Chereads / (Un)forgettable / Chapter 11 - Chapter 10 - Rise Up

Chapter 11 - Chapter 10 - Rise Up

Malam minggu ini Arin menginap di rumah Tiara. Ia disibukkan dengan novelnya, sedangkan Tiara sedang asyik bertelepon dengan pacarnya. Beginilah nasib jomlo. Tiara terus berbicara, sedikit mengganggu konsentrasinya. Terus mengejeknya yang sedari tadi memasang wajah muram, menceritakan pada Andi betapa menyedihkannya si jomlo di malam minggu. Ia berdecak sebal. Tak lama Tiara memutuskan panggilan teleponnya.

Arin sengaja menginap di rumah Tiara untuk menceritakan hal yang membuat hatinya resah. Tiara yang paham langsung mendekat, bertanya ada masalah apa. Ia menjelaskan kejadian semalam, kini lepas tangan membiarkan Renald berbuat semaunya. Tiara tampak terkejut, sangat menyayangkan keputusan temannya.

"Kan semuanya butuh proses, Rin."

"Tapi kayaknya kemungkinan itu kecil, gue udah berusaha semaksimal mungkin. Bu Lisa bilang kalau gue belum berhasil bimbing Renald. Kayaknya gue emang nggak bisa deh, Ra."

"Justru lo harus buktiin ke Bu Lisa kalau lo bisa buat Renald berubah. Jangan nyerah gitu aja." Tiara menyemangati temannya, berharap Arin bisa kembali yakin dengan dirinya dan Renald.

"Gue udah terlanjur marah-marah sama dia. Kan dia terus aja minta maaf dan janji bakal berubah, gue kesulut emosi. Gue bilang kalau dia yang bikin hidup gue ribet dan gue udah nggak peduli lagi sama dia."

Tiara memijit pelipisnya, menghela napas, "Rin, harusnya lo jangan sia-siain kesempatan itu. Dia udah bener-bener nyesel dan gue yakin kalau dia pasti bakal benahin semua kesalahannya."

Arin juga menyesal. Kini ia benar-benar bingung harus berbuat apa. Tiara memintanya agar tidak terlalu keras pada Renald, ia harus melakukannya dengan hati. Jika hatinya sudah melunak, Renald pasti akan cepat berubah. Semoga saja.

***

Pelajaran telah dimulai tetapi Renald belum datang juga. Arin terus melihat ke arah pintu berharap Renald datang. Sampai waktu istirahat pun Renald belum datang juga. Ia duduk sendiri di kantin hanya memperhatikan makanannya saja, sama sekali tidak menyentuhnya. Tiara dan Andi menghampirinya, menanyakan apakah ia baik-baik saja. Ia mengangguk memberi senyumam sebagai jawaban kalau dirinya tidak ada masalah. Ia hanya mengkhawatirkan Renald yang tidak masuk sekolah. Tiara paham, menyuruhnya untuk mengontek Renald. Tapi ia enggan, takut kalau harus memulai percakapan dengan Renald walau lewat handphone.

Tiara tidak menginginkan Renald dan Arin justru saling menjauh, akhirnya seperti orang asing yang tidak mengenal satu sama lain. Jangan sampai seperti itu. Maka dari itu, harus Arin yang memulai. Arin menurut, mengirim pesan pada Renald. Mulai mengetik pada layar ponselnya.

Nald, lo kenapa hari ini nggak masuk? sakit ya?

Arin menunggu hingga sepuluh menit tapi masih belum ada balasan. Ia pun mengirim pesan lagi.

Renald, maafin kata-kata gue yang kemaren ya, lo marah bukan sama gue?

Arin menunduk lesu, "nggak dibales, mungkin dia marah sama gue." Tiara pun menenangkan temannya.

