Chereads / (Un)forgettable / Chapter 8 - Chapter 7 - Mission

Chapter 8 - Chapter 7 - Mission

Setelah kekalahan Renald dan kawan-kawannya, sekolah menjadi lebih tenang. Tidak ada yang membuat keributan lagi, bahkan Brian, Alex, dan Lian kini menjadi anak yang rajin belajar dan mereka lulus dengan nilai yang cukup bagus. Renald tak menyangka mereka belajar dengan serius, mengikuti kemauan orang tuanya. Padahal sudah berjanji untuk menjadi diri sendiri, tidak melakukan hal-hal yang tak mereka sukai. Jelas-jelas mereka tidak suka pelajaran akademik.

"Gue lakuin untuk diri sendiri. Gue sadar masa depan gue nggak boleh dikorbanin hanya karena kekecewaan terhadap orang tua." Brian berusaha memberi penjelasan agar Renald tidak salah paham. "Jaga diri lo baik-baik." Brian menepuk bahu Renald, ia sudah dianggap seperti adiknya sendiri.

"Iya, lo juga." Pertemanannya memang baru seumur jagung, tapi mereka benar-benar seperti saudara.

"Arin itu spesial." Brian tersenyum, Renald memandangnya bingung. "Lo nggak tertarik sama dia?" Renald mengedikkan bahu, "kalau gitu gue boleh suka sama Arin."

Renald terkekeh, "bebas, apa urusannya sama gue?" Brian tidak menjawab.

***

Kelas XII sudah selesai berjuang mengisi soal-soal UN. Kini adik-adik kelasnya yang sedang berjuang, hari ini adalah hari terakhir UAS. Mereka tampak fokus mengisi soal-soal. Namun berbeda dengan Renald, ia sedang memainkan pensilnya.

"Renald, apa kamu sudah selesai?" tanya pengawas. Renald menggeleng.

"Lalu kenapa kamu malah bersantai-santai? Cepat isi! Nanti kalau waktunya habis kamu rusuh meminta contekan ke teman-temanmu. Kali ini tidak akan ibu biarkan kamu menyontek lagi!"

"Iya bu, ini juga lagi mikirin jawabannya."

Tak lama terdengar bunyi bel tanda waktu ujian telah selesai. Renald terlihat panik karena belum selesai mengisi soal. Ia pun akhirnya menjawab dengan asal.

***

Hari ini adalah pembagian raport di SMA Pancasila, semua murid beserta wali murid berkumpul di aula sekolah. Bu Rini selaku Wali Kelas XI IPA 1 mengumumkan peringkat tiga besar. Juara 3 diraih oleh Resti Lestari, juara 2 diraih oleh Farel Nugraha.

"Juara 1 diraih oleh... Andrea Arinata." Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan.

Ketiga besar ini menerima piala dari Wali Kelasnya. Setelah selesai didokumentasikan, mereka kembali duduk. Arin memeluk kedua orang tuanya. Mereka mengucapkan selamat pada anaknya, merasa bangga. Begitu juga dengan Tiara. Arin mengucapkan terima kasih, ia pun memberi selamat pada Tiara yang mendapat peringkat ke enam. Lumayan ada peningkatan.

Bu Rini menghampiri Renald dan papanya. Mengajak mereka berbicara di ruangannya.

"Begini Pak, Renald mendapatkan nilai yang sangat kurang. Dia menempati posisi terakhir di antara 40 siswa di kelasnya. Renald butuh dukungan dari keluarga agar dia bisa belajar dengan semangat."

"Baik Bu, saya akan mencoba berbicara baik-baik dengan Renald. Maafkan anak saya juga yang sudah banyak merepotkan Ibu." Papa Renald menahan malu karena ulah anaknya. Renald terlihat acuh, tak memedulikan perkataan papanya.

"Tidak apa-apa Pak, sudah menjadi tugas saya untuk membimbing Renald." Bu Rini berucap ramah, "hanya itu saja yang ingin saya bicarakan Pak, terima kasih sudah mau menyempatkan waktunya."

Papa Renald mengangguk, "kalau begitu kami permisi."

"Silakan, Pak." Bu Rini tersenyum ramah, lalu menatap Renald prihatin.

