Tak terasa Air mata Arin menetes, segera menghapusnya. Tersadar, sudah berapa jam ia berdiam di taman mengenang masa lalunya. Bangkit dari kursi taman, lalu memberhentikan taksi. Ia ingin bertemu Renald. Rasa rindunya begitu membuncah.
"Antarkan saya ke TPU, pak." Ia masih fasih berbicara bahasa Indonesia setelah menetap selama tiga tahun di Amerika. Setelah lulus SMA ia kuliah di Harvard dan jarang pulang ke Indonesia.
Taksi berhenti di tempat tujuan. Arin mengeluarkan beberapa lembar rupiah dari dompetnya, memberikannya pada supir taksi. Kemudian membuka pintu mobil dan mulai menapaki tanah yang mengubur puluhan orang. Disinilah tempat peristirahatan temannya yang ia cintai. Arin berhenti di pusara Renald.
"Hai, apa kabar? Kabar lo pasti baik-baik aja. Lo pasti bahagia karena bisa berkumpul dengan ibu, nenek dan juga kakek lo. Sampaikan salam gue ke mereka, ya!" Arin mengelus batu nisan itu, tersenyum secerah mungkin. Ia berjanji tidak akan menangis lagi di hadapan pusara Renald, itu hanya akan menyiksa Renald.
"Ade lo udah besar, dia sama nakalnya seperti lo dulu. Kemarin gue ketemu papa lo dan tante Rosetta, mereka keliatan bahagia dengan keluarga kecilnya." Ia menghela napas, "gue kangen berat, rasanya nggak adil karena gue nanggung rindu ini sendiri." Arin sebal, mengerucutkan bibirnya. Ia yakin jika Renald melihatnya pasti akan ditertawakan. "Tapi gue tetap sayang lo." Arin kembali tersenyum, bangkit meninggalkan tempat itu.
Setelah kepulangannya dari Amerika dua hari yang lalu, ia belum sempat melihat anak-anak di panti. Ia juga merindukan mereka. Arin menaiki taksi lagi menuju Panti Asuhan Pelangi. Ia menatap sebuah mobil merci hitam yang terparkir di halaman panti, mungkin itu milik donatur panti ini yang kebetulan sedang berkunjung atau calon orang tua angkat anak panti. Sudah bukan hal aneh dengan keberadaan mobil-mobil mewah yang terparkir di halaman panti.
Kedatangannya langsung disambut oleh Ibu Sri, wajahnya tetap sama seperti dulu. Hanya saja kini ada kerutan halus yang menghiasi wajahnya.
"Apa kabar? Kapan pulang ke Jakarta?"
"Kabar Arin baik bu, Arin baru datang ke sini dua hari yang lalu."
Arin memperhatikan seisi ruangan, tidak banyak yang berubah. Mata Arin menelusuri setiap inci sudut ruangan ini. Penjelajahan matanya berhenti pada sebuah figura. Arin mendekat, menatap foto dirinya bersama Renald, Tiara, Andi, Ibu Sri dan anak-anak panti. Menelusuri wajah-wajah dalam figura itu. Manik matanya berhenti pada sosok yang kini telah meninggalkannya. Bayang-bayangnya masih terekam dengan jelas di memorinya, begitu juga dengan perasaannya. Setelah tiga tahun rasa cintanya pada Renald tidak berkurang sedikit pun. Itulah kekurangan Arin, sulit melupakan.
"Silakan diminum tehnya! Nanti keburu dingin." Arin tersentak.
"Iya bu, makasih."
Arin duduk di sofa, menikmati teh buatan Bu Sri. "Anak-anak pada kemana, bu?"
"Mereka ada di kamarnya."
"Kalau begitu Arin lihat anak-anak ya, bu." Bu Sri mengangguk.
Ia membuka pintu kamar sedikit, terlihat seorang cowok sedang membacakan dongeng untuk anak-anak. Tapi Arin tak bisa melihat wajahnya, posisinya membelakangi Arin. Rasanya tidak sopan kalau Arin tiba-tiba masuk, ia pun mengetuk pintunya.
"Masuk aja!" Cowok itu mempersilakan masuk.
