Chereads / Penghujung Tahun / Chapter 8 - 8. Rasa Yang Belum Sirna

Chapter 8 - 8. Rasa Yang Belum Sirna

Menurut kalian, diantara Arin dan Vincent… siapa yang perasaannya belum sirna sepenuhnya?

Arin?

2 bulan sudah terlewati di kota ini, dan Arin membiarkan dirinya bergantung pada Awan. Tidak sepenuhnya bergantung juga sih, karena ia bisa membayar makanannya sendiri, membayar listrik sendiri, dan masih banyak lagi.

Tapi entah kenapa ia merasa setiap setidaknya satu minggu sekali, ia ingin bertemu Awan. Jalan-jalan pagi di akhir pekan biasanya jadi opsi terbaik. Sewaktu-waktu Awan menolak dengan alasan perusahaan tidak bisa membiarkannya bebas, dan Arin berakhir dengan menerima ajakan Vincent untuk pergi kemanapun lelaki itu membawanya.

Biasanya… hanya makan bersama.

Arin memijat pelipisnya, merasa matanya kian sakit berhadapan dengan komputer setiap hari. Lebih parahnya ia masih harus membaca berderet-deret pesan dari Vincent bilang ingin mengajaknya makan malam lagi. Laki-laki itu bilang tidak mau Arin telat makan.

"Vincent, bagaimana keadaan Audy?" Akhirnya setelah sekian lama Arin menanyakan tentang perempuan itu.

"Baik, dia sedang istirahat. Dokter bilang kandungannya rapuh, jadi dia harus banyak-banyak berada di rumah."

"Apa dia sakit sejak ikut ke desa?"

"Tidak kok. Sejak awal kemungkinan dia hamil sangat kecil, tapi kami tetap mencoba, dan begitulah hasilnya."

Arin mau tidak mau jadi ikut bersimpati mendengar perempuan lain mengalami hal menakutkan dalam kehamilannya. Ia jadi merasa bersalah karena sempat membenci Audy. Mungkin nanti ia harus minta maaf dan membelikan Audy hadiah kecil-kecilan untuk menyambut bayinya.

"Ah ya, tapi bukankah kandungannya sudah besar? Tinggal berapa bulan lagi?"

"3 bulan lagi. Ah iya, Arin… apa kau ada waktu hari sabtu?"

Entah ini hanya perasaan Arin sendiri, atau mungkin memang benar. Tapi Vincent selalu saja mengalihkan topik ketika ia membahas soal Audy. Bukannya merasa diistimewakan, Arin justru merasa Audy benar-benar menyedihkan.

Menyedihkan sekali si laki-laki beristri ini…

"Memangnya kenapa dengan hari sabtu?"

"Ada tempat yang ingin aku kunjungi denganmu."

Vincent terkekeh, sangat percaya diri bahwa Arin pasti mau-mau saja dibawa kemanapun dia inginkan.

"Bukankah setiap hari kau sudah mengajakku makan? Apa itu masih belum cukup?"

"Memangnya kenapa? Aku melakukan ini karena kita teman, kita sudah lama tidak bertemu. Aku ingin membawamu ke tempat yang selalu kita datangi saat masih sekolah dulu."

Biar Arin tebak…

"Bukankah itu artinya kita akan kembali ke desaku? Audy pasti tidak bisa ikut, kan?"

Vincent mengangguk senang.

---

"Kenapa kau menerima ajakannya?"

"Aku juga tidak tahu."

Sudah Arin bilang, ia akhir-akhir ini agak bergantung pada Awan. Ia tidak bisa untuk tidak menceritakan satupun kejadian yang ia alami sepanjang hari pada lelaki yang sudah mewarnai rambutnya jadi keabu-abuan itu. Mungkin seperti ini rasanya memiliki seorang kakak laki-laki yang umurnya tidak beda jauh darinya.

"Memangnya kau mau jawab apa kalau orang tuamu bertanya tentang Vincent?" Awan asyik menggonta-ganti channel televisi di ruang tamu Arin.

Benar juga. Dalam sekali lihat pun orang tua Arin akan sadar kalau ia datang dengan Vincent. Teman yang sering mengajaknya main dulu. Tapi ia berusaha menutup kemungkinan terburuk, karena.. ya.. mereka tidak akan lama-lama berada di sana nanti. Hanya dua hari saja.

"Oh iya Awan, ku rasa orang yang memberiku bingkisan tiap hari itu Vincent juga. Setelah aku bertemu dia dan menerima bingkisan yang sama, aku sudah tidak dapat lagi."

"O-oh, baguslah." Awan kembali mengganti channel, sementara Arin sibuk menata pakaian yang tadi sore baru ia ambil dari tempat laundry.

"Arin,"

"Ya?"

"Ada yang ingin ku katakan."

---

"Sudah siap?" Vincent keluar dari mobilnya dan menghampiri Arin yang berdiri di depan apartemen.

