Renald terus menjauhi Arin, mereka seperti orang yang tak saling mengenal. Arin pun sudah terbiasa dengan keadaan ini, mulai mengikuti permainan Renald. Entah permainan apa ini namanya.
Ujian nasional telah selesai dilaksanakan, hari ini adalah pengumuman kelulusan. Semuanya tampak tegang, surat kelulusan satu-persatu dibagikan kepada murid-murid kelas XII. Lalu mulai membuka suratnya, mereka bersorak karena tulisan lulus tercetak di kertasnya, saling memberikan ucapan selamat. Saat Arin berbalik, ia menemukan Renald di hadapannya. Mereka hanya beradu pandang, tak ada yang berniat memulai pembicaraan. Beberapa detik kemudian, berbalik saling membelakangi.
Tiara berjingkrak senang. Arin pun mengucapkan selamat atas kelulusannya. Lalu Tiara mengajaknya pergi ke butik ibunya, ibunya sudah menyiapkan banyak dress untuk prom night.
Berbeda dengan Renald, setelah pengumuman kelulusan langsung pulang ke rumahnya. Mengenai prom night, bahkan ia tidak tahu harus pergi dengan siapa. Sebenarnya banyak cewek yang meminta untuk menjadi pasangannya di prom night nanti, tetapi ia menolak semua tawaran itu, tidak tertarik.
Sesampainya di rumah, ia menemukan sebuah undangan pernikahan. Renald marah, langsung melajukan motor untuk menemui papanya. Kini ia sampai di kantor, segera memasuki ruang kerja papanya.
"Bisa tidak ketuk dulu pintunya sebelum masuk?" Papanya masih fokus pada layar monitor.
"Ini maksudnya apa?" Menyerahkan surat undangan yang Renald temukan tadi. Papa menengok pada sumber suara. "Jawab Renald, Pa! Surat undangan itu maksudnya apa?" Suaranya meninggi.
"Acaranya dipercepat, dua minggu lagi Papa akan segera melangsungkan pernikahan."
Renald mendengus, "sudah Renald bilang, Renald belum siap punya ibu baru, nggak mau ada wanita lain tinggal serumah dengan kita!"
Keluar dari ruang kerja papanya, membanting pintu. Kenapa semua orang selalu memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri? Ia juga berhak bahagia, tidak mau mengorbankan dirinya lagi untuk kebahagiaan orang lain.
Melajukan motornya menuju rumah Arin. Sudah cukup menutupi perasaannya, kali ini biarkan ia bahagia. Memperhatikan mobil yang perlahan menjauh, itu pasti Farel yang mengantar Arin pulang. Setelah benar-benar tak terlihat, ia langsung menghampiri Arin yang masih berdiri di depan gerbang rumahnya. Bertahan pada seutas tali, meninggalkan harapannya di sana. Sungguh naif. Tapi, bukankah cinta tak harus memiliki? Omong kosong! Kali ini biarkan egonya yang menang.
"Arin, gue mau ngomong sesuatu sama lo." Arin bingung, tapi tetap mendengarkan. "Gue sayang sama lo. Bukan, gue cinta sama lo." Arin membeku, sesaat kemudian ia tertawa sumbang.
"Lo cinta sama gue? Setelah menjauh tanpa sebab, sekarang bilang cinta sama gue. Gue bener-bener nggak ngerti jalan pikiran lo." Menatap Renald nanar, lalu ia segera memasuki rumahnya. Renald menahan tangannya, namun ia menghempaskannya. "Gue butuh waktu sendiri, sekarang mendingan lo pergi!"
Renald mengacak rambutnya frustasi. Ia pun melajukan motornya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan, tak ada tempat tujuan baginya, tidak mau pulang ke rumah lalu bertemu dengan papanya. Ia terus mengendarai motornya tak tentu arah.
Sementara Arin sedang mengurung diri di kamar. Air matanya tak mau berhenti mengalir. Kenapa Renald baru mengatakan cinta setelah ia sudah bersama Farel? Pertanyaan itu terus memenuhi otak Arin. Ada sebersit rasa bahagia, tapi keadaan saat ini menghantamnya keras. Mereka tidak mungkin bisa bersama. Ia mengusap air matanya, membuka isi kantong belanjaan. Menurutnya tak perlu membuang energi untuk menangisi Renald. Ia pun bersiap-siap untuk acara malam ini.
Arin menatap dirinya di cermin, terlihat cantik dengan dress berwarna peach selutut dan make up tipis. Ujung rambutnya di-curly, penampilannya semakin terlihat manis dan feminim.
Arin menuruni tangga menuju lantai dasar. Farel yang sedang duduk di sofa langsung bangkit, terpukau melihat kecantikannya. Kemudian mereka berpamitan. Mama berpesan agar tidak pulang larut malam.
