Arin kembali lagi ke kedai yang sebelumnya sempat ia tinggal pulang. Ini sudah lewat 3 hari, dan baginya kembali lagi adalah keputusan yang sulit. Ia sempat merasakan kepalanya kosong tepat ketika Awan menawarkan bernostalgia, karena jujur ia sendiri tidak mengerti mengapa ia harus bernostalgia dengan orang asing.
Seseorang yang terus menerus menghantui pikirannya ini benar-benar istimewa, jadi tidak mungkin kalau ia sembarangan bercerita.
Awan?
Baru juga kenal kemarin. Tapi dengan gilanya lelaki itu berasumsi bahwa semua orang yang masuk kedai juga pasti curhat dengan orang asing. Pegawainya jelas orang asing untuk semua pelanggan.
Tapi Arin sudah mulai bernegosiasi seorang diri, menimbang-nimbang apakah dia berhak bernostalgia di sana? Awan kan anak desa sini juga, siapa tahu ia punya sedikit petunjuk tentang keberadaan Vincent saat ini. Arin ingin bertemu Vincent.
"Aku tidak memaksa orang yang memang tidak bersedia."
Arin sudah duduk di hadapan laki-laki yang 3 hari lalu ia tinggalkan. Perempuan itu memaksakan senyum ketika melihat raut wajah Awan yang nampak tidak suka.
Baiklah, Arin yang salah di sini. Sudah baik ada yang mau mendengarkan keluh kesahnya, tapi dengan sopannya ia melarikan diri.
"Maaf, hari itu aku butuh waktu untuk berpikir."
"Sekarang sudah dipikirkan?"
Arin mengangguk. Ia sangat yakin bahwa apa yang ia lakukan sekarang ini sangat-sangat benar.
---
27 Oktober 2007
Arin berjalan keluar kelas, menahan rasa lapar yang membuat perutnya sakit sekali. Ini sudah jam istirahat, dan dia berrencana membeli apa saja yang bisa mengganjal perutnya di kantin depan. Sendiri. Iya sendiri, karena gadis itu memang belum punya teman berhubung masih kelas satu.
Ia mengabaikan riuh yang datang dari dalam kelasnya sendiri. Sepertinya ada yang sedang bagi-bagi makanan. Gadis itu tidak peduli dan hanya berjalan seperti seharusnya, demi perut.
Namun secara ajaib langkahnya terhenti, dan kini lengannya sudah digenggam seseorang. Arin melihat seseorang yang nampak familiar itu kini tengah menatap tepat di matanya. Ah, dia teman satu kelasnya. Hanya saja Arin tidak tahu siapa namanya.
"Kau mau kemana?" Tanyanya.
"Kantin. Aku lapar."
Laki-laki itu justru terkekeh. "Kalau begitu masuk saja, aku sedang bagi-bagi kue."
Arin hanya tersenyum kikuk, dan sepertinya anak laki-laki itu langsung mengerti kalau Arin tidak terlalu dekat dengan anak-anak lain. Jadi dia masuk lagi ke kelas dan keluar beberapa detik setelahnya sambil membawa satu toples kecil kue cokelat.
"Kenapa kau bawa semua ke sini? Teman-teman yang lain bagaimana?"
"Makan saja, anak-anak yang lain sudah menghabiskan dua toples kok."
"Ah, begitu… terimakasih," Ucap Arin yang langsung diangguki si pemilik kue.
Mereka lantas duduk di bangku panjang samping kelas. Arin mulai memasukkan satu persatu kue ke dalam mulutnya.
"Ngomong-ngomong kau tahu namaku atau tidak?" Anak laki-laki itu memandangi Arin yang tengah makan.
Arin menggeleng singkat.
"Serius tidak tahu?"
"Iya. Saat perkenalan kemarin kan kau tidak sempat maju, karena sudah bel istirahat."
"Ah begitu ya? Ya sudah, kenalkan aku Vincent."
"Aku Arin."