Arin terkejut, ternyata itu adalah Brian. Kakak kelasnya sewaktu SMA yang terkenal sebagai troublemaker. Ia selalu ingin tertawa jika mengingat kejadian dulu, pernah mengajaknya tanding basket agar Brian dan gengnya berhenti mem-bully dan membuat masalah di sekolah. Masih ingat betul ekspresi wajahnya begitu malu karena kalah oleh tim Arin. Ia juga beberapa kali bertemu Brian di Harvard, Brian adalah kakak tingkatnya. Ajaib, murid yang terkenal nakal sepertinya bisa masuk Harvard. Arin pun bingung.
"Hai!" sapa Arin kikuk.
Brian tersenyum, "sini ikut gabung." Arin mengangguk.
Lalu beralih pada anak-anak, "nggak ada yang mau nyambut kakak?" mereka pun bangkit dari tempat tidurnya dan mencium tangan Arin. "Kalian udah pada besar, ya." Memperhatikan satu-persatu. Sekarang sudah tidak ada Rezki di sini, ia diadopsi setahun yang lalu. Arin selalu mendapat kabar dari Bu Sri tentang keadaan anak-anak panti.
"Oh iya, silakan lanjutin lagi story telling-nya." Arin menatap Brian.
"Gue udah selesai, sekarang giliran lo."
Arin menghela napas, mulai menceritakan sebuah dongeng. Brian memperhatikan, antusias mendengarnya mendongeng. Sedikit membuatnya gugup, tidak biasa diperhatikan seperti itu. Setelah selesai, ia pamit pulang.
"Biar gue anter."
"Nggak perlu kak, gue pulang naik taksi aja."
"Udahlah... Kapan lagi coba bisa nganterin lo." Arin hanya tersenyum kikuk.
Akhirnya Arin pulang bersama Brian. Jalanan Jakarta cukup macet, ini memang jam pulang kerja. Ia memperhatikan Brian, cowok bertubuh tegap itu sangat tampan. Rahangnya yang kokoh semakin mempertegas bentuk wajahnya. Bibirnya merah muda alami, sepertinya tidak pernah menyentuh tembakau. Ia juga tidak menemukan korek atau apapun yang berhubungan dengan rokok di mobil ini. Semakin memperkuat dugaannya bahwa Brian bukan perokok.
Lagipula senakal-nakalnya Brian, ia tidak pernah melihatnya merokok di sekolah sewaktu SMA. Tidak terpengaruh teman-temannya yang selalu mengepulkan asap, ia paling memetik gitar di pojokan kantin dan ikut tertawa mendengar candaan receh teman-temannya. Namun yang paling Arin benci dari Brian adalah kesombongannya, ia selalu ingin menjadi nomor satu, menjadi ketua geng, sangat ingin jadi kapten basket tetapi tidak berhasil.
"Gue lebih senang menggunakan uang gue buat membantu orang yang membutuhkan daripada buat beli rokok." Brian seolah bisa membaca pikiran Arin.
Ia memberikan selembar uang lima puluh ribu pada seorang pengamen, pengamen itu tampak begitu senang mendapatkan uang yang cukup banyak baginya. Déjà vu. Arin pernah mengatakan hal itu pada Renald waktu dulu. Menatap kagum, tersenyum padanya. Suara dering telepon menyadarkannya, Arin menatap ponselnya, nomor baru. Ia baru saja mengganti provider. Lalu mengangkat panggilan telepon tersebut.
"Apa kabar nona Amerika?" Siapa lagi kalau bukan Tiara, sahabatnya.
"Kabar gue baik, lo gimana?"
"Kabar gue juga baik. Eh, lo ini bener-bener nyebelin, Rin. Kenapa nggak ngasih tahu kalau lo udah di Jakarta? Kalau tadi gue nggak ketemu ibu lo mungkin sampai saat ini gue ngira lo masih di Amerika." Mulai lagi, kalau tidak mengomel bukan Tiara namanya.
"Maaf, kemarin gue cape. Jadi nggak sempat ngasih kabar."
Tiara mengundang Arin ke acara pertunangannya besok. Namun baru bisa mengabarinya sekarang, terasa mendadak bagi Arin. H-1 baru dikabari. Tapi ia tetap akan datang. Tiara dan Andi tetap menjalani hubungan sampai sekarang, hingga ke jenjang yang lebih serius. Arin senang mendapat kabar baik dari temannya. Sesaat kemudian ia berpikir andai Renald masih hidup, mungkin mereka bisa seperti Tiara dan Andi.
"Siapa?" tanya Brian, saat Arin selesai dengan sambungan teleponnya.
"Tiara. Katanya besok acara pertunangannya dan gue disuruh datang."
