Chereads / (Un)forgettable / Chapter 19 - Chapter 18 - Move Away

Chapter 19 - Chapter 18 - Move Away

Semilir angin menjatuhkan dedaunan kering. Sunyi. Seperti biasa tempat pemakaman umum selalu sepi, membuat Renald nyaman menyampaikan segala isi hatinya pada batu nisan yang tak pernah menjawabnya.

"Papa mau nikah lagi, harusnya Mama marah! Kenapa Mama diem aja?" Renald menatap nanar pusara ibunya, kemudian memandang kuburan yang masih basah tepat di samping pusara ibunya. "Maaf, nek. Renald belum siap terima dia buat jadi ibu baru Renald."

Renald meletakkan bunga lili putih di kedua pusara tersebut, lalu bangkit meninggalkan tempat itu. Melihat ponselnya, ada pesan dari Arin. Segera ia baca pesan itu. Tersenyum, rasa kesalnya langsung hilang. Ia pun melajukan motornya. Sampai di sana, menghampiri Arin yang sedang duduk di bangku taman. Wajahnya ceria mengharapkan kabar baik, penasaran tentang sesuatu yang akan Arin sampaikan padanya.

"Gue sama Farel udah jadian," ujar Arin antusias. Wajah Renald mendadak masam, senyumnya pudar.

"Lo nyuruh gue dateng ke sini cuma buat ngomongin itu? Sorry, gue masih punya banyak urusan." Renald meninggalkannya.

Arin berteriak memanggilnya, tetapi tak dihiraukan. Lagi-lagi Arin dibuat bingung oleh sikapnya yang mendadak dingin. Sebetulnya itu bukan sesuatu hal yang membingungkan, hanya saja Arin tidak peka terhadap perasaan Renald.

Semenjak itu Renald selalu menghindari Arin. Setiap berpapasan, Renald tak pernah meliriknya. Walaupun mereka teman sebangku, tidak pernah ada interaksi. Renald benar-benar mendiamkannya, membuatnya merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Berhari-hari saling membisu.

"Nald, lo kenapa sih? Kenapa cuekin gue? Gue ada salah apa sama lo?" Akhirnya Arin membuka suara. Namun Renald tidak menjawab, hanya memasang wajah dingin. Berlalu mengabaikannya, ia hanya bisa tertawa sumbang mendapat perlakuan itu.

Arin menuju kantin. Tiara melambaikan tangan, mengajaknya untuk bergabung. Ada Andi dan Renald juga. Saat menatap Renald, yang ditatap langsung memalingkan wajah. Rasanya sakit diperlakukan seperti itu oleh seseorang yang sangat dekat dengannya. Arin pun menggeleng, menolak ajakan Tiara. Mengedarkan pandangannya, mencari Farel. Lalu seseorang memegang bahunya, menoleh.

"Hei, nyariin aku ya?" Farel tersenyum.

Arin merengut, "kamu kemana aja sih? Dari tadi aku nyariin kamu."

"Tadi abis nyerahin agenda kelas ke Bu Lisa. Maaf ya, jangan ngambek dong." Mengacak rambut Arin, ia menepis tangan Farel.

"Iya, iya aku maafin."

Mereka pun menempati kursi yang kosong. Farel memesankan makanan, membawa siomay dan es teh manis. Arin segera melahap makanannya. Farel terkekeh, mengambil tisu dan membersihkan saus di sudut bibir Arin. Melihat pemandangan itu, hati Renald terasa panas. Ia pun pergi meninggalkan kantin. Tiara dan Andi menatap kepergiannya bingung.