Kini Arin sedang berada di ruangan BK didampingi Bu Rini, mereka tampak sedang mengobrol dengan serius. Jangan salah paham, ia tidak membuat kasus.

"Ibu mau minta tolong sama kamu, Rin." Guru BK menatapnya serius.

"Minta tolong apa ya, Bu?" Arin penasaran.

"Ibu meminta kamu untuk membimbing Renald, nilainya sangat kecil, kali ini masih bisa diselamatkan, tapi kalau terus dibiarkan Ibu takut dia tidak akan lulus nantinya." Ia tahu sebenarnya Renald mampu, hanya saja rasa malasnya itu yang tidak membuatnya maju.

"Bukannya saya menolak permintaan Ibu. Tapi Renald itu keras kepala, susah diatur dan suka bertindak semaunya. Saya takut gagal, butuh kesabaran dalam menghadapinya. Belum lagi menumbuhkan rasa semangat belajarnya sepertinya itu sulit."

"Justru itu yang Ibu minta dari kamu, kesabaran. Arin, kamu anak yang pintar, tapi untuk apa kepintaran itu kamu miliki tetapi tidak bisa bermanfaat bagi orang lain. Ibu berharap kamu bisa diandalkan. Kamu pasti bisa, Rin." Ibu Rini memegang tangannya, berusaha meyakinkan.

"Baiklah, akan saya coba Bu." Arin tersenyum. Mereka mengucapkan terima kasih, berharap banyak pada Arin.

***

Hari ini adalah hari pertama tahun ajaran baru setelah libur panjang. Arin yang notabene-nya anak rajin tentu sudah tidak sabar untuk belajar lagi di sekolah. Mama dan Papa tersenyum melihatnya begitu semangat. Arin dan Papa berangkat tak lupa berpamitan pada Mama. Di tengah perjalanan, Arin mengeluarkan unek-uneknya.

"Papa, aku punya temen sekelas yang nyebelin banget."

"Cewek atau cowok?"

"Cowok, namanya Renald. Dia tuh suka bikin masalah, Pa. Hobinya bolos, nggak pernah ngumpulin tugas, suka nyontek. Pokoknya dia tuh kayak nggak punya masa depan yang cerah gitu, hidupnya serba bodo amat. Dan lebih bikin bebannya lagi Arin disuruh bimbing dia supaya bisa memperbaiki kelakuannya itu dan juga nilainya, Pa." Arin menarik napas setelah memberi penjelasan panjang.

"Bagus dong, berarti kamu udah dipercaya buat ubah seseorang menjadi lebih baik. Dan itu adalah tanggung jawab baru buat kamu."

"Tapi Arin takut nggak bisa, Pa. Kalau Arin gagal gimana?" Arin khawatir.

"Setidaknya kamu udah berusaha, kalau soal dia akan berubah jadi lebih baik atau enggak, itu bergantung kesadaran dia dan kemauannya." Arin mengangguk tanda mengerti. Papa mengelus rambut putrinya.

Sesampainnya di sekolah, Arin langsung menuju kelasnya. Ia melihat Tiara sudah duduk di bangku kedua, sedangkan Arin memilih duduk di bangku pertama, masih satu barisan dengan Tiara. Tak lama Renald memasuki kelas dan menuju bangku belakang. Arin langsung menariknya untuk duduk di bangku depan. Saat pengocokan murid, ada campur tangan Bu Rini sehingga mereka masih menjadi teman sekelas.

"Apa-apaan sih, lo! Gue males duduk di depan." Renald menghempaskan tangannya.

"Kalau lo duduk di belakang, lo bakal ketinggalan terus dan gue yakin lo bakal ngabisin jam pelajaran buat hal-hal yang nggak jelas." Suara Arin lebih keras dari Renald.

"Sejak kapan lo peduli sama gue?" Renald tersenyum sinis.

"Sejak sekarang, karena lo temen gue." Arin berusaha meyakinkan Renald. Tapi cowok itu heran dengan perubahan sikap cewek yang dulu selalu ia usik.

Memaksanya untuk duduk sebangku dengan Arin. Ia menyerngit bingung, tapi akhirnya menuruti kemauan Arin. Kenapa gue harus patuh sama cewek ini? Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, aneh dengan situasi ini.

