Di depan pintu tadi, Arin sibuk mengobrak-abrik isi tasnya, mencari kartu nama Awan yang tadi pagi diberikan. Ketika kartu nama sudah di tangan, gadis itu melangkah dengan perasaan senang.
Malam ini indah, banyak orang berlalu-lalang. Dulu belum ada orang sebanyak ini yang berani berjalan di malam hari. Entahlah, mungkin Arin yang melewatkan banyak hal ketika belajar di luar negeri.
Tapi yang namanya berjalan kaki tidak akan pernah indah. Arin sudah bolak-balik dari ujung jalan satu ke jalan lain hanya untuk mencari sebuah kedai kopi milik Awan. Badannya sudah menggigil akibat terjangan angin malam, tapi ia dengan yakin terus mencari.
Baiklah, mungkin setelah ini Awan harus mengapresiasi kegigihan Arim yang berani menghadapi angin malam akhir tahun hanya untuk mencari sebuah kedai kecil di pinggir jalan.
Perjalanan Arin membuahkan hasil, karena matanya dengan cepat menangkap sosok Awan yang tengah menenangkan para pelanggan di antrian luar kedai, muka mereka semua masam.
Tak butuh waktu lama bagi Awan untuk menyadari kehadiran si teman baru, ia lantas melambaikan tangan. Arin balas melambai singkat dari barisan antrian paling belakang.
Namun apa yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar perkiraan. Awan menarik lengan si gadis dan membawanya masuk. Lalu Arin dapat mendengar orang-orang memekik tidak terima.
Sekarang Arin sudah di dalam memandangi interior kedai yang luar biasa menyedot perhatian, sementara Awan minta ijin keluar sebentar hanya untuk kembali menenangkan lautan pelanggan.
"Maaf semuanya, mohon bersabar sebentar lagi."
Dinding-dinding kedai ini ditempeli ornamen kerang dan aksesori benda laut lainnya. Arin cukup terpana dengan apa yang ia lihat sampai ia menyadari bahwa warna dasar kedai ini sangat tidak cocok dengan gender pemiliknya.
Pink?
Yang benar saja.
Awan kembali masuk. Arin menatap si pemuda yang malah berwajah santai.
"Kenapa aku yang datang terakhir justru masuk dulu? Apa kau tidak kasian dengan mereka yang sudah mengantri dari ta-"
Awan membekap mulut Arin dan menyeret gadis itu ke sebuah bangku kosong di dekat jendela. Orang-orang di luar sana masih menatap tak suka.
"Jangan memprotes apapun, mereka akan makin marah."
"Kau tidak takut kehilangan pelanggan?"
Awan menggeleng.
"Yang seperti itu tiap malam pasti ada."
Arin kembali menatap kerumunan di luar, beberapa ada yang sampai jongkok di teras hanya untuk menunggu sebuah kursi kosong.
"Sudahlah tidak perlu dilihat. Lagipula mereka tidak akan pergi sebelum bisa masuk. Kau mau tahu kenapa?"
Awan memintanya menoleh ke arah kursi lain yang dipenuhi pelanggan. Si perempuan menatap mereka semua masih dengan tanda tanya. Kembali ditatapnya Awan yang justru tengah menyuruh seorang pegawai perempuannya ke meja tempatnya duduk.
"Selamat malam, selamat datang di Penghujung Tahun. Mau pesan apa?" Perempuan itu tersenyum ramah.
"Americano saja. Dua." Jawab Awan seenaknya.
Orang ini baru kenal sudah seenaknya saja. Padahal dia tidak tahu kalau Arin bukan peminum kopi yang baik.
"Baik, mau sekalian paket nostalgianya?" Si pegawai bertanya lagi.
Paket nostalgia?
Apa itu?
"Tidak perlu. Biar aku yang mengurus dia. Kau urus pelanggan lain saja."
Setelah mengatakan 'oke' pada atasannya, si pegawai perempuan undur diri.
"Awan, apa maksudnya paket nostalgia?"
