Kemarin Andi dan Tiara sudah menjenguk anak-anak di panti. Anak-anak sudah mulai sekolah. Renald dan Arin senang mendapat kabar baik itu. Tapi ada kabar buruk, Bagas sakit. Ia mengidap penyakit bronkitis akut. Lingkungan ia yang dulu sangat kotor, juga makanan yang dikonsumsi tidak higienis. Paru-paru Bagas terinfeksi bakteri. Selama ini ia kelihatan baik-baik saja, Bagas pintar menyembunyikan penyakitnya. Pulang sekolah mereka berniat menjenguk Bagas.
Arin pergi ke toilet, setelah selesai dengan urusannya ia segera keluar. Saat hendak memutar kenop pintu, ia mendengar suara keributan. Penasaran, segera membuka pintunya. Julio mendapat bogem mentah tepat di tulang pipi, darah segar keluar dari sudut bibirnya. Ia membalas pukulan Farel. Mereka beradu tonjok. Cindy hanya menyeringai, kemudian menarik lembut tangan Julio.
"Cindy, hubungan kita selama ini baik-baik aja, kita belum putus. Kenapa tiba-tiba kamu bisa sama dia?" Farel meminta penjelasan.
"Oh iya, aku lupa. Kalau gitu hubungan kita sampai di sini aja ya. Kita putus." Cindy memberikan raut wajah sedih palsunya. Farel heran, kenapa Cindy tiba-tiba minta putus. Memangnya ia berbuat kesalahan apa?
"Gue cintanya sama Julio."
Farel hendak memberikan serangan lagi pada Julio. Namun Arin menahannya. Cindy senang melihat kedatangan Arin, ia dengan bangganya bilang bahwa Farel benar-benar mencintainya sehingga tidak terima diputuskan olehnya. Arin bingung, untuk apa ia melakukan ini semua? Memangnya Farel punya salah apa sampai-sampai Cindy mempermainkannya.
"Dari dulu lo selalu jadi spotlight, sedangkan gue? Gue selalu dinomor duakan sama orang-orang. Gue nggak suka itu!" Cindy menatap Arin jengkel, "sejak gue tahu kalau lo udah lama suka sama Farel, gue mulai deketin dia. Sekarang gue menang, cowok yang lo suka ternyata lebih mencintai gue." Cindy tersenyum penuh kemenangan.
"Kalau lo punya masalah sama gue kenapa harus bawa-bawa Farel? Gue nggak suka kalau lo melibatkan perasaan orang lain." Arin menatap Cindy nanar, lalu memandang Julio dengan perasaan kecewa.
Arin menarik Farel menuju UKS meninggalkan dua orang yang masih berdiri dengan angkuhnya. Mengobati luka lebam Farel, sesekali meringis ketika Arin menempelkan handuk kecil basah di wajahnya.
"Harusnya gue nggak sia-siain cewek sesempurna lo."
Mereka tidak menyadari bahwa ada seseorang di balik pintu. Seseorang yang sedari tadi memperhatikan akhirnya meninggalkan tempat itu.
***
Arin kesal karena Renald meninggalkannya. Mencari-carinya di sekolah tapi ternyata Renald sudah ada di panti asuhan menjenguk Bagas. Ia menghampiri Bagas dan meletakkan buah yang dibawanya di meja samping ranjang. Menanyakan bagaimana keadaanya, Bagas berusaha terlihat baik-baik saja agar tidak membuat khawatir Arin dan Renald. Setelah Bagas benar-benar tertidur, Arin dan Renald keluar dari kamarnya. Mereka menghampiri ibu panti.
"Penyakit Bagas apa separah itu, Bu?" tanya Arin.
"Kata dokter, kalau keadaannya tak kunjung membaik terpaksa Bagas harus melakukan transplantasi paru-paru. Sekarang hanya paru-paru kanannya yang masih bisa berfungsi, paru-paru kirinya sudah rusak."
