Hari ini Arin mengajak Renald, Andi dan Tiara ke markas mereka. Rumah kardus tempat tinggal anak-anak jalanan, hanya terbuat dari kardus dengan plastik yang melindungi atapnya agar bisa sedikit menahan bocor saat hujan. Namun Tiara dan Andi tidak bisa ikut, mereka sudah punya acara lain. Arin pun tidak mau mengganggu.
Maaf banget Rin gue sama Andi nggak bisa ikut. Lagipula kayaknya lo butuh waktu berdua deh sama Renald.
Arin menyerngit, tidak mengerti maksud pesan Tiara yang mengait-ngaitkannya dengan Renald. Terdengar suara klakson mobil, pasti itu Renald. Ia mengambil tas selempang dan langsung menuju lantai bawah. Kemudian berpamitan pada kedua orang tuanya yang sedang menonton TV.
Ia memasuki mobil Renald dan langsung disambut senyuman hangat oleh sang pemilik mobil. Ia menjelaskan alasan Andi dan Tiara tidak bisa ikut hari ini, Renald pun mengangguk mengerti. Renald menawarkan membeli menu sarapan untuk anak-anak, tapi ternyata Arin sudah membeli roti untuk mereka.
Renald menyalakan radio untuk memecah keheningan. Tak terasa sudah sampai di tempat tujuan. Mereka segera keluar dari mobil dan melangkahkan kaki menuju rumah kardus.
Arin dan Renald menyapa. Mereka melihat ke sekeliling mencari Andi dan Tiara, lalu menanyakan di mana mereka, kenapa tidak ikut ke sini? Arin dan Renald pun memberi penjelasan agar mereka tidak kecewa. Akhirnya mereka mengerti dan tidak memberi berbagai pertanyaan lagi mengenai dua sejoli itu.
"Udah pada sarapan belum?" tanya Renald. Mereka menggeleng.
"Kakak bawain roti buat kalian, dibagi yang rata, ya. Ini minumannya juga." Arin menyerahkan roti dan air mineral pada anak-anak. Mereka pun mengucapkan terima kasih.
Renald senang melihat mereka makan dengan lahapnya, baru kali ini merasa begitu bahagia. Ternyata memberikan kebahagian pada orang lain jauh lebih menenangkan hatinya daripada melampiaskan segala amarah dan kekesalannya yang hanya akan membuat dadanya semakin sesak. Kini semua anak telah duduk rapi memperhatikan Arin yang akan bercerita. Namun, Putri lebih dulu menceritakan peristiwa yang ia alami kemarin.
"Kakak, kemarin Putri ngamen terus dikasih uang yang banyak sama kakak cowok, terus uangnya Putri pake buat beli senar gitar yang udah mau putus. Sekarang gitar Putri udah dikasih senar yang baru." Putri antusias menunjukkan gitar kecilnya. Arin tersenyum senang.
"Pada mau dengerin cerita Kak Arin nggak?" tanya Arin.
"Mau..." Anak-anak antusias.
Arin menceritakan bahwa pada zaman dahulu ada seorang pangeran yang sangat nakal, ia tidak suka belajar, nilainya selalu merah. Suatu ketika, pangeran itu bertemu dengan seorang putri. Lalu mereka berkenalan dan menjadi teman, tapi pangeran selalu mengganggu sang putri. Sang putri pun marah dan tidak mau berteman lagi dengannya. Kemudian pangeran menyesal dan berjanji tidak akan nakal lagi, meminta maaf pada sang putri. Putri akhirnya memaafkan pangeran. Sekarang putri dan pangeran kembali berteman dan pangeran kini menjadi anak yang baik, nilainya juga sudah tidak merah lagi.
Arin bercerita sambil sesekali melirik Renald, Renald pun tahu kalau cerita itu tentang mereka.
"Apa pangeran dan putri itu saling mencintai?" tanya Putri. Arin dan Renald sempat kaget mendengar pertanyaan dari Putri yang masih polos.
