Chereads / (Un)forgettable / Chapter 12 - Chapter 11 - Step by Step

Chapter 12 - Chapter 11 - Step by Step

Sepulang sekolah, Arin mengajak Renald pergi ke rumahnya untuk belajar. Ia pun memperkenalkan Renald pada kedua orang tuanya. Papa Arin sangat senang bisa mengenal anaknya Pak Surya, begitu juga mama. Pak Surya sering menceritakan anak kebanggaannya ini pada rekan-rekan kerjanya. Renald terkekeh, anak kebanggaan? Mungkin Papa Arin terlalu melebih-lebihkan.

Arin ke kamarnya untuk berganti baju. Renald dipersilakan duduk, diminta untuk ikut makan siang. Awalnya ia menolak, tapi Mama Arin memaksa. Akhirnya ia bergabung di meja makan.

Papa Arin bilang tidak usah sungkan, anggap seperti keluarga sendiri. Ia biasa makan siang di rumah karena jarak kantor dengan rumahnya tidak terlalu jauh. Sengaja menyempatkan agar momen keluarga seperti ini tidak terlewatkan. Berbanding terbalik dengan Papa Renald. Jangan kan makan siang bersama, setiap sarapan pun biasanya Papa Renald sudah berangkat kerja duluan.

Arin bergabung di meja makan, duduk di samping Renald.

"Renald mau nggak jadi menantu tante?" Mamah Arin tersenyum menggoda.

"Apaan sih, Ma. Bohong Nald, jangan didengerin," pinta Arin. Renald hanya tertawa.

Mereka makan siang bersama diselingi canda tawa. Membuat keluarga ini terlihat begitu harmonis. Renald baru pertama kali merasakan hangatnya kekeluargaan bersama keluarga Arin. Beruntung sekali Arin.

Selesai makan siang mereka mulai belajar. Renald mengisi latihan soal yang Arin berikan. Setelah selesai ia serahkan pada Arin, langsung diperiksa. Benar semua. Arin senang, andai tiap hari begini. Tidak perlu memarahinya lagi. Ia tersenyum bangga, tapi Arin mengingatkan agar ia belajar setiap hari. Ia mengangguk, menurut.

Hari sudah sore, Renald pun pamit pulang. Arin mengantarnya sampai depan rumah. Ia men-starter motornya dan melaju.

***

Hari ini Bu Rini memberikan hasil ulangan kemarin. Arin menerima kertas ulangannya, tersenyum senang. Kemudian memanggil nama Renald, cowok berhidung mancung itu pun mengambil kertas ulangannya. Ia mendapat nilai 78, merasa kecewa. Arin langsung menyemangati, yang terpenting nilainya tidak merah. Ia lega karena Arin tidak marah.

"Tapi tenang aja, gue bakal berusaha buat tingkatin terus kok, Rin."

"Iya Nald, step by step aja." Arin tersenyum.

Kini Arin, Renald, Tiara, dan Andi menghabiskan waktu istirahatnya di kantin. Mereka tampak asik mengobrol sambil sesekali tertawa. Tiara mengeluh karena akhir-akhir ini sering ulangan harian dengan bonus PR yang menumpuk. Bagaimana tidak, mereka sudah kelas XII, pasti sibuk mengejar materi. Jadwal mereka padat dan bukan saatnya untuk berleha-leha.

Renald tersenyum senang, kini ia mempunyai teman baru. Ia sadar kalau Arin, Tiara, dan Andi memang tulus menemaninya. Terlebih lagi mereka justru membawa dampak positif, tidak seperti dulu ia salah pergaulan sehingga tahu bagaimana dunia gelap. Tapi Renald tidak pernah menyesal, bagaimana pun juga Brian, Alex, dan Lian adalah teman baiknya juga. Lagipula kini mereka sudah memperbaiki hidupnya, mulai menata masa depan yang cerah. Begitu pun dengan Renald, ia harus berubah menjadi lebih baik.

"By the way kalian mau ikut ke markas gue sama Renald nggak?" ajak Arin. Memberi kode pada Renald.

"Kalian punya markas?" tanya Andi bingung.

"Di mana tempatnya?" Tiara tampak penasaran. Arin hanya tersenyum.

Setelah bel pulang sekolah, mereka pulang ke rumah masing-masing untuk ganti baju. Renald yang akan membawa mobil lalu menjemputnya.