"Gue juga diundang, kalau mau kita bisa berangkat bareng." Arin menerima tawarannya.
***
Sesuai janji, Arin dan Brian pergi bersama menghadiri acara pertunangan Tiara. Mereka telah sampai, pesta bertemakan garden party ini telah ramai dihadiri para tamu undangan. Acara pun dimulai, sebuah ritual pertukaran cincin telah selesai dilaksanakan. Arin mengucapkan selamat pada Tiara dan Andi.
"Kapan lo nyusul?" tanya Tiara.
"Belum ada calonnya, Ra." Arin terkekeh.
"Yang itu boleh juga." Tiara menyikut lengan Arin, matanya melirik Brian. Mengikuti arah pandang temannya, ia hanya tersenyum tidak menanggapi candaan Tiara.
Menghampiri Brian yang sedang mencicipi dessert. Mengajaknya pulang, Brian mengangguk.
"Malam ini ada acara nggak?" tanya Brian sambil matanya fokus ke arah jalanan.
"Nggak ada."
"Kalau gitu, kita bisa dinner bareng?" Arin menatapnya, lalu mengangguk. Brian tersenyum senang.
Brian mengajaknya makan malam ke sebuah restoran bintang lima. Untung saja ia memakai gaun panjang berwarna merah tanpa lengan. Rambutnya disanggul ke atas sehingga membuatnya terlihat anggun, serta sebuah kalung yang menghiasi lehernya. Tadinya hanya akan mengenakan dress floral selutut karena ia pikir Brian akan mengajaknya ke tempat makan biasa.
Arin memperhatikan meja makannya, terdapat lilin di atas holder yang bergaya klasik. Taburan bunga mawar disusun membentuk hati mengelilingi meja tersebut, serta cahaya temaran dari lampu-lampu gantung. Suasananya sangat romantis, tempatnya pun privat berada cukup jauh dari para pengunjung restoran yang lain. Sudah dipersiapkan secara khusus. Mereka memesan makanan, tak lama pesanan datang.
"Ini semua gue yang siapin." Brian tengah memotong steak-nya.
"Apa ini nggak terlalu berlebihan?" Arin merasa tidak nyaman diperlakukan spesial seperti ini.
"Ini bukan acara makan malam antara junior dan senior." Arin mengerutkan keningnya.
Brian mengumpulkan keberaniannya, lalu mengeluarkan sesuatu di dalam saku celananya. Sebuah kotak berwarna merah berisi cincin berhiaskan berlian sebagai permata.
"Will you be my fiancee?" Sebuah pertanyaan yang membuat Arin membeku seketika. Brian senekat itu melamarnya malam ini.
"G-gue masih pengen fokus kuliah kak, mau ngambil master di Harvard. Gue juga belum siap sejauh itu." Sebenarnya itu hanya alasannya saja, ia tidak berencana melanjutkan studi dalam waktu dekat ini.
"Gue, hmm... Aku siap nunggu."
"Maaf kak, gue nggak bisa." Arin pergi meninggalkan Brian.
Brian bangkit, "apa ini karena kamu masih terjebak dalam masa lalu?" Arin menghentikan langkahnya, sebuah pertanyaan yang tentu saja tidak bisa dijawabnya. "Apa kamu masih belum melupakannya?"
Arin melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Kini Arin tengah menangis di kamarnya, luka itu kembali terkuak. Luka yang timbul karena masa lalunya. Kenangan-kenangan pahit kini kembali berputar di kepala Arin bagai kaset kusut. Mengambil buku sketsa milik Renald. Om Surya memberikannya sewaktu pemakaman Renald, buku sketsa ini ia temukan di kamar anaknya. Dibukanya lembaran-lembaran itu. Ada gambar neneknya Renald, ibunya, papanya, anak-anak panti, Patung Liberty. Arin berhenti pada sebuah halaman, di mana ada seorang perempuan yang sedang memainkan biola, itu adalah Arin. Di sana Renald menulis sebuah kalimat yang membuat hatinya terasa perih.
Dia adalah perempuan pertama yang berhasil mengisi hati ini.
Menangis memeluk buku sketsa itu. Ia adalah warna di masa SMA Arin, tapi sekarang warnanya telah hilang. Kini hanya tinggal sebuah siluet. Arin menghapus air matanya. Mengambil biola, memainkannya untuk mengalihkan pikirannya yang sudah kacau.