"Semoga Bagas bisa bertahan," ucap Renald lirih.
Setelah selesai membantu anak-anak panti mengerjakan PR sekolahnya, Arin dan Renald berpamitan pulang. Arin tidak nyaman dengan sikap Renald yang dingin.
"Lo kenapa sih, Nald? kenapa jadi diem-dieman gini?" Arin heran, yang ditanya hanya menatap ke depan fokus pada jalanan. Arin mendesis pelan lalu memalingkan wajahnya ke luar jendela mobil.
Setelah sampai di rumahnya Arin langsung keluar dari mobil tanpa menengok ke arah Renald. Kesal dengan sikap Renald yang tiba-tiba diam tidak mau bicara padanya.
***
Renald menahan Arin yang hendak meninggalkan kelas. Meminta maaf atas sikapnya yang kekanak-kanakan waktu kemarin. Ia tersenyum, memaafkan Renald. Renald mengajaknya pulang, tapi Farel memanggilnya. Meminta Arin mengantarnya ke toko buku. Arin tampak berpikir, Renald lebih dulu mengajaknya pulang, tapi ia juga tidak bisa menolak permintaan Farel. Akhirnya Arin menyuruh Renald pulang duluan.
Farel menggenggam tangannya menuju tempat parkir, tersentak dengan perlakuan Farel yang tiba-tiba. Rasanya agak canggung. Renald melihat itu, ia belum meninggalkan area parkir. Farel membukakan pintu mobil untuk Arin, menurutnya ini berlebihan. Tapi perempuan mana yang tidak suka diperlakukan manis seperti ini. Melihat pemandangan itu rahang Renald mengeras, ia mengepalkan tangannya.
"Presentasi lo tadi bagus banget." Arin tersenyum simpul, mengucapkan terima kasih. Mereka sudah sampai di toko buku.
Farel menemukan buku yang ia cari, lalu mengambilnya. Ia juga membeli beberapa komik Marvel.
"Lo suka komik Marvel? Film-filmnya suka juga nggak?" tanya Arin antusias.
"Suka, filmnya juga gue suka dan nggak pernah ketinggalan. Lo juga suka?"
Arin mengangguk, "hero favorit gue Iron Man, gue suka Tony Stark yang cerdas dan berkarisma."
"Next time kalau ada film keluaran terbaru dari Marvel bisa nonton bareng dong." Farel tersenyum. Arin hanya mengangguk malu.
Farel membawa bukunya ke kasir. Arin juga membeli beberapa novel. Setelah itu mereka keluar dari toko buku. Masuk ke dalam mobil, pulang.
"Makasih ya, udah mau nemenin gue hari ini." ujar Farel sebelum Arin keluar dari mobilnya.
"Sama-sama." Arin tersenyum, kemudian Farel membukakan pintu mobilnya.
Rasanya seperti mimpi bisa berada di dekat Farel, ia berjingkrak-jingkrak kegirangan setelah mobil Farel sudah tidak terlihat.
***
Setelah menerima telepon dari seseorang Renald segera melajukan motornya ke sebuah tempat. Ia memasuki ruangan, mendekati wanita tua yang nampak pucat. Menggenggam tangannya erat.
"Renald, biarkan nenek pergi," ucap nenek lirih.
"Nggak! Nenek nggak boleh ninggalin Renald, Renald nggak bisa hidup tanpa nenek." Semakin kuat menggenggam tangan neneknya.
Ia sudah lelah menanggung penyakitnya. Menahan tangis, kini cucunya tengah memeluknya dengan erat. Renald menangis, tidak mau kehilangan orang yang ia sayang.
"Nenek boleh kasih permintaan?" Renald mengangguk, "nenek minta perbaiki hubungan kamu dengan papamu. Biarkan dia bahagia, izinkan dia untuk mencari kebahagiaannya lagi." Renald menatap neneknya bingung. "Dia merasa kesepian semenjak kehilangan ibumu, biarkan dia mencari penggantinya."