Mereka berjabat tangan, diiringi senyuman singkat beberapa kali. Begitulah awal mulanya persahabatan mereka terjalin.
---
8 Agustus 2008
"Aku tidak terima dengan pengacakan kelas tahun ini. Kenapa aku harus satu kelas lagi dengan si tukang bully itu? Aku lelah jadi bahan tertawaan di kelas. Vincent mana mungkin tahu kalau aku dibully mereka, kerjaanmu kan hanya main bola terus saat istirahat."
Vincent yang duduk di antara rerumputan hijau hanya tersenyum selama gadis di hadapannya bercerita.
Arin tahu, Vincent mungkin bosan karena harusnya jam istirahatnya yang berharga ini ia habiskan bersama teman-teman seper-bola-annya, bukannya malah mendengarkan curhatan anak gadis.
"Apa guru-guru sengaja membuat sebagian besar anak kelas kita masuk ke kelas yang sama lagi? Andai aku tahu, aku pasti sudah lapor sejak ujian kenaikan kelas kemarin agar namaku dicantumkan di kelas lain."
Lagi-lagi Vincent tersenyum, tidak membantu permasalahan si gadis sama sekali.
Apa menurut Vincent, Arin yang sekarang ini sangat membosankan ya sampai beberapa hari terakhir dia lebih memilih main bersama temannya yang lain.
"Kalau kau hanya bisa senyum-senyum terus, lebih baik aku pergi saja."
"Eits, mau pergi kemana? Memangnya sudah selesai bercerita?" Vincent menggenggam pergelangan tangan Arin.
"Kau sendiri tidak merespon perkataanku sejak tadi."
"Aku harus merespon bagaimana?"
"Ya minimal kau bisa katakan 'iya' atau apalah yang penting setuju dengan perkataanku tadi, agar aku punya alasan untuk lapor ke guru. Aku mau pindah kelas saja."
Vincent menghela napas berat. "Kalau kau pindah kelas, nanti yang menemaniku kemana-mana siapa?"
---
19 Mei 2009
Ruang kelas terasa panas ketika jam pelajaran olahraga kelas 3 baru saja selesai. Beberapa anak memilih berada di luar, dan beberapa yang lain duduk diam di kelas sambil mengipasi badannya. Termasuk Arin.
Arin sendiri tidak tahu persis darimana munculnya, tapi beberapa anak yang sedari tadi belum masuk kelas kini berkerumun di sekitarnya. Beberapa diantaranya si tukang bully.
Arin awalnya diam saja, karena ia merasa tidak ada yang pantas ditertawakan atas dirinya hari ini. Rambutnya sudah panjang dan ia biarkan tergerai, Ia juga pakai anting yang besarnya normal, tasnya tidak baru, sepatunya pun berwarna hitam.
Tapi mereka tetap saja tidak beranjak dari tempatnya. Mirip kerumunan lebah.
"Arin, kau sudah dengar belum? Katanya Vincent suka kau."
"Wah pasangan baru di kelas,"
"Sudah pacaran saja, setiap hari juga kerjaan kalian ke sana kemari bersama-sama terus kan?"
Telinga Arin panas mendengar ocehan teman-temannya. Tak lama setelahnya banyak yang bersorak, membuat Arin ingin berteriak marah. Andai orang-orang tahu, dia ini paling benci mendengar hal seperti itu tentang dirinya dan Vincent. Orang-orang tidak pernah tahu apa-apa tentang persahabatan mereka.
Arin memberanikan diri berjalan ke arah Vincent yang sekarang sedang tertunduk di bangkunya, dan ia tak tahu entah sejak kapan sisi arogan mulai mengambil kendali atas dirinya saat ini.
"Vincent, mulai sekarang kita tidak perlu dekat-dekat lagi. Lagi pula aku tidak suka kau, dan tidak akan pernah mencoba untuk menyukaimu seperti yang mereka bicarakan."
Masih dengan tatapan marah, Arin pergi.
---
"Wah, keterlaluan."
