Chereads / (Un)forgettable / Chapter 15 - Chapter 14 - Fight Together

Chapter 15 - Chapter 14 - Fight Together

Di tengah kesibukannya yang akan menghadapi UN, mereka masih sempat memikirkan kelangsungan hidup orang lain. Memberi harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi butuh perjuangan untuk merealisasikannya. Mereka meminta bantuan pada anggota OSIS untuk mengadakan bakti sosial pada acara pensi yang sebentar lagi akan diselenggarakan. Tentu Andi yang berbicara langsung pada Ketua OSIS, mereka sudah sangat dekat karena Andi merupakan mantan Ketua OSIS.

"Kita mau ngebangun panti asuhan, tapi perlu dana. Makanya minta tolong buat ngadain baksos pas acara pensi nanti, kita juga mau ngadain bazar." Andi menjelaskan pada Raka-Ketua OSIS.

"Boleh juga, tapi kita harus ngajuin proposal dulu ke Kepala Sekolah dan perlu izin dari Pembina OSIS. Pokoknya kalau Kepala Sekolah udah setuju nanti gue kabarin lagi ya, Kak." Raka memberikan respon yang baik, juga anggota OSIS lainnya.

Andi mengangguk, meminta diberi kabar secepatnya. Raka pun mengacungkan jempolnya.

Selain itu Arin juga meminta tolong pada papanya untuk mencari donatur. Papanya pun ikut berpartisipasi, ia sudah mentransfer uang senilai seratus juta rupiah ke rekening Arin. Mereka sepakat menyantumkan nomor rekening Arin dalam iklan nanti. Renald pun akan meminta bantuan pada papanya.

Bel istirahat berakhir. Mereka segera memasuki kelasnya dan menempati bangkunya masing-masing. Tak lama Bu Lisa datang, Wali Kelas XII IPA 1. Sebuah senyuman dengan kilat mata menghiasi wajahnya, membuat murid-murid bergidik ngeri bila melihatnya.

"Bertemu lagi dengan saya di pelajaran Biologi, kali ini kita akan mempelajari tentang reproduksi manusia!"

Bu Lisa menjelaskan pelajarannya. Di tengah penjelasan, Rendi mengangkat tangan. Bu Lisa mempersilakannya untuk bertanya.

"Hehe begini Bu, kan dari kemarin kita selalu praktik, setiap pelajaran pasti ada praktiknya." Rendi cengengesan, "kalau bagian ini ada praktiknya juga nggak, Bu?" Pertanyaan itu meluncur dengan mulus dari mulut Rendi dengan tampang tak berdosanya, sontak membuat penghuni kelas tergelak.

Bu Lisa menyuruh diam. Murid-murid pun menunduk ketakutan. Kini menatap Rendi tajam.

"Tentu saja tidak! tapi kalau mau, kamu bisa Ibu jadikan sebagai bahan percobaan perkawinan silang dengan simpanse yang memiliki gen hampir 99% sama dengan manusia." Bu Lisa tersenyum manis. Kini kelas kembali dipenuhi dengan suara tawa. Rendi menggelengkan kepala, bergidik ngeri.

"Oh iya, saya punya kabar baik dan kabar buruk untuk kalian. Kabar buruknya, Pak Mahpud sudah tidak mengajar lagi di sekolah ini, beliau sudah pensiun." Murid-murid bersorak girang, begitu bahagianya mereka karena guru yang sudah tua, pikun, dan membosankan itu akhirnya pensiun juga.

"Dan kabar baiknya adalah..." Murid-murid tampak penasaran, "saya yang akan menggantikan Pak Mahpud untuk mengajar PKN." Bu Lisa tersenyum manis. Bukan, bagi murid-murid itu adalah sebuah seringaian yang sangat mengerikan.

Rendi mengangkat tangannya, "Ibu kan guru Biologi, kenapa bisa merangkap jadi guru PKN juga?"

"Saya mampu jadi pengajar PKN. Kamu meragukan saya?" Bu Lisa berkacak pinggang, menatap Rendi tajam. Nyalinya ciut untuk melanjutkan aspirasi penolakannya. Ia menggelengkan kepala sambil nyengir.

Kini Rendi mengangkat tangannya kembali, membuat Bu Lisa semakin gemas ingin menjambak rambut Rendi. "Ada apa lagi, Rendi?"

"Saya mau ke toilet, Bu. Udah kebelet," ujar Rendi dengan ekspresi yang sudah tidak kuat menahan panggilan alamnya.

Bu Lisa menghela napas, mengizinkannya. Rendi bergegas keluar. Kini kelas menjadi sedikit lebih damai karena si biang rusuh sedang disibukkan dengan aktivitasnya di toilet. Setelah Renald, kini ada Rendi yang selalu membuat para guru naik darah. Sepertinya kelas memang sudah ditakdirkan untuk dihuni oleh murid-murid macam itu. Bu Lisa melanjutkan penjelasannya yang sempat terhenti.

