Chereads / The Prince of Curse / Chapter 3 - Cristal-Ice

Chapter 3 - Cristal-Ice

{Es Kristal}

Loh, aku kira semuanya sudah berakhir, ternyata aku masih hidup, tapi ... sepertinya aku tampak berbeda! (Melihat dari genangan air) Oh tidak! Aku seorang lelaki seumuran Moin-Moin, (jatuh sebuah misi baru) apa ini? Misi baruku.

"Namaku Cristal, anak 10 tahun yang pendiam, kelemahanku adalah tertawa."

Aku tidak mengerti dengan permainan ini,

"Hei daun ajaib! Kenapa aku berubah?" jeritku.

Jatuh sehelai daun. "Terus ingat kelemahanmu."

Ingat kelemahan, apa yang kulakukan saat itu hingga aku menghilang? Tidak ada, aku hanya berdiam diri, tiba-ti ... aku tahu. Kelemahanku dengan tubuh Violet adalah kecemburan, bila aku cemburu maka aku akan menghilang. Menurutku saat itu nenek Buroe sengaja membuatk cemburu, mungkin dia sudah tahu kelemahanku, tapi sejak kapan? Oh, sejak aku memakan telur rebus itu, dia bilang dia berjanji pada Moin-Moin untuk tidak menyakitiku, tapi jangan salahkan dia bila aku pergi tanpa pamit. Dia penyihir yang cepat tangkap dan terlicik.

Daun ajaib terjatuh lagi. "Misimu masih sama, mecari kebenaran".

Misi mencari kebenaran, sepertinya kebenaran tentang penyihir itu. Aku harus kembali, tapi tidak ada hembusan angin maupun daun yang membawaku ke rumah penyihir.

"Daun ajaib, kau lupa memberiku arah angin!" Tidak ada jawaban, lagi-lagi daunnya marah lagi.

"Aku pergi!" Menyebalkan, bagaimana aku tahu arah jalannya dengan tubuh sekecil ini, tapi kalau dilihat-lihat aku lebih suka tubuh laki-laki, aku merasa jantan dan keren, andai saja aku lebih tinggi.

Sepertinya ini jalan yang sama, aku mengelilinginya bukan melaluinya. Sekarang aku tidak bisa berjumpa Moin-Moin, sebentar lagi gelap dan mungkin binatang buas menerkamku di tengah malam. Aku berlari lebih cepat dan berhenti. Sepertinya ada gubuk kecil di atas pohon cemara, aku harus memanjat dan menumpang tidur di situ.

"Hallo!" sepertinya tidak ada penghuninya, lebih baik aku tidur saja. Menjadi manusia itu melelahkan, aku tidak bisa membayangkan bagaimana manusia lainnya yang lebih lelah dari pada aku, mereka berjuang untuk hidup dan sebahagian kecil dari mereka berjuang untuk mati.

***

Hari berganti lagi, untunglah di sini aman, tidak ada tupai penjilat.

Aku mulai bergegas mencari arah jalan, sayangnya tidak ada petunjuk apapun. Hemm ... ah, itu dia, arah aliran sungai. Kalau tidak salah, sungai di samping rumah nenek Buroe aliran sungainya mengarah ke batu besar dekat pohon beringin tepat di hadapannya. Berarti sekarang aku harus mengikuti arus air yang mengalir bukan melawan arahnya.

Aku terus megikuti arah aliran sungai, sampai-sampai luka di kakiku tak ku pedulikan, karna tujuanku hanya untuk berjumpa dengan Moin-Moin, dan ... mencari kebenaran.

Sampai di belakang rumah nenek Buroe, aku berlari seketika melihat Moin-Moin sedang berjemur di halaman depan rumah. Seketika Moin-Moin menoleh ke arahku, aku menyapanya.

Moin-Moin berdiri dan sedikit tegang. "Siapa kau? Kenapa kau kemari?" tanya Moin-Moin heran.

Aduh, bagaimana cara aku membalasnya? Sekarang aku hanyalah seorang anak pendiam, aku tak tahu cara mendekti Moin-Moin seperti apa. Eumm ... mungkin lebih baik aku berbicara bahasa isyarat, atau beri saja dia batu dan arang untuk menggambar sesuatu.

Aku memberi Moin-Moin batu dan arang. "Gambarlah sesuatu!" dengan gerakan isyarat.

Moin-Moin mengerutkan keningnya."Jawab aku, siapa kau!" sentaknya. Aku hanya melototinya dan terdiam sejenak, memikirkan ide bagus lainnya yang bisa di pahami Moin-Moin, mungkin cara tadi sedikit aneh, terlihat seperti orang perompak.

