Terakhir kali bertemu… Vincent seperti apa ya?
Seingat Arin, Vincent itu anak yang tak pernah lelah melucu. Meski kadang ketika melucu, pemuda itu selalu saja mencuri kesempatan untuk melakukan kontak fisik yang mana membuat Arin jengah setengah mati. Arin tak terbiasa dengan sentuhan fisik, terlebih karena usianya masih muda. Dan yang paling penting adalah dia jarang punya teman, jadi terasa agak geli.
Tapi Arin tak pernah benar-benar membenci Vincent. Ia menyukai pemuda itu karena hanya Vincent lah satu-satunya penyemangatnya, sementara orang lain tak berhenti menertawakan keluguannya kala itu. Vincent juga orang yang tidak sungkan bercanda dengannya di saat orang lain menjauhinya.
Klise sekali, tapi manis untuk dikenang.
Ia tak akan pernah lupa wajah Vincent semasa kecil. Tapi, kira-kira seperti apa wajahnya yang sekarang? Apa dagunya makin runcing? Atau justru wajahnya makin tirus?
Mendadak ingatan tentang Vincent berkelebat di kepalanya. Tiba-tiba mengagetkannya dari balik jendela sudah jadi kebiasaan, dan dengan jeleknya membuat Arin tertular suka melompat dari jendela.
Bahkan ia dan Vincent dulu pernah melompat dari jendela bersama karena ketahuan jalan-jalan berdua di malam minggu. Saat itu orang tua Vincent benar-benar marah. Mereka bilang keduanya masih anak kecil, dan Vincent tidak seharusnya membawa anak gadis keluar malam-malam.
Ah, itu hanya sepenggal masa lalu kok. Sekarang Arin benar-benar feminin. Lagipula menjadi anak nakal hanya akan menghambatnya punya suami.
Suami…
Suami…
Vincent…
Suami siapa?
"Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi, Arin." Vincent tersenyum sambil sesekali menggaruk tengkuknya.
Arin balas tersenyum canggung. Hari itu memang benar-benar canggung.
"Aku dengar kau lulus dari Universitas Sydney, hebat ya? Aku sih sudah tahu sejak dulu kalau kau itu hebat, Arin."
"Aku hanya menginginkan pengakuan dari anak-anak yang sudah menganggapku seperti sampah, Vincent. Aku benar-benar berusaha keras selama ini."
Vincent terdiam sesaat, mencoba memahami ucapan gadis di hadapannya. Karena sejujurnya, hanya Vincent seorang yang mengerti perasaan Arin sepanjang sekolah bersama dulu.
Laki-laki itu kemudian mengangguk sambil tersenyum, seolah tak ingin Arin tersiksa akan masa lalu.
"Menurutku, kau sudah melampaui semua itu. Kau bahkan benar-benar berbeda sekarang."
"Benarkah? Orang tuaku bilang aku semakin percaya diri, tidak seperti dulu. Aku sekarang bahkan sudah menerima pekerjaan sebagai penerjemah paruh waktu. Tahun baru nanti aku sudah bisa bekerja di perusahaan penerbitan di kota. Vincent ternyata juga menyadari perubahanku ya?" Arin terkekeh, dan tanpa sadar membuat pipinya bersemu.
"Iya, kau benar-benar jadi percaya diri. Tapi lebih dari itu, sekarang kau jadi jauh lebih cantik."
Arin tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.
Pertemuan ini sudah direncanakan Awan. Dua jam yang lalu Arin baru diberi tahu. Awan datang ke rumahnya dan bilang bahwa Vincent sudah sampai di kafe miliknya. Penghujung Tahun.
Arin terkejut tentu saja, karena waktunya yang benar-benar diluar dugaan. Secepat itu kah Vincent ingin bertemu dengannya?
"Ah iya, Arin. Aku tidak datang sendirian hari ini, aku bawa teman."
"Teman?" Arin membeo.
Vincent mengangguk, namun tersenyum tidak biasa. Iya, karena dulu senyum Vincent itu polos, sementara sekarang senyumnya seolah tengah menyiratkan sesuatu.
Tapi belum sempat Vincent menjelaskan semuanya, Arin sudah mengetahuinya lebih dulu. Jangan pikir Arin tidak memperhatikan sejak tadi bahwa ada sesuatu yang berbeda dari Vincent. Perbedaan yang beberapa waktu lalu dibicarakan oleh Awan.
Vincent ternyata memakai cincin.
Dan tak lama setelahnya ada seorang perempuan bersurai panjang bergelombang dari arah toilet. Perutnya membesar.
Arin mencoba untuk tetap duduk tegak tanpa bereaksi berlebihan atas kehadiran si perempuan yang menghampiri Vincent. Ia tidak butuh penjelasan untuk apa yang terjadi di hadapannya.
"Teman hidup maksudku." Vincent mengatakannya dengan lancar.
"Aku tidak tahu kapan kalian menikah, tapi selamat. Aku harap bisa melihat pernikahan kalian langsung, kalau saja Vincent tidak lupa untuk mengundangku." Arin terkekeh.
"Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi selalu gagal." Lagi-lagi hanya kekehan diantara mereka, membuat Arin tidak bisa berlama-lama di situ.
"Kenalkan, aku Audy. Kau pasti Arin, kan?"