Setelah menunggu selama tiga hari, akhirnya Raka memberi kabar bahwa Kepala Sekolah dan Pembina OSIS setuju untuk mengadakan bakti sosial pada pentas seni nanti. Anggota OSIS akan memasang notice di stand (Harga tiket Rp 20.000, Rp 10.000 akan dialokasikan untuk pembangunan panti asuhan). Andi pun boleh mengadakan bazar dengan menyewa stand Rp 100.000. Ia mengangguk, mengacungkan jempolnya.

Mama Tiara dan teman-temannya sudah mengumpulkan uang sejumlah sembilan puluh juta, Papa Andi dan teman-temannya pun sudah mengumpulkan dana seratus sepuluh juta. Rencananya besok akan ditransfer ke rekening Arin. Jadi, dana yang sudah terkumpul sebesar tiga ratus juta rupiah, tentu ini hasil yang baik.

***

Renald sedang memberanikan diri menghadap papanya. Tampak ragu untuk mengetuk pintu kamar tersebut, namun ia mantapkan lagi niatnya. Ini demi anak-anak jalanan. Renald mengambil napas dalam-dalam lalu mengetuk pintu kamar papanya. Suara yang berasal dari dalam mempersilakannya untuk masuk. Renald memutar kenop pintu, terlihat seorang pria sedang sibuk dengan komputer di hadapannya. Menghela napas, berusaha menenangkan hatinya agar bisa berbicara dengan papanya.

"Ada apa? Tumben kamu ke sini," tanya Papa langsung pada intinya. Masih terlihat sibuk dengan komputernya.

Renald mengatur napasnya, "Renald sama temen-temen mau ngebangun panti asuhan. Kita perlu biaya, apa Papa bisa bantu?" Papa menghentikan aktivitasnya, menatap Renald.

"Kalian butuh uang berapa?"

"Kita butuh uang 1 M, tapi baru terkumpul 300 juta. Rencananya mau pasang iklan di stasiun televisi atau radio biar bisa lebih berpeluang dapet sumbangan dari para donatur." Renald menjelaskan dengan sedikit gugup.

"Papa akan transfer 100 juta, nanti Papa juga akan bantu kumpulkan dana dari teman-teman Papa yang mau ikut menyumbang juga. Uang ditransfer ke rekening kamu?"

Renald menggeleng, "transfer ke rekening Arin, nanti Renald kasih tahu nomor rekeningnya." Papa Renald mengangguk, kembali memainkan keyboard komputernya.

"Makasih, Pa." Papa sedikit kaget mendengarnya. Ia menoleh, lalu tersenyum pada Renald.

***

Kini acara pensi telah dimulai, orang-orang mulai memenuhi depan panggung SMA Pancasila. Baik dari tuan rumah sendiri maupun dari sekolah-sekolah lain. Mereka tampak asyik menyaksikan penampilan band sekolah dan bintang tamu. Mata mereka disegarkan oleh aksi dance Cindy dan teman-temannya. Riuh tepuk tangan turut memeriahkan acara dan gelak tawa terdengar semakin membahana ketika Rendi beraksi saat stand up comedy.

Arin, Renald, Tiara, dan Andi sedang sibuk melayani para pembeli. Stand bazar mereka dipenuhi oleh kawula muda, sedang memilih-milih barang dagangannya. Kaos, sepatu, kaset film, album lagu, dan masih banyak lagi barang-barang bekas lain terus diburu anak-anak. Selain harganya yang lumayan murah, kualitasnya pun bagus.

Seksi acara mengingatkan Arin dan Tiara agar segera ke ruang kostum untuk berganti baju, mereka sebentar lagi akan tampil. Kemudian menitipkan barang dagangannya pada Andi dan Renald. Mereka berdua tengah bersiap-siap, mengganti baju dengan kostum yang telah disiapkan. Mengelap keringatnya, mulai memoleskan make up tipis dan menyisir rambut.

"Baiklah... Ayo kita liat penampilan musikalisasi puisi dari temen-temen kita, Tiara Putri dan Andrea Arinata," kata sang MC.

Mereka menaiki panggung dan memulai aksinya. Arin dengan lihai menggesek-gesekkan biolanya menciptakan sebuah alunan nada yang indah, suara merdu Tiara yang mulai menyairkan bait-bait puisi semakin menyatu dengan irama yang dibuat biola Arin. Semua pasang mata seakan terhipnotis dengan penampilan mereka. Andi yang begitu terpesona dengan kecantikan Tiara, Renald pun begitu mengagumi akan ciptaan Tuhan-Nya. Seorang gadis cantik bergaun putih dengan biola di tangannya. Bagi Renald, ia seperti bidadari yang sedang memainkan harpa ajaibnya.

Gemuruh tepuk tangan terdengar di penghujung penampilan mereka. Lalu turun dari panggung dan menghampiri Renald dan Andi. Kedua cowok itu memuji penampilan mereka.

