Moin-Moin lari dari siapa yang mengenalnya. Emosinya seakan ingin menerkam semua mangsa yang meliriknya. Hati yang tertutup telah menguasai dirinya, baginya hidup adalah ketidakadilan. Berlari dan terus berlari dari kenyataan, mengingat seseorang yang dipercayainya telah berkianat. Aku tahu perasaan itu, karena aku...
"Aaaaa..." Moin-Moin melepaskan nada kehancuran, sekuat tenaga.
Melarikan diri dari kota kelahiran, memasuki hutan liar yang tak takut akan bahayanya binatang buas, tanpa peduli nanti hidup atau mati, baginya semua telah berakhir.
Puksss!
"Aaaaa..."
Moin-Moin jatuh ke jurang yang dalam, lembab dan gelap tanpa cahaya. Dia mungkin tidak dapat melihat apapun, tapi aku melihatnya dengan jelas. Semua yang aku lihat adalah apa yang di lihat Moin-Moin yang tak dapat di lihat.
Seketika cahaya menyala, pantulan sinar yang tajam menusuk bola mata Moin-Moin. Merindingnya tubuhku yang tak terwujud, menandakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Di sana, seorang nenek tua berjalan menghampiri Moin-Moin. Nenek itu berjalan perlahan dengan tongkat di tangan kirinya, tangan kanannya terlipat di belakang pinggang dengan badan yang membungkuk, mata yang fokus menatap tajam, hidung yang mancung dan bibir keriputnya yang tersenyum lebar. Semakin dekat langkah kakinya, tubuhku semakin terasa hidup. Moin-Moin menghela nafas panjang dan terjatuh pingsan.
"Hh... hh... aku dimana?"
"Bangun juga kamu, Nak!" ucap Nenek tadi.
Nenek itu duduk di sebelah Moin-Moin. Moin-Moin panik dan ketakutan.
"Tidurlah sejenak, Nak!" Dia tersenyum lagi, dia mulai mendekati Moin-Moin.
"Tidak... tidak, jangan mendekat! Pergi..." jerit Moin-Moin ketakutan.
Nenek itu terus mendekat dan semakin mendekat, bahkan keringat Moin-Moin tak berhenti bercucuran.
"Ini, makanlah!" Ternyata nenek itu hanya ingin memberinya sebuah bola sekecil kelereng, tapi dia menyuruh Moin-Moin memakannya, mana mungkin bola bisa di makan.
"Tidak, aku tak mau memakannya!" tegas Moin-Moin.
"Jika kau memakannya, maka kehidupan yang kau mimpikan akan terwujud. Mimpi yang begitu indah dari kenyataan hidupmu yang pahit."
"Bagaimana kau tahu?" heran Moin-Moin.
"Dan aku juga tahu, bahwa hatimu terkutuk."
Dan sekarang kalian mengenalku, inilah aku 'sebuah kutukan'. Lebih tepatnya Moin-Moin terkutuk sebagai manusia tanpa cinta, dan akulah kutukan itu.
Sebelum Moin-Moin melarikan diri dan memasuki hutan liar. Seseorang yang dipercayainya adalah bibinya. Sejak aku hidup di hati Moin-Moin, kehidupan Moin-Moin hanya bergantung pada bibinya. Tidak seperti manusia lainnya yang kulihat di sekitar Moin-Moin, orangtua adalah kehidupan mereka. Bagiku Moin-Moin adalah manusia tersabar, tidak peduli apa pendapat mereka yang mengatainya anak yatim-piatu.
Hatinya pernah berbisik padaku. "Orangtua adalah segalanya. Aku tidak tahu seperti apa wajah ibu dan ayahku. Semua yang ku ingat tentang mereka tidak ada. Bibi bilang setelah kelahiranku dialah yang mengasuhku. Aku bersyukur karna bibi tidak meninggalkanku, dia telah berjanji padaku. Terkadang aku merasa tertekan, bibi selalu mabuk di malam hari, dia terus ketakutan, katanya dia terlibat kasus koropsi. Aku tidak pernah berhenti menangis dan berdoa, semoga bibiku selalu aman dan tetap bersamaku." Itulah bisikan Moin-Moin yang menyentuh hatiku, meski awalnya aku tidak tahu, apa itu orangtua? Bahkan, sekarang pun aku tidak begitu yakin.
Masih di hari sebelumnya, sepulang dari sekolah, tepat di hadapan Moin-Moin adalah tragedi bibinya yang bunuh diri. Saat itulah Moin-Moin melarikan diri ke hutan sambil menangis, terasa telah di khianati oleh janji bibinya. Bibinya bunuh diri tanpa memikirkan nasib Moin-Moin yang malang. Lantas, apa yang akan dilalui gadis 10 tahun ini?
"Tidak mungkin. Aku, heks... heks..." tangis Moin-Moin.
"Dengarkan aku anak manis, kau tahu apa yang menyebabkan hidupmu terasa tidak adil? Yaitu kutukan di hatimu. Jika kau memakan bola ini, maka seperti yang aku katakan sebelumnya, kehidupan yang kau mimpikan akan terwujud, kehidupan yang tenang dan damai, tanpa siapapun yang memandangmu rendah dan bagusnya lagi di kehidupanmu yang baru penuh dengan cinta. Karena itu, kutukanmu harus menghilang!" Tidak, aku pasti salah mendengarnya. Aku, menghilang?