Farel membukakan pintu untuknya, Arin memasuki mobil dan Farel segera menutup pintu mobilnya. Sepanjang perjalanan Farel tak henti-hentinya melirik Arin.
"Kenapa ngeliatin aku mulu? Fokus ke jalanan dong."
"Kamu benar-benar cantik malam ini." Farel menggenggam tangannya. Arin tersipu, pipinya merona merah.
Mereka sampai. Tiara dan Andi langsung menyambutnya, mengajak mereka masuk. Tiara juga terlihat cantik dengan dress berwarna navy. Suara musik klasik menggema. Semua orang berdansa dengan pasangannya masing-masing. Begitu pun dengan Arin dan Farel, mereka tampak menikmati acara ini. Musik klasik berhenti, kini saatnya penampilan Arin. Menaiki panggung dan langsung memainkan biolanya, sebuah instrumen yang sangat indah sudah ia persiapkan dari jauh-jauh hari.
"Nice performance!" ucap Farel saat Arin telah selesai tampil, yang dipuji mengucapkan terima kasih. "Aku ambilin minum ya." Arin mengangguk.
Setelah Farel tak terlihat, Arin mengedarkan pandangannya. Mencari Renald, ia pun menghampiri Tiara yang sedang asyik mengobrol dengan Andi. Menanyakan Renald, tapi ternyata cowok yang ia cari-cari tidak datang. Kecewa, padahal ia ingin mendengar penjelasan Renald, tadi ia terlalu kaget dan mengusirnya hanya untuk menenangkan diri. Kali ini ia siap mendengarkan apapun yang Renald ucapkan.
Arin kembali ke tempat semula, di sana Farel tengah menunggunya dengan dua gelas orange juice.
"Kamu abis dari mana?"
"Aku tadi ngobrol sama Tiara sebentar di sana." Menunjuk tempat yang baru saja ia kunjungi. Farel mengangguk tanda mengerti, menyerahkan minumannya pada Arin.
"Aku kumpul sama temen-temen yang lain dulu, ya. Nggak apa kan ditinggal sebentar?" Arin mengangguk.
Perhatian Arin kini tertuju pada panggung pementasan. Julio membawa gitar siap untuk tampil.
"Selamat malam semuanya, gue mau mempersembahkan sebuah lagu buat cewek spesial." Mulai memainkan gitarnya. Lagu itu pasti untuk Cindy, pikir Arin.
Since I've known you babe
You brought a light for me
The taste of your sincerety
Build me a world to believe
Melihat Julio bernyanyi di sana, rasanya seperti melihat Renald. Renald yang menyanyikan lagu untuknya. Arin menggelengkan kepala, mengenyahkan halusinasinya itu.
But still there's a doubt
In you for lovin' me
Know deep down inside
You see what's in me
Setiap lirik yang dinyanyikan, mata Julio terus memandang dirinya. Entah ini hanya perasaannya saja atau memang benar. Arin menoleh ke belakang, tak ada siapa-siapa. Hanya ia sendirian.
Be my lady, be the one
And good things will come to our heart
You're my lady, you're my one
Give me chance to show you love
Setelah selesai bernyanyi, Julio turun dari panggung. Berjalan mendekati Arin. Ia kaget, tubuhnya menegang. Untuk apa Julio menghampirinya. Hening. Semua mata tertuju pada mereka.
"Arin, will you be mine?"
"B-bukannya lo udah sama Cindy, ya?" Arin tergagap.
"Gue nggak pernah cinta sama dia, gue cuma cinta sama lo." Arin tercengang, demi apapun ini tidak lucu.
Tiba-tiba Farel menerjang Julio, memberinya bogem mentah. Ia mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Farel menatapnya nyalang.
"Dulu lo ambil Cindy dari gue, sekarang lo mau ambil Arin?"
Julio menyeringai, "iya."
Sukses membuat rahang Farel mengeras. Kemudian memberikan serangan bertubi-tubi pada Julio. "Kalau gitu Arin buat lo dan balikin Cindy ke gue!"
Arin kaget. Apa maksudnya? Benar-benar tidak menyangka atas apa yang ia dengar barusan. Dadanya sesak, ternyata selama ini ia mencintai orang yang salah. Kini Julio yang memberikan pukulan terhadap Farel. Dua laki-laki itu tengah beradu jotos.
"Stop!" Arin menampar pipi Farel kencang. "Brengsek! Gue benci sama lo." Menatap Farel penuh amarah.
Plak. Pipi Arin terasa panas, Cindy menamparnya begitu keras sehingga meninggalkan bekas merah.
"Semuanya hancur gara-gara lo! Lo udah punya segalanya, temen-temen yang tulus sayang sama lo, lo udah dapetin Farel." Mata Arin terasa perih menahan tangis, dadanya benar-benar sesak. "Apa itu masih kurang? Sampai-sampai lo mau ambil Julio juga." Cindy menatapnya nanar.