"Ternyata lo jago juga maen biolanya." Renald memandang Arin tak percaya.

Arin tersenyum, mengucapkan terima kasih. Saling bertatapan, tenggelam dalam iris mata coklat orang di hadapannya. Tiara berdeham, menyikut tangan Arin. Tersenyum menggoda mereka berdua.

Arin memang suka mengikuti les biola sejak SMP, ia juga selalu mengikuti ekskul musik di sekolahnya hingga SMA. Namun karena sekarang ia sudah kelas XII, ia harus berhenti dari ekskul musik untuk mempersiapkan ujian nasional mendatang.

Acara ditutup oleh penampilan yang menakjubkan dari band Renald. Julio yang menjadi vokalis bernyanyi sambil memetik senar gitarnya. Andi yang memainkan drum, Renald dibagian bass dan Farel yang dengan lincah memainkan keyboard-nya. Semuanya ikut bernyanyi, diselingi teriakan kagum dari kaum hawa.

***

Acara pensi kemarin berhasil mengabiskan seribu tiket. Jadi, hasil dari terjualnya tiket dikali sepuluh ribu totalnya Rp 10.000.000. Lalu para anggota OSIS pun memberi tambahan dana lima juta. Raka menyerahkan amplop berwarna coklat. Andi tersenyum senang, mengucapkan terima kasih.

Tiara, Arin, dan Renald pergi ke gedung stasiun radio. Di tengah perjalanan mereka membicarakan soal dana yang sudah terkumpul. Dari hasil barang-barang yang laku terjual di bazar kemarin mereka mendapat keuntungan sepuluh juta. Itu digabungkan dengan uang pemberian dari OSIS untuk biaya memasang iklan di radio.

Arin mengangkat telepon dari papanya. Ternyata teman-teman Papa Arin ikut menyumbang sejumlah seratus sembilan puluh lima juta rupiah. Berarti total uang yang ada di rekening Arin sebesar Rp 595.000.000.

Sampai di sana, mereka membuat kesepakatan dengan pihak siaran radio. Setelah selesai mereka langsung pulang. Di tengah perjalanan ponsel Arin berdering lagi. Om Surya-papanya Renald yang menelepon. Kening Arin pun berkerut. Ia mengangkat teleponnya dan di-loudspeaker.

"Halo Om, ada apa ya nelepon Arin?"

"Temen-temen Om mau ikut bantu nambahin dana buat pembangunan panti itu. Katanya mereka udah transfer, totalnya 210 juta. Nanti kamu cek aja ya, transferannya udah masuk apa belum."

"Iya, Om. Makasih banyak."

"Sama-sama."

Mereka bersorak bersamaan mendengar kabar baik itu.

Setelah iklan dipasang di siaran radio, setiap hari selalu ada dana yang masuk ke rekening milik Arin. Saat uang telah terkumpul sebanyak 1 miliar, proses pembangunan langsung dilaksanakan. Dan sekarang pembangunan panti asuhan telah selesai.

Kini mereka sudah menjemput anak-anak. Di perjalanan, mereka terus menanyakan perihal rumah barunya, tampak penasaran. Sampai di sana, anak-anak begitu senang memasuki rumah barunya. Sebuah rumah yang bertuliskan Panti Asuhan Pelangi. Menatap seisi rumah yang masih berbau cat yang khas, memuji keindahan dekorasi ruangannya.

"Selamat siang, selamat datang di rumah baru kalian." Ibu Sri menyapa. Seorang wantia paruh baya yang mendedikasikan hidupnya untuk mengurus panti asuhan ini. Suaminya telah meninggal dan ia pun tidak mempunyai anak.

"Selamat siang, tante," ucap anak-anak serempak.

"Jangan panggil tante, panggil Ibu aja. Soalnya ibu ini adalah ibu baru kalian." Ibu Sri tersenyum.

"Iya, Bu."

Sekarang anak-anak sedang bermain, mereka sangat senang bisa tinggal di rumah yang layak seperti ini. Tidak lagi bocor seperti rumah kardusnya dulu. Dan ada Ibu Sri yang mengurus mereka dengan baik.

"Bu, kami pamit pulang ya." Andi menyalami tangan Bu Sri.

"Lho, kok buru-buru sih? Duduk dulu sebentar, nanti Ibu ambilkan minum."

"Nggak usah repot-repot, Bu. Kapan-kapan kita ke sini lagi, kok." Tiara tersenyum ramah.

"Ya sudah kalau begitu."

"Permisi ya, Bu. Kami titip anak-anak." Ibu Sri mengangguk.

Kini mereka sedang dalam perjalanan pulang, mobil Andi sudah berangkat duluan dan mobil Renald berada di belakang. Sengaja memperlambat laju mobilnya.

"Akhirnya selesai juga. Perjuangan kita nggak sia-sia," ucap Arin senang.

"Belum selesai, ini baru aja dimulai." Renald tersenyum.