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Arin, Tiara, dan Andi berjalan di koridor sekolah menuju tempat parkir. Tersadar, Arin menghentikan langkahnya membuat kedua temannya menatap bingung. Ia harus ke perpustakaan, menyuruh mereka pulang duluan. Mereka bersedia menunggunya. Namun cewek bermata coklat itu tetap ingin sendirian ke perpustakaan. Akhirnya mereka mengangguk mengiyakan, melanjutkan langkahnya ke tempat parkir. Sedangkan Arin berlari menuju perpustakaan.

Setelah mendapatkan apa yang ia cari, langsung keluar dari perpustakaan. Namun Cindy dan kedua temannya-Gabriel dan Ula menghadang. Mereka menyeretnya ke belakang sekolah. Ia berusaha melepaskan cengkeraman kedua teman Cindy.

"Lo masih inget kan kata-kata gue yang kemarin, gue bakal balas lo!" Cindy menarik rambutnya.

"Lepasin gue! Dasar pengecut, beraninya main keroyokan." Arin berteriak di depan wajah Cindy.

"Lo teriak sekenceng apapun nggak bakal ada yang nolongin, sekolah udah sepi." Cindy menyeringai, mengangkat tangannya bersiap untuk memukul Arin. Arin menutup matanya, namun tidak merasakan apapun.

"Lepasin tangan gue!" ucap Cindy.

Arin pun membuka matanya. Renald, cowok itu mencengekram tangan Cindy.

"Jangan pernah ganggu Arin lagi," ujar Renald dingin namun mengintimidasi, menghempaskan tangan Cindy.

Cewek berambut ikal itu memegangi pergelangan tangannya yang terasa sakit. Ia tersenyum namun memberi tatapan mengancam, seolah berkata kali ini lo bisa selamat, Rin. Lalu melirik Renald sinis. Mereka bertiga pun pergi meninggalkan Arin dan Renald.

"Lo nggak kenapa-kenapa?" tanya Renald dengan ekspresi dingin.

"Gue nggak apa, makasih udah nolongin gue." Arin tersenyum senang namun Renald tak menjawabnya.

Melihatnya memakai seragam, pasti ia membolos. Arin kira ia memang tidak berangkat ke sekolah, tidak melihat motornya di tempat parkir. Tapi ternyata ia diantar oleh papanya. Arin senang, mungkin hubungannya dengan Om Surya sudah mulai membaik. Tidak ada percakapan lagi. Ia hanya menatap Arin sebentar lalu mengambil sesuatu yang ada di kantongnya. Mengeluarkan korek dan sebatang rokok.

"Lo masih ngerokok?"

"Udah nggak ada lagi yang ngelarang gue buat ngerokok," jawab Renald tanpa melihat wajah Arin. Cewek itu hanya tersenyum miris.

"Ikut gue yuk! Gue mau ngajak lo ke suatu tempat."

Arin menariknya, tak peduli Renald mau menerima atau tidak ajakannya itu. Membawanya ke tempat parkir. Arin sudah mempunyai SIM, jadi diizinkan papanya untuk membawa mobil sendiri. Kini mereka sudah berada di dalam mobil, kemudian Arin melajukan mobilnya. Keduanya tidak ada yang mengeluarkan suara, hingga saat keadaan jalanan macet barulah Arin yang memulai pembicaraan.

"Sebungkus rokok harganya berapa?"

Renald menyerngit, "dua puluh ribu, emangnya kenapa?"

"Lo tahu nggak? Uang dua puluh ribu yang biasa lo buang-buang cuma buat beli rokok itu berharga banget bagi mereka." Arin mengarahkan pandangannya ke anak-anak jalanan yang sedang meminta-minta atau yang sedang memainkan gitar kecilnya.