Moin-Moin menjulurkan tangannya perlahan pada bola itu dan berbisik padaku, "Haruskah aku memakannya? Bagaimana jika dia menjebakku, mungkin saja ini bola beracun yang mematikan." Aku senang Moin-Moin memikirkan hal itu, dan dia melanjutkan, "Tapi ... aku sudah lelah dengan hidup. Aku tidak perlu tahu apa yang akan terjadi nantinya, yang terpenting ini tidak ada ruginya bagiku." Moin-Moin mengambil bola itu dengan cepat.
Jangan gegabah Moin-Moin, pikirkan aku, aku tidak pernah jahat padamu. Walaupun aku hanyalah kutukan, tapi aku punya perasaan. Sekarang aku mengerti maksud dari orangtua, yaitu tempat dimana mereka berteduh, tempat mereka merasa nyaman, tempat mereka berbagi berbagai rasa. Dan bagiku, kaulah Moin-Moin, orangtuaku. Bukankah begitu? Entalah perasaan ini nyata atau tidak, tapi aku mohon, jangan memakannya!
Kelihatannya nenek itu bukan manusia biasa. Moin-Moin mulai percaya padanya. Moin-Moin memegang bola ajaib itu dan mulai memakannya dari ujung ke ujung. Terlihat seperti memakan jeli, padahal bolanya terlihat keras seperti logam. Setelah Moin-Moin memakannya rasanya leher belakangku begitu sakit, tidak... tidak... sakit sekali rasanya!
Seketika segelanku mulai terbuka, tubuhku mulai tembus pandang, sudah saatnya aku pergi ke dunia baru, mungkin dunia yang keji atau dunia tanpa siapapun. Aku bertahan dari rasa sakit dan air mata.
***
... dimana aku? Tunggu, apa ini ... tubuh manusia?
Seketika selembar daun jatuh dari atas langit. Huruf-huruf muncul dari daun itu, seperti memberi sebuat petunjuk. Daun itu tertulis...
"Sekarang aku adalah manusia. Namaku Violet, wanita 16 tahun dengan rambut ikal ungu, kelemahanku adalah kecemburuan."
Apa ini? Aku tidak mengerti. Sekarang aku seorang manusia, manusia, manusia? Dua tangan, dua kaki, wajah yang mulus, rambut yang indah, aku juga bisa berbicara dari bibir ini. Benar, sekarang aku adalah manusia. Coba aku tes berbicara pada seseorang, mungkin aku ini tidak nyata. Atau mungkin aku berada di dunia yang pernah aku mimpikan, tapi ... aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang wanita, aku ingin menjadi pria yang tangguh dan tampan. Oh, sepertinya di sana ada manusia.
"Hallo! Apa kau bisa mendengarkanku?" tanyaku pada seorang kakek, dengan gerobak kayunya.
Sepertinya dia tidak bisa mendengar, jadi benar ya, ini dunia mimpi.
"Menyebalkan ..." (berteriak).
"Hah, siapa di sana?" kakek itu mulai terkejut. Bagaimana dia bisa mendengarku, tadi tidak.
"Kakek, dengar aku?" tanyaku.
"Siapa? Coba berbicara lebih keras, aku tidak bisa mendengar!" jawabnya mencari keberadaanku.
Ternyata dia bisa mendengarku, hanya sedikit tuli. Akhirnya aku jadi manusia sungguhan, ini bukan mimpi. Aku sangat senang dan melompat-melompat, hanya ingin mengetes kaki.
Selembar daun terjatuh lagi padaku dan tertulis. "Lakukan misimu, jika kau tidak ingin menghilang!" Apa maksudnya? Selembar daun jatuh lagi dan tertulis. "Pergilah ke rumah penyihir itu dan cari kebenaran." Aku masih tidak mengerti, cari kebenaran? Kebenaran tentang apa?
"Hei daun! Beri petunjuk lagi, kebenaran tentang apa yang harus ku cari?" aku bertanya pada daun yang diam. Tidak ada jawaban ataupun jatuhnya daun baru. Oh, di sana ada daun jatuh, tapi tidak tertulis apapun.
"Hei ... kau tidak dengar aku?" tanyaku lagi. Tiba-tiba angin bertiup kencang, sepertinya aku membuat para daun marah.
"Baiklah, baiklah. Aku pergi mencari kebenaran," kataku dengan suara merendah.
Aku pergi ke mana angin menghembus. Beberapa daun terbawa oleh angin. Aku mengikutinya hingga seberangan sungai. Aku melihat dari kejauhan, di sana adalah tempat aku menghilang, rumah nenek itu. Tunggu, jadi nenek itu adalah penyihir. Tidak bisa dipercaya, aku harus menolong Moin-Moin dari pengaruh penyihir itu.
Sehelai daun jatuh padaku, tertulis "Ingat, misimu hanya mencari kebenaran, bukan melibatkan dirimu, yang pada akhirnya dapat menghilangkanmu." Melibatkan apanya, dari tadi tulisannya tidak masuk akal. Baiklah, saatnya melakukan tugas.
***