Renald sudah menunggu di depan rumah Arin. Ia pun memakai ranselnya lalu berpamitan pada mamanya. Kemudian naik mobil Renald, sebelum itu Renald pun berpamitan pada Mama Arin.
"Hati-hati di jalan! Jagain anak tante ya!" Mama Arin mengedipkan matanya.
"Haha, siap tante."
Selama di perjalanan, matanya terus melihat pemandangan yang dilewati mobil Renald. Tampak asyik melihat panorama yang indah itu. Renald sesekali meliriknya sambil tersenyum. Setelah puas melihat pemandangan, ia merasa mengantuk. Perlahan matanya mulai menutup, terlihat begitu kelelahan. Renald mengusap kepalanya, tetapi ia tetap tidur pulas tidak bereaksi apapun.
Setelah cukup lama tertidur Arin pun terbangun. Lampu-lampu jalan menerangi gelapnya malam. Tak terasa telah sampai di sebuah vila yang cukup besar, mereka pun segera keluar dari mobil dan disambut oleh penjaga vila, mempersilakannya masuk. Renald menyerahkan kunci mobilnya, meminta untuk diparkirkan. Penjaga vila itu juga bertugas menjaga nenek, namanya Mang Asep. Selain Mang Asep, ada Bi Murni yang biasa membersihkan vila dan memasak untuk nenek.
Renald menekan bel pintu, tak lama pintu terbuka menampilkan wanita paruh baya berbaju daster sederhana, itu Bi Murni. Mereka pun masuk. Seorang wanita dengan rambut yang mulai memutih menghampiri.
"Ya ampun, Renald... Nenek kangen banget sama kamu. Sekarang kamu udah besar, tinggi." Nenek memeluk Renald dan mencium kedua pipi cucu kesayangannya ini. Arin tersenyum melihatnya.
"Iya nek, Renald juga kangen sama nenek. Oh iya, kenalin ini temen Renald, namanya Arin."
"Aduh... Cantiknya temen kamu ini, Nald." Arin tersenyum, mengucapkan terima kasih.
Nenek menyuruh mereka untuk mandi. Selesai mandi, kini mereka makan malam bersama diiringi dengan obrolan ringan. Nenek memilih tinggal di sini karena butuh udara segar, tidak mau mendengar bisingnya suara kendaraan. Sudah tidak cocok tinggal di Jakarta.
"Nenek butuh ketenangan di sisa hari-hari nenek."
"Nenek akan selalu ada di sini buat Renald." Ia menggenggam tangan neneknya.
"Apa yang bisa diharapkan dari wanita tua ini, nak? Nenek rasa sudah cukup untuk hidup di dunia ini, nenek ingin menjemput mendiang kakek dan ibumu."
"Stop, nek! Renald nggak mau kehilangan orang yang Renald sayang lagi, udah cukup kehilangan mama dan kakek. Tapi kali ini Tuhan jangan ambil nenek," ucap Renald parau.
Renald memeluk neneknya erat. Tersenyum getir, mengelus rambut cucunya ini. Arin hanya dengan melihatnya bisa merasakan betapa takutnya Renald kehilangan orang yang ia sayang, betapa rapuhnya ia.
Selesai makan malam Arin berdiam di teras untuk melihat pemandangan langit malam. Renald pun menghampirinya. Ia sibuk menghitung bintang di langit, Renald terkekeh. Ada-ada saja, untuk apa menghitung bintang yang jumlahnya tak terbatas. Pekerjaan yang sia-sia. Menurut Arin, jumlah orang yang menyayanginya itu sebanyak jumlah bintang. Maka dari itu ia menghitungnya, ingin tahu seberapa banyak orang yang menyayanginya.
"Tanpa menghitung bintang pun lo bisa tahu seberapa banyak orang yang menyayangi lo. Mereka yang selalu ada di sisi lo itulah yang menyayangi lo, Rin." Arin berhenti menghitung bintang, meresapi ucapan Renald.
