Chereads / (Un)forgettable / Chapter 21 - Chapter 20 - Piece by Piece

Chapter 21 - Chapter 20 - Piece by Piece

Ponsel Arin berdering, ia mengangkatnya. Apa lagi ini? Teriaknya dalam hati. Masih berduka atas kepergian Renald, kini mendapat kabar bahwa Bagas dirawat di rumah sakit yang sama dengan Renald. Ia pun segera menuju lantai sembilan.

"Ada apa dengan Bagas, bu?"

"Dia harus segera dioperasi. Kalau tidak, nyawanya tak bisa diselamatkan," ucap Ibu Sri sambil menangis.

Arin kaget, menutup mulutnya. Isaknya tertahan di tenggorokan. Tapi ia tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya. Ia menyuruh untuk melakukan operasi secepatnya. Untuk urusan biaya ia siap menanggung semuanya, ia akan berbicara pada papanya nanti. Tetapi saat ini tidak ada pendonor, itulah yang menjadi masalahnya. Hampir-hampir Arin putus asa. Namun dokter menghampiri, memberitahu bahwa ada pasien korban kecelakaan yang berpotensi menjadi pendonor paru-paru, tetapi perlu meminta izin pada pihak keluarganya.

Secercah harapan muncul. Tidak menyia-nyiakan waktu, Arin meminta pihak rumah sakit untuk segera mengurusnya. Namun lagi-lagi mendapat kabar buruk, pihak keluarga tidak mengizinkan. Jenazahnya ingin segera dikebumikan tanpa kurang apapun, menolak untuk diautopsi. Arin terduduk, menangis. Tidak tahu harus berbuat apa, yang jelas tidak siap kehilangan lagi orang yang ia sayangi hari ini. Masih begitu terpukul.

Menghapus air matanya, bangkit. Ia harus mencari cara, menangis tidak menyelesaikan masalah. Arin menanyakan siapa jenazah yang dokter maksud, selain itu ia juga ingin menemui keluarganya. Siapa tahu bisa berhasil membujuknya. Dan betapa terkejutnya, ternyata yang berpotensi menjadi pendonor adalah Renaldi Sebastian. Orang yang ia cintai. Rasanya memang sedikit tidak rela, kenapa harus Renald? Tapi ini demi kesembuhan Bagas, ia punya kesempatan untuk tetap melanjutkan hidup. Arin yakin Renald pasti bersedia mendonorkan paru-parunya untuk Bagas, hanya saja ia tidak bisa mengatakannya secara langsung, sudah beristirahat dengan tenang.

"Saya kenal dengan keluarganya dok, biar saya yang membujuknya."

"Baiklah kalau begitu."

Arin segera menemui Om Surya dan memintanya agar memberi izin mendonorkan paru-paru anaknya. Tampak berpikir, menimbang keputusannya. Sudah jelas-jelas tadi ia menolak, tetapi kali ini Arin yang meminta. Tentu Renald akan bahagia jika melihat Arin tersenyum, tapi sekarang Arin malah menangis memohon-mohon seperti ini. Renald pasti marah jika mengetahui ia membuat Arin menangis. Akan sangat menyesal jika Renald membencinya seumur hidup, bahkan hingga setelah kematiannya.

"Izinkan saja mas, Renald juga pasti akan senang kalau dirinya bisa membantu orang lain." Rosetta berusaha membujuk juga.

Om Surya menghela napas, "baiklah, Om izinkan."

"Makasih banyak, Om." Arin terharu, memeluk Om Surya.

Operasi transplantasi paru-paru dilakukan malam itu juga. Setelah pengujian, ternyata paru-paru Renald cocok untuk tubuh Bagas. Arin dan Bu Sri menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Arin sudah menghubungi Tiara dan Andi, juga sudah memberi tahu orang tuanya bahwa ia akan pulang larut malam dan memberi kabar tentang kematian Renald. Proses operasi yang memakan waktu berjam-jam akhirnya selesai juga. Dokter bersama para suster keluar dari ruang operasi.

"Operasinya berhasil, tinggal kita tunggu bagaimana respon tubuhnya menerima organ baru itu."

Beberapa hari setelah operasi, kondisi Bagas semakin membaik. Kini Arin, Andi, dan Tiara tengah menemaninya di ruang inap. Tiara sedang mengupaskan mangga untuknya.

"Kakak," panggil Bagas, suaranya agak serak.

"Kenapa de?" tanya Arin.

"Kak Renald kemana? Kok nggak jengukin Bagas sih?" Arin membisu, tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Kini tengah menahan tangisnya agar tidak pecah di hadapan Bagas. "Bagas pengen ketemu kak Renald."

Arin sudah tak bisa menahan tangisnya, berlari meninggalkan kamar Bagas. Di sana ia kembali menangisi Renald, luka karena kehilangannya belum kering. Bagas hanya menatap bingung kepergian Arin. Andi dan Tiara bisa memahami perasaannya, Arin butuh waktu sendiri sehingga mereka tidak mengejarnya. Membiarkannya meluapkan segala duka hingga akhirnya merasa lega.

"Kak Arin kenapa?" Bagas bingung.

"Kak Arin lagi nggak enak badan," jawab Andi. Bagas mengangguk tanda mengerti.

"Kak, Bagas pengen ketemu kak Renald."

"Kalau Bagas pengen ketemu kak Renald, Bagas harus bener-bener sembuh dulu ya." Tiara mengusap kepala Bagas.

"Besok kan Bagas udah boleh pulang, berarti besok Bagas bisa ketemu kak Renald?" Tiara dan Andi mengangguk.

***

Sesuai dengan janjinya, Tiara dan Andi mengajak Bagas untuk menemui Renald, Arin juga ikut. Bagas menangis melihat batu nisan bertuliskan nama Renald. Tiara memeluk Bagas berusaha menenangkannya, begitu juga dengan Andi. Sedangkan Arin hanya terdiam, ikut menangis. Air matanya hanya mengalir tanpa isakan.

"Satu hal yang perlu kamu tahu, paru-paru kamu itu paru-paru kak Renald juga. Jadi, tolong dijaga ya! Karena sekarang Bagas bernapas untuk kak Renald juga," ucap Arin setelah menghapus air matanya. Bagas mengangguk.

"Bagas pasti akan menjaganya untuk kak Renald." Sambil terisak.

Mereka pun meninggalkan pemakaman. Arin menengok ke belakang, menatap pusara itu dengan hati yang teriris. Andai Renald tahu bahwa ditinggalkannya membuat Arin begitu terluka. Rasa sesal mendesak hatinya, seharusnya Renald tahu perasaan Arin padanya sebelum kematiannya tiba. Arin mencintai Renald jauh sebelum ia menyadarinya.