Aduh ... pikirkan bagaimana cara aku memperkenalkan diri tanpa berbicara sedikitpun. Daun itu jelas tertulis 'aku anak pendiam' bila aku berbicara, mungkin aku juga akan menghilang. Tapi, kelemahankukan tertawa, kenapa takut berbicara? Ah, masa bodo menghilang terlalu awal, lebih baik aku tetap berdiam diri.

Moin-Moin terus memperhatikanku dengan mata tajamnya. Tiba-tiba, terdengar suara jeritan dari semak-semak dekat batu besar di samping sungai. Moin-Moin berlari kearahnya dan aku mengikutinya. Ternyata, seekor kelinci berbulu putih diserang oleh kucing hitam bermata kuning kemerahan. Moin-Moin menolong kelinci itu dan mengusir kucing yang mencoba mencakarnya.

"Oh, kasihan! Kelinci, punggungmu tercakar kucing nakal,tapi tenang saja, aku akan mengobatimu dan kau tidak kesakitan lagi," ucap Moin-Moin pada kelinci itu sambil tersenyum. Moin-Moin itu sangat perhatian sama binatang, bahkan di rumah bibinya dia hanya bermain bersama ikan hias dan kucing tetangga, seolah-olah dia memahami ucapan mereka. Tapi, mungkin dia begitu karena tidak punya teman, kasihan.

Moin-Moin membawa kelinci itu ke dalam rumah nenek Buroe, dia menaruhnya di atas kasur. Moin-Moin mengambil kapas dan minyak oles untuk mengobati punggung kelinci itu, aku bisa melihat tangan halus Moin-Moin yang menyentuh setiap helai bulu kelinci dengan perasaan.

Sepertinya terjadi sesuatu di jantungku, bergerak begitu cepat. Kalau tidak salah, gerakan jantung yang kuat ini adalah perasaan cinta, itulah yang kulihat di tv juga. Tidak, aku rasa tubuh lelaki ini langsung merespon ke arah negatif. Tapi, saat aku menjadi Violet, aku hanya punya rasa kasih sayang selayak adik kakak. Itu dia, sedikit informasi yang kudapat dari pergantian tubuh ini, walaupun aku adalah kutukan, tapi aku juga dikendalikan oleh tubuh yang ku pakai.

"Hei, kenapa kau masih di sini?" tanya Moin-Moin, menyadarkanku dari lamunan sok tahu.

Aku memberinya jempol dengan ekspresi wajah datar, ingat untuk menahan tawa.

"Tidak waras, pergi sana!" usir Moin-Moin.

Aku memberinya tanda silang dari jari telunjukku, artinya 'tidak' dan aku duduk di kasur sambil membuang wajahku.

"Kau bersikap tidak sopan!" sentak Moin-Moin sambil berdiri. Dia terus melototiku dengan genggaman amarah di tangannya. Aku terkejut dan membalas lototannya dengan rasa takut. "Dan aku menyukainya," sambung Moin-Moin, tersenyum tiba-tiba. Apa maksudnya, dia marah atau tidak?

Aku duduk dan menelan liurku, tingkah Moin-Moin memang jauh berbeda dari tingkahnya sebelum memakan bola ajaib itu. Dulu Moin-Moin adalah anak kecil yang berhati lembut dan penuh rasa kawatir, selalu tersenyum pada siapapun, walaupun dia benda mati dan sama saja tidak ada yang peduli. Bedanya dengan sekarang, Moin-Moin menjadi lebih berani dan masih berhati lembut, tapi dia juga bisa kasar tanpa rasa malu. Sekarang tingkahnya lebih dewasa daripada gadis lebih dari 16 tahun, dia cukup percaya diri dengan hal-hal baru. Namun, untungnya dia masih memiliki senyum yang indah. Entah tingkah barunya lebih baik atau malah sebaliknya. Tapi, mau Moin-Moin seperti apapun, bagiku Moin-Moin tetaplah Moin-Moin.

"Siapa namamu?" tanya Moin-Moin.

Aduh, aku harus jawab apa?

"Kau tidak punya nama ya kelinci kecil?" Ternyata Moin-Moin bertanya pada kelinci itu, untunglah. "Karena kau jantan, bagaimana dengan Rey, nama yang keren bukan, Rey!" sambungnya mengelus kepala kelinci, maksudku kepala Rey.

Aku keluar dan melirik pohon beringin tepat di depan halaman rumah nenek Buroe, posisi yang stragis untuk membangun gubuk kecil di atas dahan besar pohon berigin yang terlihat cukup kokoh, di sampingnya pula pemandangan seberangan sungai yang penuh dengan kebun-kebun bunga.

"Apa yang kau lihat?" tanya Moin-Moin mencari apa yang sedang kuperhatikan.