"Nald, katanya orang yang udah meninggal itu bakal jadi bintang di atas sana. Menurut lo, mama sama kakek lo jadi bintang yang mana?"
Renald memandang langit lalu menunjuk dua bintang yang terpisah dari deretan bintang lainnya. Mereka tersenyum simpul melihat kedua bintang itu. Kemudian ada bintang jatuh, Arin mengajaknya membuat permohonan. Renald menggangguk, memejamkan matanya.
***
Suara kicauan burung membangunkan Arin. Rasanya begitu damai mendengar nyanyian merdu burung di pagi hari. Ia bangkit dari tempat tidur lalu mengikat rambutnya asal, berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci muka. Menghidupkan keran air dan menampungnya di tangan. Ia tersentak, airnya sangat dingin. Segera membasuh wajah dan menggosok giginya. Setelah itu keluar dari kamar mandi.
Ia mengikuti aroma harum yang menusuk hidungnya, mendapati nenek yang sedang memasak sarapan pagi. Arin kaget, ternyata nenek masih bisa membuatkan sarapan. Ia pikir nenek sudah tidak banyak beraktivitas. Arin menghampiri, berniat membantu. Nenek memintanya untuk mengambilkan piring.
Arin pun menyerahkan piring. "Oh iya, Renald di mana?"
"Mungkin ada di depan."
"Nek, Arin susul Renald, ya." Nenek mengangguk.
Melihat Renald sedang berolahraga ringan di halaman vila, lalu menghampirinya. "Selamat pagi."
Renald menghentikan aktivitasnya. Menatap Arin sambil tersenyum simpul. "Pagi."
Udara di sini benar-benar sejuk, Arin memejamkan matanya sambil menghirup udara dalam-dalam. Renald pun menikmati pemandangan itu, ia terlihat begitu cantik pagi ini walau hanya mengenakan piyama dan dengan rambut diikat asal cenderung berantakan. Baginya Arin adalah gadis paling cantik yang pernah ia lihat. Nenek yang melihat itu di balik pintu tahu betul bahwa cucunya sedang dimabuk cinta.
Arin membuka matanya dan langsung mendekati pemandangan yang menarik perhatiannya. Terpukau melihat sederet bunga mawar berwarna merah muda. Tangannya memetik mawar itu, tetapi ia terkena duri. Arin meringis, meniup-niup tangannya yang berdarah.
Renald menghampirinya dan langsung mengemut jari Arin untuk menghentikan pendarahan ringan. Arin tersentak, ada gelenyar aneh saat Renald menyentuh tangannya. Ia segera menarik tangannya dari genggaman Renald, agak canggung. Renald berlari ke dalam dan kembali dengan kotak obat di tangannya. Menempelkan plester pada jarinya yang terluka.
"Makanya hati-hati!" Arin mengangguk.
Lalu Renald mengajaknya jogging. Ingin memperlihatkan pemandangan di kebun teh. Arin mengangguk antusias, lalu masuk ke dalam untuk berganti baju. Tak lama ia keluar, memakai kaos berwarna hitam dan celana training. Mereka pun mulai berlari mengelilingi kebun teh.
"Kalau Farel nembak lo, apa lo mau terima dia?"
Kini mereka sedang duduk di sebuah batu besar. Arin yang sedang asyik melihat pemandangan di bawahnya menengok, mengangguk. Renald tersenyum miris.
"Nald, kenapa sikap lo aneh banget di hari pertama sekolah? Tadinya lo cuek, tapi tiba-tiba jadi sok asik. Setelah itu ngilang nggak pernah gangguin gue lagi. Gue masih bingung." Renald terkekeh. Ia memang orang yang tidak bisa ditebak.
"Waktu itu gue kaget, lo satu-satunya cewek yang bisa marah sama gue. Biasanya semua cewek jadi mendadak diem kalau udah liat muka gue. Tapi lo enggak, makanya gue penasaran dan mulai deketin lo. Tapi lama-kelamaan bosen juga, sikap lo nggak pernah berubah. Tetep jutek, makanya gue ngejauh."
