersama.
---
8 Januari 2018
Arin sudah memulai pekerjaannya hari ini.
Orang-orang sedari tadi berlalu-lalang membawa berkas, entah mereka mengerjakan apa. Yang Arin tahu, ia hanya butuh beradu di depan layar komputer.
Ia berkali-kali melirik jam tangan miliknya, hmm... masih jam 3. Waktu berjalan begitu lama, padahal ia baru saja dapat pesan singkat dari Awan, katanya ada bingkisan di depan pintu apartemennya. Arin kan jadi penasaran. Memangnya siapa yang mengirim bingkisan ke orang baru seperti dirinya?
---
14 Januari 2018
Seminggu berlalu, dan bingkisan terus saja berdatangan. Awalnya Arin senang karena ada orang lain, mungkin tetangga yang peduli padanya. Hanya saja kian hari kian terasa aneh, pasalnya Arin sendiri jarang bertemu dengan tetangga dari unit lain, dia kan sibuk tiap hari. Sempat ingin bertanya pada Awan, tapi ia urungkan niatnya itu karena Awan juga sama sibuknya. Pasti tidak tahu.
Ah, ngomong-ngomong tentang Awan… lelaki itu sekarang bekerja di perusahaan ayahnya. Tapi jangan kira ia akan dijadikan presiden direktur. Tidak, karena dia punya kakak yang mana pasti lebih berhak memiliki jabatan itu. Dia hanya pekerja di perusahaan ayahnya sendiri, tidak lebih.
Suatu waktu saat akhir pekan, Arin dan Awan pergi ke taman. Si lelaki bicara tentang betapa membosankannya bekerja di bawah tekanan. Ia tidak suka, bukan hanya karena ia membenci ayahnya, tapi juga karena ia ingin bekerja untuk dirinya sendiri. Ia adalah bos, jadi ia benci sekali terikat pada aturan.
"Arin, apa menurutmu memiliki kedai sendiri dan bisa menanam kopi sendiri itu candaan?"
"Apa maksudmu?"
"Ya aku tidak mengerti saja kenapa orang-orang selalu memintaku bertahan di perusahaan ayah, daripada hanya bermain-main dengan bisnis yang tidak jelas masa depannya."
"Apa ayahmu pikir kedaimu sepi pengunjung?"
"Entahlah, tapi kedaiku memang hanya akan membludak pengunjungnya saat akhir tahun karena paket nostalgia itu. Selebihnya, biasa saja."
"Kenapa kau hanya menerapkan nostalgia dan semacamnya itu di akhir tahun saja? Ku rasa kau memang lumayan bercanda soal itu."
Awan berdecak. "Itu namanya inovasi. Kalau aku tidak berinovasi, aku akan tenggelam dalam persaingan bisnis seperti sekarang ini."
"Karena kau pintar berinovasi, kenapa kau tidak mencoba memikirkan sesuatu yang lebih rasional daripada promo akhir tahun saja?"
"Itu juga inovasi!"
"Berinovasilah dengan kopinya, atau kau bisa tambahkan menu-menu yang membuat orang betah berlama-lama di kedaimu. Dan yang paling penting adalah... bernostalgia tidak selalu harus di akhir tahun."
Awan terdiam.
---
30 Januari 2018
Berkali-kali Arin mengernyitkan dahi, ia menggaruk pipinya yang tidak gatal. Tumpukan bingkisan yang belum ia buka sama sekali itu membuatnya gundah, pasalnya ia hanya memperhatikan tulisan yang selalu tersemat rapi di atas kotak-kotak itu.
'Selamat datang di rumah baru.' :)
'Semoga harimu menyenangkan'
'Jangan terlalu lelah bekerja, dan sempatkan jalan-jalan pagi agar badanmu tidak kaku.'
Atau yang berujung menasihati, 'Pulanglah dan jenguk orang tuamu. Mereka pasti sangat merindukanmu.'
Oh benar, Arin kan sudah berjanji akan pulang tiap bulan sekali. Wah, kebetulan sekali sekarang ini memang sudah akhir bulan. Baik sekali ya orang itu mau mengingatkan dirinya setiap hari, yang mana kadang Arin melupakan hal-hal pentingnya sendiri.
Orang ini…
Pasti kenal baik dengannya, kan?
Drrrtt drrrtt…
Ponselnya bergetar di balik saku rok, Arin lantas mengambilnya. Nomor asing menelepon.
"Ehm, ini benar nomor Arin?"
"Vincent?" Arin menebak dari suaranya.
"Iya, ini aku. Arin, apa kau senggang malam ini?"
"Iya, aku baru pulang kerja. Ada apa?"
"Bisa ketemu sebentar?"
Dengan segala rasa takut akan teringat kenangan lama kembali, Arin akhirnya terpaksa menjawab 'ya'. Ia tidak enak hati menolak tawaran 'sahabat' baiknya untuk bertemu. Salahnya sendiri sempat memberikan nomor ponselnya di kedai saat itu, dan sekarang ia harus mengawali cerita baru di kota ini dengan bernostalgia bersama seorang lelaki beristri.
Terima kasih pada Awan yang saat itu dengan sangat baik hati mengatur pertemuan mereka.
"Arin, di sini." Vincent melambaikan tangan begitu Minhyun masuk ke café yang mereka bicarakan di telepon tadi.
"Kau sendirian?"
"Ya. Audy harus banyak-banyak istirahat."
Ah benar, Audy sedang hamil.
"Nah, ini aku bawa hadiah untukmu."
Begitu menatap sebuah kotak yang disodorkan lelaki itu, Arin hampir terperanjat. Kotak itu tidak asing baginya, motif bungkusnya mirip dengan yang setiap pagi ia dapatkan.
Motif kerang warna pink.
Sepertinya familiar, tapi Arin lupa pernah melihatnya dimana.
"Apa ini, Vincent?"
"Ucapan selamat karena kau baru saja pindah ke sini. Aku senang karena kau tinggal tidak jauh dari tempat tinggalku, jadi aku bisa ikut menjagamu."
Menjagamu…
Apa maksudnya?
Tapi yang lebih penting dari itu, Arin jadi kepikiran sesuatu. Jadi, beragam bingkisan itu dari Vincent?