"Iya, namaku Arini Reynaldio."
Terakhir kali bertemu, Vincent tidak bisa dekat dengan perempuan manapun selain Arin.
---
Vincent sudah pergi, katanya sih perut istrinya tiba-tiba kram. Dia bilang takut terjadi apa-apa, jadi harus segera pergi ke rumah sakit terdekat. Setelah itu mereka juga harus langsung kembali ke kota. Masalah pekerjaan.
Dasar laki-laki aneh, sudah tahu istrinya hamil begitu, masih saja dibawa bepergian jauh. Tapi terserah sih, itu kan bukan urusan Arin. Karena sekarang Arin hanya berurusan dengan si rambut kelam di balik mesin kopi.
"Wah, aku tidak menyangka akan dapat tontonan gratis seperti tadi." Awan bertepuk tangan heboh seraya meletakkkan cup plastik berisi kopi.
"Awan, apa kau sedang mempermainkanku?"
"Aku berusaha membantu orang yang kesulitan. Kau sekarang sudah jadi salah satu pelanggan tetap di sini, jadi sudah tugasku untuk memberi pertolongan."
"Sayangnya aku tidak tahu kapan pernah mendaftar jadi pelanggan tetapmu."
"Semua yang datang satu kali ke sini bisa langsung jadi pelanggan tetap." Awan tersenyum di akhir kalimat, membuat Arin jengkel.
Arin menyingkirkan kopi di hadapannya. "Aku tidak mau membayar untuk kopimu lagi."
"Yang ini gratis kok, khusus untuk orang yang sedang patah hati." Awan mengembalikan nampan dan kini sudah duduk menawan di kursinya.
"Kau benar-benar mempermainkanku. Benar kata ibuku, aku tidak seharusnya percaya pada orang asing. Kau bilang kau teman Vincent, dan aku juga teman Vincent. Tapi kau nyatanya tidak memperlakukanku seperti temanmu juga."
Awan nampak berpikir keras. "Maksudmu aku salah? Mempertemukanmu dengan Vincent adalah keinginan dia sendiri, bukan keinginanku untuk ikut campur."
Arin menghela napas. Ia sekarang merasakan tengkuknya pegal. Ia tidak yakin apakah setelah ini akan jatuh sakit atau tidak. Seingatnya, daya tahan tubuhnya ini lemah.
Andai saja ia tidak kembali ke kampung halamannya ini sekarang, pasti ceritanya berbeda. Kalau saja ia pulang lebih cepat, mungkin ia masih bisa mengejar perasaannya.
"Kenapa kau tidak bilang sejak awal kalau dia sudah menikah? Aku merasa malu sekali bertemu dengan Vincent. Aku bahkan sudah bercerita banyak padamu seberapa besar perasaanku untuknya, kenapa kau tidak bilang padaku sejak awal?!"
Arin berdiri dan membentak Awan. Ia merasa berada di luar kendali. Ia marah, pantaskah? Tentu saja pantas, karena tidak ada orang lain yang mengerti Vincent lebih darinya. Harusnya yang saat ini bersama Vincent itu Arui, bukan perempuan lain. Bukan perempuan yang Vincent temui di kota.
Siapa yang tahu perempuan itu baik atau tidak untuk Vincent?
Awan menahan lengannya, menyuruh Arin untuk kembali duduk. Tapi Arin menepis tangan itu dan menghela napas sekali lagi. Perempuan itu tiba-tiba merasa pusing.
"Semua orang memperhatikan kita, lebih baik kau duduk dan bicarakan masalah ini baik-baik."
"Sejak kapan kau peduli dengan pelanggan, bapak Awan yang terhormat? Bukankah orang-orang yang mengantri sambil kedinginan malam itu saja kau abaikan?"
Arin memukul meja di depannya. "Harusnya aku tidak perlu bertemu denganmu."
Ia pergi begitu saja, mengabaikan tatapan orang-orang yang menghabiskan sore harinya di kedai.
"Apa lihat-lihat?!" Awan membentak semua orang sambil meneguk kopi dan membanting gelas plastiknya kasar.
---
Arin menahan semuanya sejak tadi. Bahkan air mata yang dengan apik berhasil ia tahan sejak berada di hadapan Vincent langsung tumpah begitu ia mengunci kamar. Biar saja ayah dan ibunya berpikir ia punya masalah dengan Awan, ia tidak peduli. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan orang tuanya seputar Awan yang mengajaknya pergi tadi.
Arin butuh berdiam diri, dan dengan begitu ia pikir perasaannya pasti akan lebih baik lagi. Tapi sialnya, kepalanya jadi sakit sekali. Tiduran nyatanya tidak begitu membantu, ya mana mungkin membantu kalau ia saja tidak berhenti memikirkan hal yang sama.
Terakhir kali menangisi Vincent kira-kira 2 tahun lalu. Saat itu Arin merasa lelah sekali dengan segala urusan kuliah, ia tidak tahan lagi dan ingin rasanya melarikan diri dari dunia akademik yang mengikatnya. Tapi ia akhirnya berpikir kembali. Bukankah dengan melarikan diri hanya akan membuat saat-saat pertemuannya dengan Vincent menjadi semakin lama?
Andai saja ada yang bisa menjadi motivasinya saat ini, sama seperti saat terakhir kali merasa terluka.