"Pangeran dan putri menjadi teman selamanya." Renald kecewa mendengar jawaban Arin.
"Tapi biasanya kalau di buku-buku dongeng yang Kak Arin kasih, pangeran sama putri itu saling jatuh cinta dan hidup bahagia selamanya," sanggah Rezki.
"Kali ini ceritanya beda, Kak Arin sengaja ngasih cerita yang beda supaya kalian nggak bosen," jawabnya setenang mungkin menghadapi anak-anak yang kritis ini.
Anak-anak mengangguk tanda mengerti setelah mendengar jawaban darinya. Selesai bercerita, ia menyuruh anak-anak untuk membaca buku pemberiannya. Mereka tampak asyik membaca buku dan Arin menggunakan waktu ini untuk mengobrol berdua dengan Renald. Cowok itu sedang sibuk menggambar sebuah sketsa wajah. Arin memperhatikannya, ternyata itu wajah Bagas. Renald sengaja membuatnya untuk Bagas, sebagai ucapan terima kasih karena anak itu pun sudah memberikan hasil karyanya pada Renald.
"Gambar lo ternyata bagus juga, ya." Arin takjub melihat hasil karya Renald.
"Gue emang seneng ngegambar, bikin-bikin sketsa. Waktu SD sama SMP gue sering ngeborong banyak piala dari setiap perlombaan menggambar atau lomba bikin karikatur."
"Oh ya? Berarti lo emang berbakat ya. Pantes aja gue sering liat lo sibuk ngegambar di kelas."
"Iya. Gue pengen jadi animator handal dan jadi bagian penting di Walt Disney." Renald berucap semangat.
Ternyata Renald orang yang luar biasa, berbakat. Dulu ia pikir cowok itu tidak pernah punya cita-cita, hidupnya yang serba cuek membuatnya terlihat seperti orang yang tidak punya tujuan hidup. Memang benar, don't judge a book by its cover. Ia harus mengubah cara pandangnya, setiap manusia diciptakan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Namun tiap kekurangan yang orang lain miliki bukan menjadi hak kita untuk mencelanya.
"Kalau gue pengen masuk di salah satu universitas ternama di Amerika dan gue pengen jadi pengusaha yang sukses." Renald mengangguk-angguk.
Arin menghela napas, teringat kejadian tadi. "Oh iya, soal tanggapan anak-anak tentang cerita tadi, lo nggak perlu pikirin ya, mereka memang anak yang cerdas dan kritis." Renald mengangguk.
Ia sudah selesai menggambar, kemudian memanggil Bagas. Memberikan kertasnya pada anak bermata sipit itu, Bagas pun mengucapkan terima kasih. Lalu membungkus gambarnya menggunakan plastik transparan dan segera menempelkan pemberian Renald di dinding rumah kardusnya.
Langit terlihat begitu gelap, menandakan hujan akan segera turun. Tiba-tiba terdengar suara petir yang begitu menggelegar, membuat anak-anak berteriak ketakutan. Arin yang berada di dekat Renald spontan memeluknya erat. Jantung Renald berdetak begitu cepat, entah kaget karena petir atau justru karena Arin. Tapi kali ini ia tidak mau menyangkal, terlalu banyak alasan yang ia pikirkan hanya untuk menutupi perasaannya sendiri. Sekarang ia yakin, ia memang sudah jatuh cinta.
"Gue takut, Nald. Gue takut petir." Arin enggan melepaskan pelukannya.
"Lo nggak perlu takut, ada gue di sini." Renald menenangkan Arin.
Hujan turun dengan derasnya disertai angin yang kencang, membuat rumah kardus itu runtuh. Mereka segera membawa anak-anak keluar. Namun Bagas tak mau keluar, ia terus mencari-cari sesuatu. Renald kembali memasuki rumah itu untuk membawa Bagas keluar, ia masih mencari-cari sesuatu.