Itu respon pertama Awan usai mendengar beberapa potong cerita masa lalu Arin.
"Aku tahu, dan aku menyesali ucapanku sendiri. Saat itu aku tidak sadar kalau kalimatku bisa menyakiti perasaan Vincent, tapi beberapa hari setelahnya aku merasa dihantui ucapanku sendiri."
Hening beberapa saat setelahnya, membuat si perempuan makin merasa bersalah. Arin jadi menyesal kenapa harus menceritakan masa lalunya yang menyedihkan ini.
Sebagai laki-laki, Awan pasti merasa harga dirinya terluka apabila dirinya yang mengalami kejadian serupa.
"Kalau saja dia masih di sini, aku pasti akan minta maaf," Ujar Arin demi memecah keheningan.
"Apa kau yakin dia bersedia memaafkanmu?"
Arin tidak menyangka kalimat seperti itu yang akan diucapkan Awan. Karena demi Tuhan kalimatnya itu sangat menyakitkan. Tapi Arin mencoba berpikir positif saja. Mungkin ini bagian dari sesi konseling nostalgia.
Arin akhirnya menggeleng, tidak tahu.
"Tenang saja, aku bisa membantumu."
Arin lantas menghela napas berat.
"Apa selain membuka jasa nostalgia, kau juga membuka jasa penyelesai masalah orang, Awan?"
"Aku serius." Awan ngotot.
"Aku juga serius. Mana mungkin kau bisa membantuku kalau kau tidak mengenali orang itu?"
Arin mendengar di kanan-kiri meja ada yang terlalu emosional dalam menyampaikan rasa rindunya pada masa lalu. Isak tangis ternyata juga menghiasi kedai kopi ini. Ah, betapa menyedihkannya para orang kurang beruntung itu.
"Kalau aku tahu orangnya, apa aku boleh membantu?"
Arin menatap Awan sebentar, kemudian pandangannya teralihkan oleh bunyi klakson di depan kedai. Ia menoleh sekilas ke arah sumber suara.
Ada macet di depan kedai yang disebabkan oleh makin banyaknya orang yang mengantri. Si pemilik kedai sendiri justru bersikap tidak peduli. Seolah kedainya akan selalu punya magnet yang bisa menarik semua pelanggan untuk masuk.
"Bagaimana Arin? Bagaimana jika aku kenal Vincent Radisto?"
Dengan cepat Arin menatap Awan kembali, diiringi mulut yang sedikit menganga.
"Da-darimana kau-"
"Aku minta maaf, tapi aku benar-benar mengenal Vincent. Dia juga teman sekolahku dulu."
Hah, ternyata dunia ini sempit sekali. Jadi Awan mau bilang kalau dia ini juga temannya yang dulunya tidak saling mengenal?
"Aku memang bukan orang asli desa ini, aku pindah ke sini ketika masuk sma. Di saat itulah aku berteman dengan Vincent."
Arin berusaha tetap tenang, dan ia akhirnya menunjukkan seulas senyum. "Terima kasih sudah jadi teman Vincent juga, Awan."
Kini Awan yang berkali-kali menghela napas, seperti punya beban mental yang ingin segera ia ungkapkan.
"Aku minta maaf, Arin."
Awan bingung. "Untuk apa lagi?"
"Kita belum lama saling mengenal, tapi aku memaksamu bercerita di sini seolah-olah kita ini teman lama yang bertemu kembali. Maaf, harusnya Vincent yang melakukan itu."
Arin diam saja. Ia hanya menyimak perkataaan Awan.
"Dan juga… Vincent minta dipertemukan denganmu kalau kau sudah kembali."
Tatapan mata keduanya bertemu.
"Tapi aku harap kau tidak kecewa ketika dia datang ke hadapanmu, Arin." Awan bicara lagi.
"Ke-kenapa aku harus kecewa? Apa ada yang salah dengan Vincent? Dia berubah banyak?"
"Ya, Vincent memang banyak berubah."