Aku menjelaskan dengan bahasa isyarat menggunakan jari-jermariku merangkai bentuk-bentuk kalimat yang bisa di pahaminya.

"Maksudnya ... kau ingin membuat rumah di atas pohon itu? Dan kau bertanya padaku apakah aku memperbolehkannya? (Aku megangguk) Hemm... lakukan saja!" ucap Moin-Moin mengizinkan membuat gubuk kecil untukku. Setelah gubuknya selesai, aku tidak akan merasa kesepian dan takut, karna Moin-Moin selalu berada di sampingku.

***

Hari sudah gelap kembali, untunglah gubuk kecil sudah selesai ku buat, tepat seperti rencana, jendela yang pas untuk memandangi kebun bunga di seberang sungai.

Aku terus menghirup udara segar dari jendela, aku juga melihat Moin-Moin dari pintu rumahnya yang terbuka lebar. Lebih baik aku mengajaknya melihat pemandangan indah dari jendela ini, tapi bagaimana caranya? Lempar batu saja, ide yang bagus.

Tupp!

Berhasil, lemparanku mengenai pintu. Moin-Moin terkejut dan melihatku dari bawah, aku melambaikan tangan dan mengajaknya naik ke atas gubuk. Saat dia bertanya-tanya mengapa aku menyapanya, aku menutup mata Moin-Moin dan mengarahnya ke jendela. Lalu, membukanya dengan perlahan.

"Waaah! Pemandangannya indah sekali, ternyata di malam hari semua tampak warna biru gelap dan terang, semua terpantul oleh cahaya bulan. Woooo... menakjubkan, para bintang juga bersinar terang," ucap Moin-Moin dengan tawa kecilnya.

Aku melihat Nenek Buroe yang memantauku dari tadi. Menurutku dia tidak tahu aku ini kutukan yang di coba singkirkan, tapi dia juga penyihir yang licik dan pintar, jangan meremehkan. Tiba-tiba dia memandangku sambil tersenyum lebar, persis seperti awal dia melihatku.

"Hai Nenek Buroe!" Sapa Moin-Moin dari atas. "Aku turun." Moin-Moin pun pergi, masuk ke dalam rumah penyihir yang baginya tampak sebagai pahlawan.

Sudah pukul 2 pagi, aku masih belum tertidur. Padahal seharusnya aku menikmati hidup yang tak abadi ini, kapan lagi aku bisa tertidur selayak manusia. Tapi, begitulah misteri yang merasuki pikiranku, aku masih berpikir tentang diriku dan nenek Buroe, rasanya seperti ada hubungan yang terjalin antara aku dan dia, entah itu dendam atau benci.

Aku juga bingung, aku ini hanyalah kutukan, tapi mengapa aku terlibat dengan tubuh manusia yang sudah mati, daun ajaib itu juga menyuruhku mencari kebenaran, bahkan aku tidak tahu kebenaran tentang apa, siapa, kapan, dimana, mengapa, mengapa harus aku... Hhhhh..... (menghela nafas) mungkin lebih baik aku menghirup udara segar di luar.

Udara di luar sangat segar dan dingin. Kunang-kunang asik bermain kejar-kejaran. Ngorokan daun terdengar manis, namun lebih manis tidurnya bunga dalam ketenangan.

Sepertinya ada cahaya hijau yang menyala di rumah nenek Buroe. Jika aku ingin kebenaran haruskah aku mengintip sedikit? Ya, aku harus tahu apa yang terjadi di rumah itu.

Aku mengintip sedikit dari lubang gubuk, ternyata Moin-Moin sedang memainkan bola yang dapat mengeluarkan cahaya hijau di malam hari. Huh, lega rasanya jika itu bukan hal yang aneh (berbelok kebelakang) "Aaa..." aku terkejut ketika melihat nenek Buroe berdiri di belakangku.

"Kenapa anak muda? Kau terkejut?" Nenek Buroe tersenyum lebar.

"Nenek, siapa yang beteriak?" tanya Moin-Moin panik.

"Lihatlah pria tampan ini, aku rasa dia punya suara yang indah." Nenek Buroe pergi dengan senyuman lebar.

"Apa, kau berteriak?"

Aku rasa Moin-Moin mencurigaiku memiliki suara dan berbohong padanya.

"Kau hanya bisa berteriak, ya?" tanya Moin-Moin bersimpati.

Aku melamun dan menganggukkan kepala. Bukankah aku tidak pernah bilang aku ini bisu, kenapa dia berpikir demikian? Aneh.

"Kenapa kau masih di luar, kau juga tidak bisa tidur ya?" tanya Moin-Moin sambil menundukkan kepala. Aku rasa dia berpikir sesuatu hingga tak bisa tidur.