"Bagas ayo keluar! Di sini bahaya, kamu nyari apa sih?" tanya Renald.
Namun Bagas tidak menghiraukan. Terus mencari-cari hingga apa yang ia cari telah ditemukan, Bagas baru keluar dengan sesuatu yang ada di genggamannya. Renald pun ikut keluar sebelum rumah kardus itu diterbangkan oleh angin. Dan betapa terkejutnya mengetahui apa yang Bagas cari-cari hingga membuat keselamatannya terancam. Membahayakan dirinya sendiri hanya untuk mengambil gambar pemberian dari Renald. Bahkan Renald bersedia membuatkan sepuluh gambar yang persis seperti itu jika Bagas mau, tak perlu mencari-carinya sampai seperti itu. Renald langsung menarik Bagas ke dalam pelukannya.
Kini mereka sedang berteduh di teras rumah yang tak berpenghuni. Hujan masih turun dengan derasnya, suara petir pun ikut serta meramaikan tetesan air hujan.
"Kalian tenang ya, gosok-gosok telapak tangannya biar nggak kedinginan," ujar Renald. Lalu beralih pada Arin yang terlihat menggigil. Bibirnya pucat. Ia membantu Arin menggosok-gosokkan tangannya.
"Udah agak angetan?" tanya Renald. Arin mengangguk. Lalu kembali memeluk Renald erat.
"Gue takut, Nald. Hujannya deras banget, anginnya juga kenceng. Kalau kita nyampe kenapa-kenapa gimana?" Arin ketakutan, memejamkan matanya.
"Tenang aja, kita nggak bakalan kenapa-kenapa. Dan lo nggak perlu takut, gue akan selalu ada di samping lo." Renald membalas pelukan Arin.
Arin tersadar, bukan hanya ia yang perlu perlindungan. Anak-anak juga lebih membutuhkan perlindungan darinya. Ia melepaskan pelukannya dan langsung menghampiri anak-anak. Menanyakan keadaan mereka, lalu mendekati Bagas. Melihat kertas yang dipegangnya, untung saja gambarnya dilapisi plastik. Jadi tidak terlalu basah.
"Mau kakak buatin gambar yang baru?" tanya Renald. Bagas menggeleng, ia akan mengeringkan kertas itu yang sedikit basah. Renald mengelus puncak kepalanya.
Anak-anak sedih karena tempat tinggalnya sudah rusak, mereka bingung harus tidur di mana nanti. Arin menatap Renald meminta pertolongan, ia menggenggam tangan Arin berusaha meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia bilang akan membuatkan rumah baru untuk mereka, Arin ikut mengangguk meyakinkan anak-anak.
"Kak, hujannya nggak berhenti-berhenti, malah makin lebat." Putri menatap Arin.
"Hujannya pasti berhenti kok. Putri tenang aja, ya."
Arin menarik Renald menjauhi anak-anak. Perlu bicara berdua dengannya, membutuhkan penjelasan. Bagaimana caranya mereka yang statusnya masih sebagai anak sekolah bisa membuatkan rumah untuk anak-anak jalanan itu? Hal yang tidak mungkin. Namun Renald menjawab dengan mantap akan membuat panti asuhan, mereka butuh tempat tinggal baru yang lebih layak. Tapi pertanyaannya bagaimana mereka mendapatkan dana untuk biaya pembangunan panti asuhan tersebut? Arin benar-benar bingung.
"Kita adain bakti sosial, uang yang udah terkumpul dari baksos kita pake buat pasang iklan minta bantuan dana untuk pembangunan panti asuhan. Gue juga mau minta bantuan dana ke Papa dan beberapa temennya." Renald begitu yakin dengan jawabannya. Arin menemukan secercah harapan, dengan itu mungkin bisa berhasil.
"Ide bagus, Nald. Terus kita adain bazar juga, barang-barang yang udah nggak kepake kita jual buat tambahan dana pasang iklan, gue juga mau minta tolong sama Papa buat nyari donatur." Arin antusias. Renald mengangguk.