"Jawab gue, Rin! Apa itu masih kurang?" Cindy mengguncang bahunya. Namun ia hanya diam, tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Lidahnya terasa kelu. "Kali ini biarin gue bahagia, Rin. Gue mohon." Cindy benar-benar memohon. Baru kali ini melihatnya seperti itu.
Arin berlari meninggalkan tempat itu. Tiara mengejar, mencoba menahannya. Namun ia butuh waktu sendiri, Tiara mengerti dan membiarkannya pergi. Cindy pun hanya bisa menangis terduduk di sana. Arin melepas heels lalu menjinjingnya, berlari secepat yang ia bisa. Ia membutuhkan Renald berada di sampingnya.
Ponsel Arin berdering, lalu mengangkat teleponnya, ada kabar buruk. Sambungan terputus. Lututnya melemas, terduduk di trotoar dan berteriak, menangis sejadi-jadinya. Masa bodo jika orang-orang menganggapnya gila. Setelah puas mengeluarkan emosinya, ia memberhentikan taksi. Menyuruh supir bluebird itu untuk mempercepat lajunya. Setelah sampai, Arin membayar argo taksi. Berlari memasuki ruangan serba putih, tak peduli dengan penampilannya yang sudah berantakan.
"Gimana keadaannya?" Arin menatap Om Surya. Tak memedulikan wanita paruh baya yang berada di sampingnya, Rosetta calon istri Surya. Tidak sabar menunggu jawaban, Arin pun segera memasuki ruang ICU.
Renald terbujur kaku di atas bangsal, kepalanya diperban serta selang-selang yang berada di tubuhnya menandakan bahwa dirinya tak baik-baik saja. Air mata Arin menetes, langsung memeluknya.
"Hei, bangun! Gue udah dateng, buka mata lo." Arin menahan tangisnya, "gue mohon buka mata lo, marah ya sama gue? Maafin gue." Menggenggam tangannya. Tidak ada yang menjawab, hanya terdengar suara kardiograf. Arin bernyanyi lirih, berharap Renald terbangun mendengar suaranya.
I will leave my heart at the door
I won't say a word
They've all been said before
So why don't we just play pretend
Like we're not scared of what's coming next
Or scared of having nothing left
Air matanya terus menetes sambil terisak. Menggenggam tangannya semakin kuat, berharap Renald terbangun merasakan kehadirannya.
Look, don't get me wrong
I know there is no tomorrow
All I ask is
If this is my last night with you
Hold me like I'm more than just a friend
Give me a memory I can use
Take me by the hand while we do what lovers do
It matters how this ends
Cause what if I never love again?
Ia ingin Renald memeluknya, pelukan yang lebih dari sekedar teman. Memberi kenangan manis yang akan selalu ia kenang.
Arin mendekat, membisikkan sesuatu di telinganya. "Gue juga cinta lo, Renald."
Tiba-tiba bunyi kardiograf terdengar melengking. Ia segera keluar memanggil dokter. Kemudian dokter dan suster berlarian masuk ke dalam ruangan Renald. Arin yang ingin ikut masuk dilarang oleh suster. Hanya bisa melihatnya melalui jendela yang gordennya tak tertutup sempurna. Ia menangis, begitu pun dengan Om Surya.
Tak lama dokter keluar. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi..."
"Nggak! Dia masih hidup." Arin tidak percaya.
Ia masuk ruang ICU, menurunkan kain yang menutupi wajah Renald, mengguncang tubuhnya berusaha membangunkan. Masih tidak bisa menerima kenyataan, air matanya terus mengalir. Kini memeluk Renald erat.
"Please bangun, lo mau ninggalin gue gitu aja?" Arin terisak.
"Dia sudah beristirahat dengan tenang," ucap Rosetta sambil mengelus bahunya.
Arin menggeleng, menatap Om Surya meminta jawaban yang sebenarnya. Om Surya mengangguk sambil menangisi putranya. Arin menangis, kembali memeluk Renald dengan erat. Suster menarik Arin lembut, tetapi ia tidak mau melepaskan pelukannya. Rosetta memberi tanda agar membiarkan Arin tetap di sini. Suster itu pun mengangguk mengerti dan meninggalkan ruangan itu. Disusul Om Surya dan Rosetta. Kini hanya ada Arin dan Renald di sana. Menangis di dada Renald.
Mengelus pipi Renald lembut, "gue sayang lo, Nald. Gue cinta lo. Maafin gue telat menyadarinya." Mencium keningnya.
Arin keluar dari ruangan itu, memeluk Om Surya. Om Surya pun sama sakitnya kelihangan Renald. Andai waktu bisa diulang, andai Renald masih hidup, andai ia lebih cepat menyadari perasaannya, andai ia membuka matanya lebih lebar sehingga yang ditatapnya bukan Farel melainkan Renald. Arin benar-benar menyesal. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.