Renald melihat ponselnya yang berdering tanda ada pesan masuk. Ia berdecak, lagi-lagi Arin. Cewek itu tidak pernah bosan mengingatkannya untuk datang ke sekolah tepat waktu, belajar, dan lain-lain.
Arin: Besok lo jangan sampe telat, jam 7 harus udah stay di sekolah.
Renald: Iya
Arin: Udah belajar belum? Ulas lagi pelajaran yang tadi
Renald: Iya, ini juga lagi belajar
Arin: Bohong, nggak percaya gue
Renald: Kalau lo nggak percaya, kita VC ya
Renald lalu menghubungi ID Line Arin. Ia menaruh handphone-nya di meja belajar, kemudian membaca buku sambil menunjukkan pada cewek bawel itu.
"Sekarang lo percaya, kan?"
"Hehe bagus. Lo nurut juga, ya! Seneng gue punya peliharaan kek lo."
"Wah, ngomong sembarangan, lo pikir gue kucing anggora."
"Mirip. Udah deh lo fokus aja belajar, gue takut ganggu konsentrasi lo." Arin memutus video call-nya.
Setelah sambungan terputus Renald terbahak, semudah itu membohongi Arin. Ia pun kembali main game.
***
Nada dering ponsel Renald membangunkannya yang masih ingin tidur terlelap. Ia menutup kepalanya dengan bantal. Namun ponselnya tak mau berhenti berdering, ini pasti Arin. Renald mengangkat panggilan dengan gusar.
"Ngapain sih lo nelepon gue pagi-pagi? Gue masih ngantuk, nih!" Ia masih dalam posisi berbaring di tempat tidur, matanya tetap menutup.
"Cepetan mandi! Jangan nyampe lo telat masuk sekolah."
"Gue masih ngantuk, Rin. Semaleman gue maen ..."
"Maen apa? Jangan bilang lo semalem nggak belajar tapi malah maen game." Arin menyambar.
Renald terbangun, "maksud gue maenin angka-angka, gue semaleman belajar Matematika."
"Oh gitu, tapi gue nggak mau nerima apapun alasan lo, sekarang lo siap-siap buat ke sekolah!" Renald mengembuskan napas lega.
Lalu ia bergegas mandi dan memakai seragamnya asal. Kemudian berangkat ke sekolah tanpa sarapan, ia memang jarang sarapan di rumah.
Renald memasuki kelasnya dengan tergesa-gesa. Arin berkacak pinggang melihat penampilan Renald yang berantakan.
"Sekarang jam 7.10, lo telat sepuluh menit tapi masih selamat karena bel masuknya masih lima menit lagi."
Renald malas mendengar ocehan Arin. Ia langsung menuju tempat duduknya. Tapi Arin menahannya, ia mengacak rambutnya frustasi, benar kan cewek adalah makhluk yang paling merepotkan. Arin menyuruhnya merapikan penampilan. Ia menghela napas, kemudian memasukkan bajunya dan memakai dasi.
"Nice, lo ganteng kalau rapi gini."
"Dari lahir gue udah ganteng." Renald tersenyum bangga.
"Ih... Abaikan perkataan gue yang tadi! Cuma basa-basi."
"Dasar cewek! Lebih milih gengsi daripada kata hati." Arin mendelik.
Renald duduk di bangkunya gusar. Kini pelajaran pertama telah dimulai, Matematika. Bu Tantri menjelaskan materi, setelah itu memberi soal latihan.
Renald kesusahan dalam menjawab soal. Ia pun meminta Arin untuk memberinya jawaban, tetapi cewek itu enggan memberitahunya.
"Pasti semalem lo nggak belajar, kan? Udah gue duga kalau lo itu bohongin gue, dasar tukang ngibul!"
"Maafin gue, ya! Gue nggak bakalan bohongin lo lagi."
Akhirnya Arin memberitahu caranya, Renald pun paham dan dapat mengisi soal. Semua murid telah selesai mengerjakan, kemudian mengumpulkannya di meja guru. Ibu Tantri sibuk memeriksa soal. Beliau mengangkat buku Arin, cewek berkulit kuning langsat itu pun mengambil bukunya. Seperti biasa nilainya memuaskan, Bu Tantri pun tersenyum padanya.