Aku menarik tangannya dan membawanya ke gubuk atas pohon beringin. Moin-Moin langsung tersenyum ketika melihat pemandangan dari luar jendela. Moin-Moin sangat cantik dengan senyumannya dari dekat, dekat sekali. Sepertinya jantung ini berdetup kencang, apa karena tubuh ini berdarah rendah atau gugup. Yah, hal yang tidak mungkin tidak perlu di pikirkan. Untuk sekarang aku senang Moin-Moin masih ada untukku.

***

Hidungku terasa geli, entah apa yang kuhirup, tapi rasanya ada yang sengaja menggelikan hidungku. Saat aku membuka mata tenyata Moin-Moin di balik semua ini, dia menggelitik hidungku dengan bulu ayam dan tertawa kecil.

"Kenapa kau lama sekali bangunnya?" tanyanya.

Kenapa dia bertanya, memangnya aku murid sekolah. Tunggu, apa Moin-Moin tidur di sini semalam? Oh tidak, aku kehabisan nafas.

"Hei, kenapa kau memukul kepala? Apa kau sakit?" Moin-Moin melihatku memukul kepala, hanya ingin memastika ini mimpi atau nyata.

"Kau baik-baik saja?"

Dasar cerewet, tahunya cuma nanyak.

"Oh ia, siapa namamu?" tanyanya lagi.

Aduh, bagaimana caranya dia tahu namaku ya, eumm ... oh ia, aku kan punya kalung permata sebagai identitas. Saat aku berubah menjadi manusia, kalung adalah satu-satunya yang dapat menandakan aku orang yang sama, hanya saja jika aku Violet maka kalung permatku berwarna ungu dengan ukiran bunga lavender di dalamnya. jika sekarang aku Cristal maka warna kalung permataku biru tua dengan lambang es kristal di dalamnya.

Nah, perlihatkan saja ka..(putus) sebentar, jika aku Violet dengan lambang lavender yang hilang karena kecemburan akibat bunga lavender, bukankah itu memberiku petunjuk. Aku mulai mengerti, semuanya berasal dari kalung ini, sekarang namaku Cristal dengan lambang permata es cristal yang memiliki kelemahan tertawa. Artinya aku harus selalu berhati-hati pada es cristal dan tawa.

"Hei ... kau melamun?" tanya Moin-Moin memerhatikan mataku yang tak berkedip.

Aku menaikkan bahuku,

"Kasihan sekali ya, kau tidak punya nama. Emm ... coba kupikirkan nama yang bagus, Julian! Martin, Paul, Robt! Ah, aku rasa namanya terlalu kuno, oh atau mungkin kau bisa menggunakan nama pamanku, Nuwa. Sebelum meninggal dia seorang CEO di Afrika, namanya cukup keren untuk di kenal, bagaimana?"

Aku menganggukkan kepala. Tampaknya Moin-Moin sangat senang dan bersemangat, rasanya ingin menjadi manusia abadi, hanya bersamanya.

"Moin-Moin! Nenek ada sesuatu untukmu!" panggil Nenek Buroe dari jendela rumahnya.

"Ia, Nek. Aku turun. Ayo Nuwa kita turun!"

Kenapa tiba-tiba Moin-Moin sangat akrab denganku?

"Ini adalah sub daging sapi, makanlah!" perintah Nenek Buroe pada Moin-Moin.

Aku tidak yakin Moin-Moin akan baik-baik saja. Tapi ia, Moin-Moin terasa sangat menikmatinya. Mungkin tidak sekarang dia menyakiti Moin-Moin, tapi kelihatannya Nenek Buroe sangat baik pada Moin-Moin, lantas apa tujuannya.

"Apa kau hanya berdiam diri anak muda?" tanya Nenek Buroe padaku.

"Nuwa makanlah sedikit, apa kau ingin kelaparan atau ingin aku mengelitikkan hidungmu lagi, hahaha ...." Moin-Moin membuatku tersipu malu dan tertawa tanpa sadar, mungkin tidak apa-apa selagi es kristal tidak di sini.

Aku meneguk sub daging buatan Nenek Buroe. Apa Nenek Buroe membuatnya kemarin? rasanya dingin bukan hangat, mungkinkah Nenek Buroe sengaja menaruhkan es kristal dalam mangkuk subku. Inilah rencana yang di buatnya untuk menghilangkanku, dia tersenyum lebar. Dia tahu keberadaanku dalam wujud apapun dan kelemahanku. Aku harap Moin-Moin tidak melihatku, maafkan aku Moin-Moin, aku harap kita dapat berjumpa kembali entah bagaimana wujudku nanti.

"Nek, Nuwa kemana?"

"Dia akan segera pergi menemui ibunya."

***