Terdengar suara klakson mobil, Arin berpamitan pada mamanya dan segera menuju mobil Renald yang berada di depan gerbang. Ia menunjukkan jalan ke rumah Tiara, setelah itu biar Tiara yang mengarahkan jalan menuju rumah Andi. Sebelumnya mengingatkan agar ke warteg untuk membeli nasi. Anak-anak pasti belum makan siang.

Renald membunyikan klakson mobilnya, tak lama Tiara keluar dari rumahnya dan langsung membuka pintu mobil bagian belakang. Ia meminta Tiara untuk menunjukkan jalan ke rumah Andi.

Andi sudah menunggu di depan gerbangnya, segera memasuki mobil. Ia kembali melajukan mobilnya. Ada warteg di pinggir jalan, segera menepikan mobilnya.

"Kalian tunggu bentar, ya! Gue sama Renald mau beli nasi dulu," ujar Arin. Tiara dan Andi mengangguk kaku.

Arin memesan, ibu warteg dengan sigap membungkus pesanan Arin. Saat Arin akan membayar, Renald dengan cepat memberikan lembaran seratus ribuan.

"Jangan Nald, biar gue aja yang bayar."

"Udah, biar sama gue." Kemudian mereka kembali ke mobil.

Tiara dan Andi bingung, untuk apa Arin membeli nasi bungkus sebanyak itu. Memangnya mereka akan pergi kemana dan mau apa. Dan sekarang mereka telah sampai di tempat tujuan. Bukannya turun, Tiara dan Andi malah melongo.

"Cepetan turun!" Arin gemas. Mereka keluar dari mobil masih dengan tampang melongonya.

"Rin, lo lagi nggak becanda, kan?" tanya Tiara tidak percaya.

"Gue serius, Ra. Ayo cepet jalan!"

Dan sampai lah mereka di sebuah rumah kardus yang tampak rapuh. Kedua tangan Tiara menutup mulutnya, mulut Andi menganga lebar. Anak-anak yang tadinya sedang sibuk bermain kini mengalihkan pandangannya. Mereka tampak senang lalu memeluk Arin dan Renald.

"Kakak-kakak ini temennya Kak Arin sama Kak Renald juga?" Putri menatap Tiara dan Andi setelah melepas pelukannya.

"Iya, kenalin ini Kak Andi sama Kak Tiara." Renald memperkenalkan kedua temannya kepada anak-anak.

Lalu Arin membagikan nasi bungkus dan air mineral. Mereka mengucapkan terima kasih dan langsung menyantap menu makan siangnya dengan lahap. Selesai makan, seperti biasa ia mengajarkan mereka membaca dan menghitung. Begitu juga dengan Renald, Andi, dan Tiara. Mereka tampak sibuk dengan anak-anak muridnya.

"Sekarang kakak mau tanya, 13+6 hasilnya berapa? Yang tahu angkat tangannya, ya!" Renald menatap anak-anak.

Mereka tampak menghitung dengan jarinya. Tak lama Bagas mengangkat tangannya, "sembilan belas, Kak."

"Jawabannya benar, Bagas pinter ya." Renald memuji.

"Sekarang jawab bareng-bareng, ya! 24-15 hasilnya berapa?"

"Sembilan kak," jawab anak-anak serempak.

Arin memperhatikan Renald. Begitu kagum dengan Renald yang sekarang. Dulu sangat berantakan, dingin, dan selalu membuat ulah. Kini Renald berubah menjadi seorang yang tulus, penyayang, dan semakin dewasa.

Di sisi lain Tiara dikelilingi anak-anak, mereka bingung kenapa tiba-tiba ia menangis. Mereka pun meminta maaf, takut bila tidak sengaja berbuat salah. Ia menjawab ini bukan karena mereka, anak-anak ini tidak bandel menurutnya. Lalu memeluk erat mereka, berusaha tersenyum menahan tangis. Kemudian Tiara menghampiri Arin, Renald, dan Andi yang sedang asik mengobrol. Ikut bergabung membiarkan anak-anak bermain.