"Renaldi Sebastian." Bu Tantri memberikan tatapan tajam membuat Renald merasa sedikit takut. Namun saat menyerahkan bukunya, beliau tersenyum, "nilai kamu cukup baik, tingkatkan lagi, ya!" Renald mengangguk.
"Cindy Charlotta." Bu Tantri menggeleng-gelengkan kepalanya, "tolong perbaiki lagi nilai kamu! Sebaiknya kamu bergaul dengan Arin supaya jadi ikut berkembang seperti Renald."
Cindy memutar bola matanya jengah, "tanpa bantuan Arin pun saya bisa jadi yang terbaik, Bu." Lalu ia kembali ke tempat duduknya.
Saat bel istirahat berbunyi, semua murid segera meninggalkan kelas, begitupun dengan Renald. Namun Arin menahannya. Menyuruhnya untuk menyerahkan rokok yang ia bawa, jangan sampai merokok di area sekolah. Tapi ia enggan, itu adalah haknya dan Arin tidak berhak mengatur-ngatur masalah ini.
"Itu pelanggaran! Dan asal lo tahu aja ya, gue nggak suka sama cowok perokok!"
"Itu sih masalah lo, nggak ada urusannya sama gue," ucap Renald dingin.
"Lo itu keras kepala banget, sih!"
"Gue keras kepala? Bukannya yang keras kepala itu lo!" Renald menunjuk Arin.
Sebetulnya mereka berdua sama-sama keras kepala. Ia mengambil sebungkus rokok di saku celana Renald. Renald marah rokoknya diambil dan minta dikembalikan, tapi ia melemparkannya ke tempat sampah. Renald benar-benar kesal, seenaknya saja membuang kepunyaannya. Masalahnya Renald tidak bisa mendapatkan rokok di sekolah, tidak ada yang menjualnya. Ia tersenyum penuh kemenangan melihat ekspresi Renald.
Saat sampai di kantin, Arin mencari keberadaan Tiara-sahabatnya. Renald masih dalam genggamannya. Tiara melambaikan tangannya, ia langsung menuju tempat duduk Tiara sambil menyeret Renald. Mereka pun duduk. Lalu Tiara menceritakan bahwa dirinya dan Andi sudah resmi pacaran. Ia mengucapkan selamat, sekarang sahabatnya sudah tidak jomlo lagi. Tapi untuk Andi harus cukup bersabar menghadapi Tiara yang agak pecicilan.
"Kalian kapan diresmiinnya?" tanya Andi. Keduanya mendelik.
"In your wildest dream." Arin bergidik.
"Gue juga males jadian sama cewek keras kepala ini, suka ngatur-ngatur pula."
"Hey, inget ya! Lo juga keras kepala, bebel, susah diaturnya." Arin tidak terima dinilai seperti itu.
Andi dan Tiara hanya tertawa, dua orang di depannya ini memang tidak pernah akur. Tapi bukankah biasanya kalau seperti ini keduanya malah akan saling jatuh cinta?
Arin menawarkan Renald untuk dipesankan makanan olehnya, Renald pun mengangguk minta dipesankan apa saja. Ia segera menuju warung ibu kantin. Tak lama, kembali dengan makanan di tangannya. Renald terlihat pucat dan gelisah, terus mengetuk-ngetuk meja kantin.
"Lo kenapa? Sakit?" Arin menempelkan punggung tangannya di kepala Renald.
"Enggak, gue suka kayak gini kalau nggak ngerokok."
Tiara berdeham menggoda kedua orang di depannya. Arin melemparkan sedotan ke kepala Tiara.
"Gue tuh takut kalau anak ini mati gara-gara sering gue siksa." Arin menjelaskan agar tidak salah paham.
Andi yang paham dengan keadaan Renald langsung memberinya permen. Biar nggak asem katanya, Renald pun menerimanya.