Suara mobil mengalihkan perhatian mereka, mobil itu berhenti dan seseorang keluar dari sana. Ternyata itu Tiara yang disusul Andi dengan menggunakan payung masing-masing.
"Nomor lo sama Renald nggak bisa dihubungin, gue tanya ke nyokap lo juga katanya lo belum pulang. Makanya gue sama Andi nyusul kalian ke sini, takut kalian kenapa-kenapa." Tiara khawatir melihat mereka basah kuyup.
"HP kita mati gara-gara kehujanan, terus rumah anak-anak juga udah hancur kebawa angin." Renald menatap anak-anak prihatin.
"Tapi mereka nggak kenapa-napa kan?" tanya Andi.
Anak-anak tidak kenapa-kenapa, tidak terjadi insiden yang melukai mereka. Tapi masalahnya sekarang mereka tidak punya tempat tinggal, ia memberi tahu rencananya yang akan membangun panti asuhan, ia sangat membutuhkan bantuan teman-temannya. Tiara dan Andi tentu bersedia membantu.
"Tapi selama pembangunan panti mereka harus tinggal di mana?" tanya Andi bingung.
"Untuk sementara kita bawa dulu mereka ke Lembaga Perlindungan Sosial, setelah semuanya beres baru kita pindahin mereka ke panti." Saran Tiara.
Arin dan Renald setuju, mereka langsung menyuruh anak-anak masuk ke mobil. Arin duduk di depan bersama Bagas dan empat orang anak di bangku belakang, Renald yang menyetir. Sisanya menaiki mobil Andi bersama Tiara. Kini mereka sedang dalam perjalanan, ditemani hujan yang masih mengguyur. Saat mereka sampai, hujan telah reda. Langsung saja memasuki Gedung Lembaga Perlindungan Sosial.
"Kedatangan kami ke sini ingin menitipkan anak-anak untuk sementara, Pak. Setelah pembangunan panti asuhan selesai kami akan memindahkan mereka ke sana." Renald menjelaskan dengan ramah.
"Baiklah kalau begitu, semoga pembangunan panti asuhannya berjalan lancar. Saya dukung niat baik adik-adik."
"Terimakasih, Pak. Kalau begitu kami permisi." Arin tersenyum.
Kini Renald dan Arin sedang dalam perjalanan pulang, begitu pun dengan Andi dan Tiara. Renald sesekali melirik Arin, orang yang ia cintai dan ia sayangi. Renald menimbang-nimbang akan niatnya, ingin menyatakan perasaannya pada Arin. Tapi apakah harus sekarang? Ini terlalu cepat, mungkin Arin pun belum siap. Takut kalau Arin malah akan menjauh, lebih baik ia ungkapkan jika waktunya sudah tepat. Jangan sekarang. Tapi ia teringat kata-kata Brian dulu, apakah benar Brian menyukai Arin? Meski tidak mengungkapkan secara jelas, Renald tidak bodoh untuk tidak menyadari maksud dari perkataan Brian dulu.
"Rin?" Arin menoleh.
"Apa, Nald?" Renald tampak ragu, ia menghela napas.
"Selama ini Brian suka ngehubungin lo nggak?"
"Kak Brian? Enggak tuh, paling dia cuma like postingan-postingan gue di sosmed. Tapi nggak pernah dm sekali pun." Renald mengangguk-angguk. "Emangnya kenapa, Nald?" Arin tampak bingung, tapi Renald hanya menggeleng.
Renald mengembuskan napas lega, mungkin dulu Brian hanya iseng. Jika memang ia tertarik pada Arin, pasti ia akan mencoba menghubungi Arin bagaimana pun caranya. Renald hanya tidak ingin mengkhianati Brian. Meskipun sekarang mereka sudah jarang komunikasi, Renald tetap ingin menghargai perasaan Brian jika memang benar ia menyukai Arin.