"Gue terharu banget. Pas gue tanya kemana orang tua mereka, mereka jawab nggak tahu," ujar Tiara, sedikit terisak. "Bahkan gue yang beruntung masih punya Mama sering ngeluh, gue selalu menyalahkan Tuhan, kenapa Dia harus ngambil Papa. Harusnya gue bersyukur masih punya Mama yang selalu sayang sama gue." Tiara menangis lagi. Andi pun berusaha menenangkannya.

"Banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Mereka memang masih kecil, tapi udah ngerasain kerasnya kehidupan ini. Harusnya saat-saat sekarang mereka sedang menikmati masa kecilnya." Arin nampak sedih.

"Iya, gue prihatin. Tapi gue juga salut sama mereka." Andi menyahut.

Berbeda dengan Renald yang hanya diam tidak menanggapi apapun. Ia bangkit, mengajak teman-temannya untuk pulang. Hari sudah sore. Mereka mengangguk, lalu pamit pulang pada anak-anak. Andi dan Tiara berpesan agar jaga diri baik-baik dan jangan sampai bertengkar satu sama lain, mereka pun mengangguk. Renald hanya tersenyum dan mengusap puncak kepala mereka.

Kini mereka dalam perjalanan pulang. Tiara dan Andi asyik mengobrol. Arin hanya diam melihat Renald yang sedang fokus menyetir. Di tengah perjalanan Tiara meminta berhenti sebentar mengajak mereka makan di warung nasi pinggir jalan. Renald pun mengangguk kemudian memarkirkan mobilnya.

Mereka keluar dari mobil dan masuk ke warung nasi tersebut, memilih tempat duduk yang kosong. Tiara langsung memesankan makanan. Arin terus memperhatikan Renald, ia terlihat muram. Sampai pesanan datang pun ia masih dengan wajah murungnya.

"Nald, lo kenapa sih? Daritadi gue perhatiin lo murung terus." Arin memegang tangan Renald.

"Gue nggak apa kok, cuma agak cape aja." Renald tersenyum dipaksakan.

Sebenernya ia memikirkan kata-kata Tiara. Ia juga selalu menyalahkan Tuhan dan belum mencoba memperbaiki hubungan dengan papanya.

"Kalau lo cape kita gantian aja nyetirnya." Andi menawarkan. Renald pun mengangguk.

Mereka makan dalam diam, hanya suara dentingan sendok yang terdengar. Selesai makan, kembali melanjutkan perjalanan. Kini Andi yang menyetir, Renald dan Arin duduk di bangku belakang. Renald tertidur, terlihat kelelahan. Melihatnya tertidur pulas membuat Arin jadi ikut mengantuk. Arin pun tertidur, menyandarkan kepalanya pada bahu Renald. Merasa ada seseorang yang bersandar di bahunya, ia menyunggingkan senyumnya. Sebenarnya ia tidak tidur, hanya memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya.

Setelah mengantarkan Tiara, Andi melajukan mobil Renald menuju rumahnya. Kini mobil Renald sampai di rumah Andi, kali ini mau tak mau Renald yang harus mengemudikan mobilnya. Renald tak tega membangunkan Arin, membiarkannya tertidur pulas di bangku belakang.

"Bro, gue masuk rumah ya," ujar Andi, kemudian melirik cewek yang sedang tertidur di bangku belakang. "Jagain tuh anak orang!" Andi menggoda. Renald hanya tersenyum menanggapinya.

Kini Renald melajukan mobilnya menuju rumah Arin, sambil sesekali melirik cewek berwajah oval itu di kaca depan. Senyumnya mengembang tiap kali melihat wajah Arin, ia melambatkan laju mobilnya agar bisa lebih lama bersama Arin. Tak terasa, kini mobilnya sudah berada di depan gerbang rumah Arin. Ia melihat ke belakang, Arin masih tertidur. Membangunkannya pelan-pelan, tapi tak kunjung bangun. Ia memperhatikan wajah Arin lekat-lekat, lalu tersenyum sambil mengelus pipinya. Cantik, pantas saja Brian menyukainya. Tersadar, ia segera menepuk-nepuk pipi Arin pelan.

"Rin, bangun. Udah nyampe." Arin mulai membuka matanya dan mengerjapkannya beberapa kali.

"Ini udah nyampe di rumah lo, Rin." Renald tersenyum.

"Oh, makasih ya, Nald." Arin sempat menguap sebelum turun dari mobil Renald.