Lelaki di hadapan Arin hanya mengendikkan bahu.
"Lihat sekelilingmu, nanti kau juga tahu."
Entah pendengaran Arin yang tadi sempat berkurang, atau karena ia mulai memahami maksud perkataan Awan. Tapi gadis itu jadi tertarik mencuri dengar pembicaraan dua orang di salah satu kursi yang tak jauh dari kursi mereka kini.
"Aku merasa beruntung sekali bisa mengenalnya, dan bagiku pernah menjadi bagian dari hidupnya benar-benar tidak pernah ku impikan sama sekali."
"Jadi maksud anda, anda sudah tidak bertemu lagi dengan si orang spesial ini?"
"Iya, aku sudah tidak pernah bertemu dengannya lagi karena dia sudah meninggal."
Arin merasa matanya memanas ketika ikut mendengar orang-orang menceritakan masa lalunya ke pegawai kedai kopi di sini.
"Arin,"
Ah, dia baru sadar kalau Awan memanggilnya.
"Kok kau melamun?"
"Awan, kau tidak serius kan soal ini?"
Pemuda itu justru menatap Arin dengan dahi berkerut, mungkin ia tidak paham.
"Maksudku, kau membiarkan orang-orang menceritakan aibnya ke pegawaimu? Di tempat umum begini?"
Awan menggeleng. "Bukan menceritakan aib, tapi bernostalgia."
Ada-ada saja kelakuan manusia belakangan ini.
"Akan ku ceritakan bagaimana awalnya kedai ini terbentuk."
Kopi yang Awan pesan sudah datang, dan Arin sedikit demi sedikit mencobanya sembari mendengarkan Awan memulai ceritanya.
Tidak buruk juga rasa kopi di sini.
"Orang-orang sekarang lebih memilih merantau ke kota daripada menetap di desa tempat mereka dilahirkan. Jadi, perlahan satu persatu dari mereka membuat kenangan di sini. Saat akhir tahun, orang-orang yang merantau pulang ke desa ini, dan dari sini lah mereka mulai merindukan segala hal yang pernah mereka lalui sebelum memilih pergi ke kota."
Awan meneguk kopinya juga.
"Kebanyakan dari mereka merindukan kisah cinta, jadi sulit bagi mereka untuk menyampaikan rasa rindu kepada orang yang disayang. Ada beberapa yang beruntung, dan mereka berakhir kembali ke pelukan orang yang disayang. Tapi lebih banyak yang tidak, sehingga mereka tidak tahu harus mengatakan rindu ke siapa."
Awan menyangga kepalanya dengan tangan di atas meja, menatap tepat di mata Arin. Entah mengapa Arin merasa sedang bertatapan dengan ilmuwan beserta eksperimen gilanya.
"Jadi itulah kenapa kedai kopi ini terbentuk. Untuk menampung nostalgia mereka yang tidak tersampaikan -eh, kenapa kau menangis?"
Arin mengerjap ketika mendengar kalimat terakhir Awan.
"Aku tidak menangis kok."
"Matamu memerah."
Arin buru-buru buang muka dan mengedip beberapa kali, siapa tahu merah di matanya bisa segera reda. Sial, mendengar sejarah kedai ini membuatnya tiba-tiba teringat Vincent lagi.
"Ah, aku lupa memberitahumu satu info lain tentang kedaiku. Paket nostalgia yang kedai ini tawarkan tidak selalu ada, hanya ditawarkan tiap bulan November-Desember tiap tahunnya. Hanya di akhir tahun."
"Boleh juga idemu."
Awan bersedekap dalam duduknya, bergaya seperti bos. Memang bos sih.
"Kau nyaman bekerja seperti ini?"
Lelaki itu mengangguk. Tidak ada pekerjaan yang lebih nyaman baginya selain jadi bos.
"Bagaimana kalau gantian aku yang bertanya, Arin?"
"Tanya apa?"
"Apa kau bersedia…
…bernostalgia di sini?"
Arin menatap Awan lebar-lebar.
"Apa kau sudah gila?!"