"Gini aja, lo gue tantang buat makan baso super pedas pulang sekolah nanti, siapa yang paling tahan sama pedasnya dan bisa ngabisin paling banyak dia pemenangnya." Renald makin mengerutkan keningnya. "Perjanjiannya yang kalah harus nurutin segala permintaan yang menang dan ini berlaku sampai kita lulus. Deal?" Renald memikirkan tawaran Arin, mungkin saja itu bisa menjadi kartu keberuntungannya.

"Deal." Renald menjabat tangan Arin pada akhirnya.

Kini mereka sudah berada di kedai baso setan. Mereka memesan baso pedas level paling tinggi. Tak lama setelah pelayan pergi dengan catatan pesanan, Arin pamit ke toilet, Renald pun mengangguk. Tapi ternyata tujuannya bukan ke situ, ia malah pergi ke dapur menghampiri mas yang bertugas menyiapkan baso. Ia bilang kalau pesanannya low level, setiap minta tambah pun beri level yang paling rendah. Tapi untuk Renald ia meminta agar basonya level paling tinggi dan diberi kuah yang banyak. Ia beralasan kalau Renald pecinta makanan pedas. Masnya pun menggangguk tanda mengerti. Ia sengaja berbuat curang agar bisa menang dengan mudah. Dan ini juga demi kebaikan Renald. Ia pun kembali ke tempat duduknya, tak lama pesanan pun datang.

"Okay, let's begin." Arin menatap Renald.

Mereka menyuapkan kuah basonya. Baru satu sendok saja sudah membakar lidahnya, berbeda dengan Arin yang terlihat baik-baik saja, belum merasakan sesuatu yang panas. Renald langsung meminum es tehnya.

"Lo nyerah?" Arin senyum tertahan.

"Nggak, gue bukan tipe orang yang kalah sebelum berperang."

Oke, selamat berjuang. Arin tersenyum miring. Ia sudah menghabiskan basonya, sedangkan Renald masih berjuang dengan mangkok pertamanya. Ia meminta nambah, mengedipkan matanya. Mas itu mengangguk paham. Kini Arin sedang memakan baso keduanya, sedangkan Renald baru menghabiskan baso pertamanya. Wajahnya sangat merah, keringat terus bercucuran membasahi pelipisnya.

"Kalau lo mau nyerah, mending nyerah aja deh! Gue yakin lo udah nggak sanggup."

"Nggak, nggak. Gue nggak akan nyerah semudah itu! Mas, saya nambah." Renald bersikeras.

Cewek itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Oke juga nyalinya. Renald entah memang orang yang pantang menyerah atau terlalu gengsi untuk kalah, ia heran. Tapi mau sebesar apapun tekadnya, Renald pasti akan kalah. Ia menahan senyumnya. Kini mereka sedang berjuang dengan mangkok kedua, Renald terlihat lebih banyak menghabiskan minumannya. Dan itu membuat perutnya kembung.

"Gue udah abis dua mangkok. Udahlah Nald, jangan nyiksa diri lo kayak gini. Gue nggak akan nambah dulu, gue bakal nunggu lo bilang nyerah." Arin sedikit khawatir melihat keadaan Renald yang mengenaskan, takut jika tiba-tiba Renald mati. Oke, itu berlebihan.

"Gue masih sanggup." Renald meminum es teh yang kesekian, Arin gemas karena cowok itu begitu keras kepala. "Iyadeh gue nyerah, lo menang. Sekarang lo mau apa dari gue?" Akhirnya Renald menyerah, ia menghabiskan minumannya. Arin pun tersenyum penuh kemenangan.

"Gue mau lo belajar yang bener, nilai lo jangan merah lagi."

"Permintaan macam apa tuh? Nggak, gue nggak mau, gue nggak bisa." Renald melipat tangannya di depan dada sambil terus menggeleng tanda menolak.

"Lo masih inget kan sama perjanjiannya? Tenang aja, gue bakal bantuin lo."

Arin tersenyum berusaha meyakinkannya. Ia tidak bisa menolak, bisa-bisa dibilang banci karena tidak mau menepati janji.