Anak kecil dengan gitarnya menghampiri mobil Arin. Pengamen itu mulai memetik senar gitarnya dan bernyanyi di samping mobilnya, memanfaatkan keadaan jalanan yang padat. Arin tersenyum lalu memberikan uang dua puluh ribu pada pengamen itu, umurnya sekitar 6 tahun. Ia tampak kebingungan, merogoh kaleng kecilnya tapi tidak ada kembalian. Baginya itu terlalu banyak. Arin tertawa, itu semua memang untuknya tidak perlu diberi kembalian. Ia sangat senang, mengucapkan terima kasih banyak. Lalu berlari menyusul teman-temannya. Arin tersenyum, lalu menatap Renald. Hati Renald sedikit tersentuh melihat anak itu, begitu bahagia hanya karena diberi uang yang tak seberapa menurutnya.

"Lo liat sendiri kan? Kalau gue jadi lo, gue akan lebih senang menyisihkan uang itu untuk orang yang lebih membutuhkan daripada dipake buat hal yang nggak bermanfaat." Renald tidak merespon, tetapi terus merenungi ucapan Arin.

"Sebenernya lo mau bawa gue kemana, sih?" Arin hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Renald.

Akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Arin memarkirkan mobilnya, lalu keluar. Terkekeh melihat Renald yang masih duduk di bangku mobil, lalu menyuruhnya keluar. Ia memperhatikan tempat yang ingin Arin tunjukkan padanya. Tempat ini dipenuhi sampah, tempat para pemulung mengumpulkan sampah-sampahnya. Untuk apa Arin membawanya kemari? Arin menarik tangannya menuju sebuah rumah kardus.

"Kak Arin..." Sekumpulan anak-anak langsung memeluk Arin. Ia hanya memperhatikan mereka yang sedang berinteraksi dengan cewek berambut panjang itu. Bagaimana bisa Arin akrab dengan anak-anak jalanan ini?

"Kakak ini siapa? Pacarnya Kak Arin, ya?" Renald tersenyum mendengarnya.

"Masih kecil kok udah tahu pacar-pacaran, sih? Kenalin, nama kakak Renald, temennya Kak Arin." Renald tersenyum. Untuk pertama kalinya Arin melihat senyum setulus itu dari wajahnya.

Lalu mereka bergantian berkenalan dengan Renald. Ada Putri yang umurnya berkisar 5 tahun, Rezki, dan masih banyak lagi. Renald tidak terlalu mengingatnya. Kemudian Putri berlari menuju rumah kardusnya dan kembali dengan sebuah mahkota yang terbuat dari sedotan bekas, memberikannya pada Arin. Ia membungkuk agar Putri bisa memasangkan mahkotanya, mengucapkan terima kasih. Ternyata itu buatan Putri sendiri.

"Kita belajar baca lagi, yuk!" ajak Arin. Mereka mengangguk antusias.

Arin mengajarkan mereka membaca. Masih mengeja memang, tapi lebih baik dari sebelumnya. Awalnya anak-anak ini buta aksara, Arin yang prihatin mulai mengajari mereka. Ia sering membawa buku bacaan dan alat tulis, mereka sangat senang kalau Arin membawa buku cerita dongeng.

Pertemuan mereka yaitu ketika Arin sedang menunggu jemputan mamanya tiba-tiba mendapat kabar kalau mobilnya sedang di-service. Terpaksa Arin harus pulang dengan menaiki bus. Akhirnya bus yang ia tunggu berhenti di halte, Arin pun segera naik. Di dalam bus ada tiga pengamen anak entah sedang meributkan apa, yang jelas salah satunya menangis. Arin pun mendekati mereka menanyakan keadaan temannya yang menangis. Pengamen cowok setinggi pinggulnya yang kini ia ketahui bernama Rezki, menjelaskan kalau sendal temannya rusak dan tidak mau berjalan tanpa alas kaki karena trauma pernah menginjak paku saat tidak memakai sendal.

Arin menawarkan untuk menggendong gadis kecil yang masih menangis itu, ia pun mengangguk. Arin meminta berhenti pada kenek, langsung menggendong gadis kecil bermata bulat dan mengantarkan ke rumah para pengamen cilik-rumah kardus. Semenjak itu Arin sering berkunjung ke sini.

