Chereads / (Un)forgettable / Chapter 16 - Chapter 15 - Still Love You

Chapter 16 - Chapter 15 - Still Love You

Hari ini Renald mengajak Arin ke taman, hanya berdua. Ada hal yang ingin ia sampaikan. Mereka mengeluarkan sepeda di bagasi mobilnya. Sepeda double seat pun siap mereka naiki. Renald di jok depan dan Arin duduk di jok belakang. Arin begitu bersemangat, melihatnya jadi gemas ingin mencubit pipi cewek galak rasa gula ini. Mereka mengayuh pedal dan mulai mengelilingi taman.

"Waktu dulu gue sering maen sepeda berduaan gini."

"Sama siapa? Pacar lo? Lo punya cewek?" Arin penasaran. Renald tersenyum.

"Kalau gue punya cewek lo bakal cemburu, nggak?"

"Ya nggak lah, emangnya gue ini siapanya lo? Gue nggak berhak cemburu." Arin menggigit bibirnya.

"Kalau gue pengen jadi siapa-siapanya lo gimana?" tanya Renald memancing.

"Hah? Eh, udahan yuk! Kaki gue udah pegel banget, nih." Arin berusaha lari dari pertanyaan Renald.

Mereka pun menepikan sepeda di samping kursi taman. Kini sedang duduk sambil disibukkan dengan pemikirannya masing-masing.

"Gue mau ngomong," ujar Arin dan Renald bersamaan. Mereka tertawa. Renald mengalah, mempersilakan Arin untuk bicara duluan.

"Lo inget nggak waktu gue ngasih tantangan makan baso pedas dulu?" Renald mengangguk.

Arin mulai menceritakan kecurangannya, ia memakan baso yang tidak pedas sedangkan Renald makan baso yang super pedas. Waktu itu ia menang telak dan sesuai perjanjiannya Renald harus menuruti semua perintahnya dan bahkan itu masih berlanjut sampai sekarang, sampai mereka lulus. Ia benar-benar merasa tidak enak pada Renald, sampai sekarang terus memikirkan hal itu dan tidak pernah bisa tenang.

"Lo nggak marah, kan?" tanya Arin hati-hati.

"Udah gue duga, waktu itu lo pasti curang." Renald menatap Arin, pura-pura marah. "Lo tahu nggak? gue nyampe diare." Ia memasang tampang kesal.

"Maafin gue ya, gue ngelakuin itu buat kebaikan lo juga." Arin menunduk, merasa bersalah. Lalu Renald tertawa, Arin mendongak menatapnya keheranan.

"Iya gue ngerti dan gue nggak marah kok sama lo." Renald tersenyum, kali ini ia serius. Arin sumringah, merasa lega.

Kalau boleh jujur sebenarnya ia agak kesal. Apalagi mengingat bagaimana Arin sering memaksanya melakukan segala sesuatu yang tidak diinginkannya. Tapi untuk apa marah? Kejadiannya pun sudah lama. Justru kini ia merasa bersyukur karena hal itu dapat mendekatkannya pada Arin.

Arin mengembuskan napas, "Nald, gue kok belum pernah liat nyokap lo, ya. Kenalin gue ke nyokap lo dong!" Pinta Arin, bicara hati-hati. Renald hanya diam, lalu menatapnya. Cewek berbibir mungil itu meneguk ludahnya, takut kalau Renald marah.

"Lo mau es krim nggak? Gue beliin, ya!" Mengalihkan pembicaraan.

Arin mengangguk lesu, lagi-lagi Renald tak menjawab pertanyaan tentang ibunya. Namun itu lebih baik daripada harus menerima kemarahan Renald. Setahunya, hubungan Renald dengan papanya tidak terlalu baik, mungkin dengan ibunya pun begitu, pikirnya. Entah kedua orang tuanya bercerai atau mungkin ibunya sudah meninggal? Renald Benar-benar tertutup kalau soal urusan keluarga. Ia hanya tahu kalau Renald adalah anak tunggal, hanya itu. Konyol sekali bukan?

Setelah sibuk dengan berbagai macam pikiran, Arin kini melihat ke suatu arah. Ada yang mencuri perhatiannya, cewek itu bangkit dari kursi dan mempertajam penglihatannya. Melihat Farel sedang bermesraan dengan Cindy. Dadanya terasa sesak, matanya terasa panas ingin mengeluarkan cairannya. Lalu Renald menghampiri Arin dengan dua es krim di tangan, ia menyadari kehadiran Renald namun matanya tak mau berpaling dari pemandangan dua orang itu. Renald mengikuti arah pandang Arin, langsung paham dengan perasaan Arin sekarang.

Tiba-tiba hujan turun deras disertai suara gemuruh petir. Air matanya ikut luruh mengikuti turunnya air hujan, Renald yang tersadar langsung menarik tangan Arin agar tidak berdiam di sana. Namun tubuhnya tetap terpaku di situ, memperhatikan siluet dua orang yang sudah berlari menghindari derasnya hujan.

"Rasanya sakit banget, Nald." Arin terisak, wajahnya terasa panas berusaha menahan air mata. Renald tidak merespon, hanya terus mendengarkan curahan hati cewek yang disayanginya. Walaupun itu membuat dadanya terasa sesak.

"Gue masih cinta sama dia," ungkap Arin diiringi suara sambaran petir.

Renald menjatuhkan es krim yang digenggamnya, memeluk Arin untuk menenangkannya. Hanya itu yang bisa ia lakukan, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya pun ikut sakit melihat Arin yang menangis terisak seperti ini. Setelah beberapa detik ia melepaskan pelukannya.

"Gue ngerti perasaan lo, tapi lo jangan nangis! Lo harus kuat, lo harus buktiin ke dia kalau lo bukan cewek lemah." Arin mengangguk sambil berusaha menghentikan isakan tangisnya.