***

Arin keluar dari mobil Farel, lalu memasuki rumahnya. Naik ke lantai atas menuju kamar, mengganti baju seragamnya. Lalu mengambil ponsel, membuka galeri. Senyumnya mengembang melihat foto gaya bebas dirinya dengan Farel. Perlahan senyumnya menghilang ketika ia menggeser layar ponsel, foto dirinya dengan Renald. Arin rindu akan kebersamaan dengannya, rasanya begitu sakit ketika Renald menjauh. Suara ketukan pintu menyadarkannya, ia segera meletakkan ponselnya di nakas. Mama menyuruhnya turun ke lantai bawah untuk makan siang, ia pun keluar.

Arin duduk di bangku dan menyiukan nasi ke piringnya. "Gimana hubungan kamu sama Farel?" Mama menatapnya penasaran.

"Ya gitu." Ia mengedikkan bahu.

Malas menjawab, ia sedih karena Renald mendiamkannya sehingga pacaran dengan Farel tidak terlalu membawa dampak bahagia baginya. Mama tampak tidak puas dengan jawabannya.

Arin mengembuskan napas, "gimana sih kegiatan orang pacaran? Sekolah dianter jemput, hari minggu jalan bareng. Gitu-gitu aja, nggak ada hal menarik yang perlu diceritain." Mama mengangguk setelah mendengar penjelasannya.

"Gimana keadaan Renald? Udah lama dia nggak main ke sini." Kini Papanya yang bertanya.

Arin menghela napas, menggeleng pertanda bahwa ia tidak tahu bagaimana keadaan Renald. Orang tuanya akan membuka suara lagi, tetapi Arin segera mendahului. "Nggak usah bahas Renald."

Selesai makan siang Arin kembali ke kamar. Ponselnya berbunyi. Panggilan dari Tiara, ia segera mengangkatnya. Tampak terkejut mendengar kabar dari Tiara. Setelah panggilan telepon berakhir, ia mengambil kunci mobil. Pergi dengan terburu-buru. Mobilnya melaju cepat menembus jalanan yang sedikit padat. Akhirnya ia sampai di sebuah rumah sakit.

"Ra, gimana keadaan Bagas?" Arin khawatir. Tiara langsung mengantarnya memasuki ruang rawat Bagas, ia tengah terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan yang terpasang di mulutnya.

"Dia udah melewati masa kritisnya, sekarang lagi istirahat." Arin mengembuskan napas lega.

Seseorang membuka pintu ruang rawat Bagas. Melihat keberadaan Arin di sana, ia mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam. Jelas itu Renald, orang yang sedang menghindari Arin. Arin sadar Renald datang dan malah menghindar, membuatnya semakin sedih. Tiara juga menyadari kehadirannya dan berniat mengejarnya, lalu menyuruh Arin untuk menjaga Bagas. Arin mengangguk, duduk di samping bangsal.

Tiara menahan Renald, mencekal tangannya, "gue mau ngomong." Cowok itu berbalik, mengangkat alisnya. "Gue tahu lo cinta sama dia. Tapi cuma karena dia nggak bales perasaan lo, lo jadi jauhin dia. Jangan egois, Nald!" Tiara menatap temannya marah.

"Gue egois? Gue kayak gini karena nggak mau rusak kebahagiaan dia."

Ia juga tidak mau terus dekat dengan Arin, itu menyakitinya. Namun, jauh darinya juga menyakitkan. Hanya bisa melihat senyumnya dari jauh begitu menyiksa. Apalagi senyum manis itu untuk cowok lain.

"Harusnya lo ungkapin perasaan lo ke dia! Mungkin semuanya nggak bakal jadi serumit ini." Renald tersenyum sinis, untuk apa mengungkapkan semuanya? Ia sudah bersama orang lain. "Dia juga berhak tahu, Nald." Tiara menatapnya nanar.

Renald hanya diam. Baginya ia tidak harus bersama Arin, melihatnya bahagia dengan orang lain pun sudah cukup. Naif memang, sebetulnya ia hanya sedang berusaha menguatkan hatinya.

"Cara lo mencintai dia itu salah, Nald." Tiara meninggalkannya. Renald mengacak rambut frustasi.