Renald terus memperhatikan Arin, kagum padanya. Ia terlihat begitu menyayangi anak-anak itu. Benar kata Brian, Arin itu spesial.

"Sekarang kalian menggambar, ya! Nanti gambarnya kita tempel di dinding." Mereka begitu bersemangat, bersorak kegirangan.

Arin menghampiri Renald yang sedari tadi hanya duduk memperhatikan. "Mereka udah gue anggap kayak keluarga sendiri dan gue seneng bisa kenal sama mereka. Salut dan kadang malu, anak-anak sekecil itu harus berjuang sendiri buat bertahan hidup. Sedangkan gue, apapun masih minta dari orang tua."

"Begitupun dengan gue." Renald tersenyum getir.

"Oh iya, gue mau minta maaf sama lo. Lo masih marah ya sama gue?"

"Minta maaf buat apa? Lo nggak punya salah apa-apa, harusnya gue yang minta maaf. Gue selalu bikin masalah dan lo jadi kena imbasnya."

"Soal itu, bukan sepenuhnya kesalahan lo, kok. Itu juga karena gue yang terlalu memaksakan lo." Arin tersenyum.

"Lo liat anak laki-laki yang ada di pojok itu deh!" Renald mengikuti arah pandangnya.

Namanya Bagas, ia sangat pendiam. Jarang bersosialisasi membuatnya menjadi tidak percaya diri. Waktu mengajarinya membaca, ia cepat putus asa dan selalu bilang tidak bisa. Agak susah mengajarinya, tapi lama-lama semangat untuk belajar tumbuh dan akhirnya sekarang sudah bisa membaca walaupun masih dieja. Arin menceritakan sambil tersenyum bangga. Renald termenung.

"Rin, lo masih mau nggak nerima gue jadi murid lo?" Arin mengangguk, sempat tertawa karena merasa aneh ketika ada cowok sebaya yang memintanya menjadi murid.

Bagas menghampiri mereka berdua. "Ini buat Kak Renald."

"Gambarnya bagus. Makasih ya, de." Renald mengelus rambut Bagas.

Bagas tersenyum lalu kembali pada teman-temannya. Renald dan Arin memperhatikan gambar itu, Bagas menggambar dirinya yang sedang digandeng oleh Renald dan Arin. Menuliskan Bagas sayang Kak Arin dan Kak Renald. Cowok bermata tajam itu tersenyum melihat gambar yang dipegangnya, sehingga tatapan yang biasa membuat orang-orang ngeri itu melembut menunjukkan kalau cowok ini sebetulnya penuh perhatian.

"Kedatangan lo ke sini disambut baik sama anak-anak." Arin tersenyum senang.

Arin kembali ke anak-anak, menyuruh untuk menempel gambar buatan mereka. Mereka sangat antusias, menempelkan hasil karyanya di dinding yang terbuat dari kardus. Arin dan Renald ikut membantu memasangkan di tempat yang agak tinggi. Setelah menghabiskan waktu cukup lama, akhirnya Arin dan Renald pamit pulang. Langit jingga pun terlukis indah di atas.

"Besok kesini lagi ya, kak!" Rezki meloncat-loncat senang.

"Kalau kakak sempet pasti akan ke sini terus." Arin tersenyum menatap mereka.

Kini Arin dan Renald sedang dalam perjalanan pulang. Renald begitu terkesan dengan Arin, terus menatapnya dan itu sedikit mengganggunya. Ia jadi salah tingkah jika diperhatikan begitu intens oleh Renald.

"Sering-sering ajak gue kesana, ya!"

"Kalau lo mau pasti bakal gue ajak terus, gue juga jadi ada temennya di sana." Arin tersenyum.

"Lo tahu nggak? Lo itu orang pertama yang gue ajak kesana, bahkan Tiara juga belum pernah gue ajak."

Renald sedikit heran, apa mungkin ia orang yang spesial untuk Arin, sehingga mau mengajaknya ke rumah kardus itu.