Sementara itu, Arin hanya mengangguk sambil tersenyum. Dia hanya membawa tas punggung kecil saja, karena bajunya masih tertinggal banyak di rumah. Anggap saja ini hanya acara jalan-jalan biasa.

"Kalau begitu ayo,"

Vincent bersiap menarik Arin, namun urung ketika perempuan itu tak kunjung bergerak.

"Kenapa? Ada yang ketinggalan?"

Arin hanya tersenyum, terlebih ketika seorang laki-laki bersurai abu-abu berkaos pendek menampakkan diri.

"Oi Vincent, Arin bilang aku boleh ikut kalian."

Vincent hanya ikut tersenyum melihat Arin yang meminta persetujuan. Lelaki itu sebenarnya tidak mau waktu berharganya dengan Arin diganggu, namun ia juga tidak bisa menolak mentah-mentah. Karena asal kalian tahu saja, berkat Awan dia jadi bisa bertemu dengan Arin.

"Awan ingin mengecek kedainya, jadi dia ingin ikut sekalian."

"Baiklah, ayo masuk."

Perjalanan kali itu benar-benar canggung, apalagi saat Arin lebih memilih duduk di belakang bersama Awan. Vincent beberapa kali tersenyum kecut, ia merasa jadi supir. Padahal yang mengajak pergi juga dirinya.

Walaupun Vincent tahu bahwa Awan sedari tadi hanya fokus pada ponselnya sendiri, tapi ia juga bisa melihat mata Arin yang tak lepas dari kegiatan 'melirik-lirik' si laki-laki abu-abu. Entah dia yang sial atau bagaimana karena membiarkan Arin mengenal si kawan menyebalkannya itu.

"Bagaimana kerjaanmu, Awan?" Arin akhirnya bersuara.

"Baik kok, hanya saja ayahku mulai datang untuk mengecek apakah aku benar-benar ke kantor atau tidak."

Vincent mendengarkan percakapan dua manusia di belakang sana tanpa ingin ikut bergabung. Ia sudah terlanjur muak, ingin menyapa Awan saja sudah terlanjur malas. Ia ingin segera sampai di desa dan mengeluarkan Awan dari mobilnya.

"Sepertinya ayahmu protektif," Jawab Arin.

"Ah, daripada itu.. kau mau tidak aku tawari pekerjaan baru?"

"Pekerjaan apa? Apa kerjanya hanya di akhir tahun saja?"

Yang berada di jok belakang meneruskan percakapan mereka, bahkan sesekali tertawa-tawa berdua. Vincent tanpa sadar mencengkeram setir mobil. Jadi, siapa sekarang yang perasaannya belum sirna?

---

"Kami duluan ya, Awan." Vincent sudah melambai-lambaikan tangan dari dalam mobil begitu Awan keluar tepat di depan kedainya.

"Oke, hati-hati kalian."

"Tunggu," Arin menyahut, membuat dua lelaki yang sedang bercakap-cakap menoleh.

"Aku ingin ke toilet sebentar."

"Oh, kalau begitu di kedaiku saja." Arin langsung mengangguk senang, ia lantas keluar kedai tanpa perlu mendengarkan Vincent yang ingin mencegahnya.

"Kenapa harus di sini, sih? Sebentar lagi juga sampai rumahnya."

Lelaki itu hanya mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas setir mobil, tanpa tahu kalau Awan yang baru beres mengambil tas langsung menghampirinya.

"Ngomong-ngomong, kau akan menginap dimana, Vincent?"

"Di tempat temanku."

"Kenapa tidak di tempatku saja? Aku kan juga temanmu. Rumahku kosong, karena orang tuaku sudah kembali lagi ke rumah lama."

Vincent melengos. "Tidak usah, terima kasih."

"Kau kelihatan kesal, kenapa?" Awan mencondongkan wajahnya tepat di depan spion, ingin bercermin sebentar.

"Tidak tuh. Aku hanya lelah dengan pekerjaan, jadi aku lumayan tidak suka diganggu sekarang."

"Oh ya? Kalau begitu, kenapa memaksa membawa Arin ke sini? Apa yang mau kau lakukan dengannya? Mau berbuat nakal, ya?" Awan terkekeh, membuat wajah Vincent merah karena menahan marah.

"Mengingat statusmu yang sekarang, kurasa kau tidak seharusnya membebani Arin lagi." Awan kembali berujar.

"Membebani apany-"

Arin sudah masuk ke mobil dan langsung duduk terdiam di jok depan. Vincent sampai takut kalau Arin akhirnya menyadari sesuatu yang janggal tentang dirinya gara-gara kalimat Awan.

"Oke, semoga hari kalian menyenangkan." Awan melambai-lambai sambil berjalan masuk ke kedainya. Masih sambil terkekeh.

"Arin, kau tidak dengar ucapan Awan tadi kan?" "Eh? Memangnya Awan bicara apa?"