"Enggak! Nggak ada seorang pun yang bisa gantiin Mama."
"Nenek mohon..." ucap nenek parau. Lalu terbatuk, menutup mulutnya. Wanita tua itu melihat cairan merah berada di telapak tangannya.
"Nenek sayang kamu, nak." Perlahan menutup matanya.
Renald menatap tidak percaya, mengguncang tubuh neneknya berharap wanita itu akan terbangun. Namun sia-sia, ia memeluk neneknya erat. Tangisannya pecah, hatinya terasa sakit karena harus kehilangan seseorang yang sangat disayanginya. Tidak akan ada lagi orang yang menguatkannya, memberinya perhatian. Kini ia benar-benar merasa sendiri. Kenapa semua orang meninggalkannya?
Arin melihat ponselnya kaget, ada 15 panggilan tak terjawab dari Renald. Ponselnya dalam mode diam, jadi ia tidak menyadarinya. Lagipula tadi terlalu asyik mengobrol dengan Farel sampai-sampai tidak melirik ponselnya. Arin menelepon balik Renald, namun yang dihubungi nomornya tidak aktif. Ia pun menyerah, meletakkan ponselnya di nakas.
***
Suara ketukan pintu membangunkan Arin. Dilihatnya jam digital, pukul 06.30. Ia tersentak, segera bangkit dari ranjangnya. Mama bilang temannya sudah menunggu di bawah. Ia bergegas. Farel menepati janji untuk menjemputnya hari ini. Sesampainya di sekolah, Tiara langsung menghampiri Arin.
"Lo udah tahu belum?" Arin mengerutkan keningnya. "Neneknya Renald meninggal, waktu kemarin sore."
Arin terkejut. Pantas saja kemarin Renald meneleponnya berkali-kali, ia merasa bersalah. Harusnya kemarin ia ada di samping Renald, menguatkannya yang baru saja kehilangan neneknya. Tapi ia malah bersenang-senang dengan cowok lain.
***
Renald masih berdiam di samping gundukan tanah merah. Tempat ini sudah sepi, hanya tinggal ia seorang. Tak henti-hentinya ia menangis.
"Lo masih punya gue, juga masih punya Om Surya yang selalu sayang sama lo." Seseorang memegang bahunya.
Renald menoleh, bangkit dan langsung memeluk orang itu. Arin, orang yang ia tunggu akhirnya datang juga. Ia masih menangis, air matanya membasahi seragam Arin. Mengelus pungggung Renald, berusaha menenangkannya. Arin memintanya untuk mengikhlaskan neneknya agar bisa beristirahat dengan tenang. Renald mengangguk, memeluknya lebih erat.
"Lo bakal selalu ada buat gue kan?" Arin mengangguk.
"Janji?" Renald menatapnya.
"Iya, gue janji."
Arin mengajaknya pulang, memberhentikan taksi. Terus memperhatikan Renald, ia terlihat begitu terluka karena kehilangan neneknya.
***
Sepulang sekolah Arin dan Renald berdiam di taman. Ia menghibur Renald yang sedang berduka. Mereka sedang makan es krim. Kini wajah Renald sedikit lebih ceria, Arin tersenyum senang. Renald membuka suara, ia menyukai Patung Liberty. Arin mendengarkan antusias. Patung Liberty melambangkan kebebasan. Terkadang seseorang tidak bisa terus-menerus mengikuti kehendak orang lain, setiap orang juga ingin mempertahankan keinginannya. Saat umurnya delapan tahun ia mendapat oleh-oleh miniatur Patung Liberty dari neneknya yang baru saja pulang liburan dari Amerika. Dan ia masih menyimpannya sampai sekarang. Ia juga suka mengumpulkan pernak-pernik Patung Liberty, sebuah magnet kulkas, gantungan kunci, dan pin.