Arin tertawa mendengar penjelasannya. Ia memang satu-satunya cewek yang sulit didapatkan hatinya. Tapi Renald tidak mengatakan yang sejujurnya, ia menjauh karena kecewa Arin tidak menghargai permintaan maafnya yang tulus, biar ia yang menyimpannya sendiri. Lagipula Arin tidak seburuk yang ia pikir, justru cewek ini benar-benar luar biasa. Mengagumkan. Setelah cukup lama berdiam, Renald mengajaknya kembali ke vila.
Setelah sampai di vila, mereka langsung sarapan. Setelah itu, Arin mengobrol dengan nenek. Nenek memberi tahu kalau ibunya Renald meninggal setelah melahirkannya. Ia belum pernah melihat ibunya, hanya dari foto saja. Renald mengetahui segala hal tentang ibunya dari nenek.
Sebenarnya Surya sudah melarang istrinya untuk mempertahankan kandungannya, mereka sudah tahu risikonya. Tapi Rosa tetap menginginkan Renald. Surya terlalu mencintai istrinya, setiap melihat Renald, ia seperti melihat Rosa. Dan itu menyakitinya, makanya ia selalu menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Renald yang haus akan kasih sayang seorang ibu juga membutuhkan perhatian papanya. Sejak kecil Renald menginginkan itu, ia selalu membuat ulah agar bisa mendapat perhatian dari papanya. Tapi Surya malah bersikap keras padanya, begitulah caranya menunjukkan rasa kasih sayang. Tidak mau Renald jadi anak nakal dan masa depannya hancur. Tapi Renald bukan anak yang bisa dididik keras, ia berontak dan kenakalannya makin menjadi.
"Saat masih sehat, nenek sering bermain sepeda berdua dengan Renald. Tapi sekarang nenek sudah tua dan penyakit semakin menggerogoti tubuh nenek."
"Oh... Jadi, orang yang Renald maksud itu nenek. Arin pikir dia sering maen sepeda sama pacarnya."
"Setahu nenek, Renald tidak pernah dekat dengan perempuan. Kamu perempuan pertama yang bisa jadi teman dekatnya, kamu juga satu-satunya perempuan yang dia kenalkan pada nenek. Arin, kamu pasti orang yang spesial bagi Renald." Nenek tersenyum, "dia tidak pernah memainkan perasaan perempuan, dia juga sulit untuk jatuh cinta, nenek tahu betul. Melihat kedekatan Renald dengan kamu, pasti Renald punya perasaan yang lebih."
"Nenek ini ada-ada aja deh. Nggak nek, kita berdua udah nyaman sama hubungan pertemanan ini, nggak ada perasaan lebih di antara kita berdua."
Nenek sudah tidak bisa menjelaskan lagi, biarkan mereka yang menyelesaikan urusan hatinya masing-masing. Arin mengedarkan pandangannya, ada sesuatu yang sangat disukainya. Biola.
"Nenek bisa main biola?" tanya Arin antusias. Nenek mengangguk.
"Apa Arin juga bisa main biola?" Arin mengangguk.
Nenek ingin mendengar permainan biola Arin. Ia pun mengambil biola itu, memainkannya. Sebuah instrumen yang sangat menyayat hati dengan indahnya terdengar menggema di balkon vila. Nenek tersenyum melihat kelihaian Arin memainkan biola miliknya.
Perhatian Renald teralihkan saat mendengar suara biola. Mengedarkan pandangannya dan menemukan cewek yang sedang memainkan biola. Tersenyum memperhatikan, kini ia mendapatkan objek yang bisa dilukisnya.
Arin mengakhiri permainan biolanya. Mendapat tepukan tangan dari nenek, benar-benar takjub. Ia meletakkan kembali biola itu di tempatnya. Kemudian mandi karena sebentar lagi akan pulang ke Jakarta.
Kini Arin dan Renald sudah siap. Mereka berpamitan pada nenek, Bi Minah dan Mang Asep.