Kini mereka sedang dalam perjalanan pulang, baju mereka basah kuyup sehingga Renald mempercepat laju mobilnya agar cepat sampai dan Arin bisa segera mengganti bajunya.

"Nald, waktu di taman tadi lo mau ngomong apa?"

"Tadi gue mau ngomong apa, ya? Gue lupa." Renald menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Arin menaikkan sebelah alisnya, beberapa detik kemudian perhatiannya kembali ke arah samping kaca mobil.

Tanpa harus Renald ungkapkan, ia sudah tahu jawaban dari cewek ini. Arin pasti menolak, hatinya masih untuk orang lain. Ternyata Arin tidak punya perasaan apa-apa padanya, mungkin hanya menanggap teman saja. Ia paham dan tidak bisa memaksakan keinginannya, takut Arin akan menjauhinya.

"Besok gue bakal kenalin lo sama nyokap gue."

Arin mengangguk, tersenyum senang. Mereka kembali fokus pada arah jalanan dan tak terasa telah sampai di depan rumah Arin. Ia segera membuka pintu mobil, namun Renald menahannya.

"Makasih ya buat hari ini," ujar Renald sambil tersenyum. Arin membalas senyumannya.

***

Renald mengamati Arin, berada di dekatnya sudah cukup membuatnya bahagia, tanpa harus memilikinya. Mereka sedang makan di kantin bersama Andi dan Tiara.

"Pulang sekolah jadi kan, Nald?" tanya Arin. Renald mengangguk.

"Jadi apa?" Andi mengerutkan keningnya.

"Apalagi kalau bukan nge-date. By the way, kapan diresmiinnya?" tanya Tiara.

Renald yang akan menyuapkan mie ayam menghentikan aktivitasnya, sedangkan Arin yang sedang mengunyah baso jadi tersedak. Ia meminum teh botolnya. Arin bilang mereka tidak mungkin berpacaran. Renald yang mendengarnya tersenyum miris. Andi dan Tiara bisa melihat kesedihan di wajah Renald, hanya orang yang tidak peka yang tak bisa mengetahui perasaan Renald. Ya, orang itu adalah Arin.

Sepulang sekolah, Renald dan Arin langsung menuju tempat yang Renald maksud. Di tengah perjalanan berhenti di toko bunga, membeli sebuket lily. Daripada membuat Arin penasaran, ia pun menjelaskan bahwa bunga ini untuk mamanya. Mama Renald sangat menyukai bunga lily. Mereka kembali melanjutkan perjalanan, tetapi betapa bingungnya Arin ketika Renald menghentikan motornya di sebuah pemakaman umum. Begitu banyak pertanyaan yang ada di kepalanya.

"Nald, katanya kita mau ketemu sama nyokap lo, kok kita malah ke sini, sih?"

Renald menggenggam tangan Arin, menuntunnya agar tidak kebingungan. Lalu berhenti di sebuah pusara, ia meletakkan buket lily-nya di dekat batu nisan itu.

"Hai Ma, apa kabar? Kabar Mama baik-baik aja, kan? Mama pasti bahagia di surga sana." Renald mengelus nisan itu. Arin terkejut.

"Nald... Maafin gue, gue nggak maksud..." ucapan Arin terhenti. Renald menempelkan telunjuknya di bibir Arin.

Ia memperkenalkan Arin pada mamanya. Tapi percuma saja, tidak ada yang akan menanggapi. Arin langsung paham, membaca nama yang tertulis di batu nisan itu. Rosalina.

"Hai tante, kenalin nama aku Arin. Nama tante Rosa bagus, pasti secantik orangnya." Arin tersenyum.

Lalu Renald kembali berbicara dengan mendiang ibunya, walaupun tidak ada wujudnya tapi ia yakin kalau ibunya pasti mendengar apa yang diutarakannya. Renald memberi bunga lili warna putih, warna kesukaan mamanya. Bunga lili putih itu melambangkan kesucian dan kesederhanaan. Arin hanya diam memperhatikan.

***

Kenapa ia tidak pernah cerita pada Arin kalau ibunya sudah meninggal? Tahu begitu Arin tidak akan memberi pertanyaan-pertanyaan tentang ibunya, apa ia sibuk bekerja? Atau orang tuanya bercerai, kah? Merasa bersalah sudah berpikir yang tidak-tidak tentang ibunya.

Arin sedang duduk berdua dengan Renald di bangku taman sekolah. Setelah kejadian kemarin ia tidak berbicara apapun pada Renald. Lidahnya terasa kelu. Padahal begitu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan. Renald mengembuskan napas, tak tahan dengan kebisuan ini.

"Gue masih belum siap buat cerita." Renald menatap kosong tanah yang dipijaknya.

Kini Arin menatapnya, menghela napas panjang ingin ikut mengakhiri kebisuan ini. "Setiap gue bahas tentang ibu lo, lo pasti sakit banget, ya? Gue minta maaf, Nald."

"Gak ada hal yang perlu dimaafkan, lo nggak buat kesalahan apapun." Renald tersenyum.

Mereka sudah lama berteman, tapi banyak hal yang belum ia ketahui tentang Renald. Terlalu samar, Renald itu abu-abu. Berusaha membuat keadaan kembali normal, Renald mengajaknya pergi ke Puncak besok. Matanya berbinar mengangguk antusias.

"Tapi kali ini gue cuma mau ngajak lo." Renald menatap Arin serius.

"Tiara sama Andi nggak ikut?" tanya Arin-polos.

Renald menggeleng, "lagian mereka juga udah ada rencana buat jenguk anak-anak di panti, kan." Arin mengangguk.