Lalu ia juga selalu menggambar hal-hal yang disukainya di buku sketsa, baginya cara menyimpan kenangan adalah dengan melukiskannya. Ia akan selalu ingat setiap detail yang ia arsir di kertas, membuatnya mudah untuk membayangkannya. Menyentuh dengan imajinasi, ia selalu merasa dekat dengan mamanya meski tidak pernah bertemu langsung. Itu karena ia selalu menggambarnya hingga hafal bagaimana lekuk senyumnya dan bisa merasakannya.
"Lo ngegambar gue juga nggak di buku sketsa?"
"Iya." Sebuah jawaban yang membuat Arin membeku seketika.
Arin bangkit dari tempat duduknya, "Nald, kayaknya mau hujan deh. Balik yuk!" Mereka pun meninggalkan taman itu.
***
Suara pesan masuk terdengar, Arin segera membaca pesan itu. Dari Farel, mengajaknya makan malam. Ia senang, tapi sedikit gugup. Akhirnya menerima ajakan Farel. Ia akan dijemput jam 7 malam. Kini Arin sedang mengacak-ngacak isi lemarinya, mencari pakaian yang cocok untuk dikenakannya nanti malam. Melempar baju warna kuning karena menurutnya terlalu terang, melempar lagi dress yang motifnya terlalu penuh, lemarinya sudah berantakan tapi masih belum menemukan baju yang cocok. Akhirnya ia memilih dress selutut berwarna soft pink. Lalu mulai bersiap-siap.
Di sisi lain Surya juga mengajak anaknya makan malam di luar, tapi Renald tidak mau. Ia marah meminta anaknya untuk menurut. Akhirnya Renald mengikuti kemauan papanya, ia sudah rapi dengan kemeja putih, lengannya dilipat sampai siku. Hari ini Surya akan memperkenalkan calon ibu baru Renald.
Mereka sampai di sebuah restoran, dua orang itu pun langsung masuk ke dalam. Papa Renald mengedarkan pandangannya mencari seseorang, ia menemukan wanita paruh baya yang seumuran dengan mendiang istrinya jika masih hidup. Wanita itu terlihat begitu cantik dengan dress merah marunnya. Surya menduduki kursinya diikuti oleh Renald.
"Kenalkan, nama tante Rosetta. Senang bertemu denganmu." Mengulurkan tangannya, namun Renald tak membalas.
"Jadi wanita ini yang akan gantiin Mama?" Renald memandang Rosetta dari atas kepala sampai ujung kaki, memberi penilaian.
"Renald, kalau bicara yang sopan!" Papanya tak bisa menahan emosi, beberapa orang menatap ke arah mereka.
Rosetta mengelus tangan Surya, berusaha menenangkannya. Renald bangkit, tapi Surya menahan tangannya. Ia bilang mau ke toilet, baru lah Surya membiarkannya pergi. Renald memasuki toilet, membasuh wajah agar emosinya bisa mereda. Setelah itu keluar, namun ia melihat seseorang yang tak asing. Ternyata itu Arin, ia pun memanggilnya. Begitu terpukau melihat penampilan Arin, benar-benar cantik.
"Lo ke sini bareng siapa?"
"Gue bareng Farel." Raut wajah Renald berubah seketika.
"Oh," balas Renald dingin, berlalu meninggalkannya. Arin hanya mengernyit kemudian kembali ke mejanya.
Arin duduk di bangku berhadapan dengan Farel. Meminta maaf membuatnya menunggu, tadi toiletnya antri. Farel tersenyum maklum. Sebelumnya ia mau membicarakan sesuatu tapi malah dipotong Arin yang kebelet ingin buang air kecil.
Kini ia menatap manik mata Arin, menggenggam tangan mungilnya. "Rin, gue suka sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?"
Arin membeku, inilah saat-saat yang ia tunggu. Tapi kenapa perasaannya biasa saja, tidak sesuai ekspektasinya. Namun Arin tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.