{Musim Kemarau}
"Huh, lagi-lagi tubuhku bergantian, padahal aku sudah nyaman dengan tubuhku yang sebaya dengan Moin-Moin dan seorang pria. Ah ... menjengkelkan, sekarang aku wanita dewasa, tapi gerakanku sepertinya gerakan lelaki, mungkin wanita dewasa ini tomboi, rambutnya pendek dan punya otot yang kuat. Apa aku harus menyamar menjadi seorang atlet saja! Sehelai daun jatuh, biar kubaca apa misiku kali ini.
"Namaku sekarang Samy, 24 tahun. Blablablabla ... kelemahan berlari."
Jika kelemahanku berlari berarti aku tidak menyamar jadi atlet tapi jadi pembantu, haha lelucon sendiri. Baiklah, sekarang kearah mana rumah penyihir licik yang terus menyerangku itu, sepertinya aku terdampar terlalu jauh, tapi tetaplah mengikuti arus aliran air.
Sudah senja, aku berjalan begitu jauh namun belum kutemukan batang hidung Moin-Moin. Berhenti, siapa orang yang duduk di jembatan kayu itu? Aku berjalan lebih cepat untuk memastikannya, ternyata itu wanita berambut panjang, sepertinya dia menangis, lebih baik aku menemuinya.
"Hai Bu, anda tersesat? Kenapa menangis?"
"Bu? Aku rasa kau lebih tua 3 tahun dariku," ucapnya sambil menghapus air mata.
"Oh ia, maksudku kawan. Emm ... apa kau baik-baik saja?
"Menurutmu apa aku terlihat baik-baik saja?"
"Tentu saja tidak. Lantas apa yang membuatmu menangis?" aku semakin heran.
"Aku sendirian dalam waktu yang lama, aku ingin menyusul suamiku, namun aku belum sempat melihat putraku. Heks... heks... putraku yang malang, seharusnya aku melindunginya tapi aku tidak bisa melahirkannya, aku menitipkannya pada orang lain, aku... heks... heks...." Aku tidak tahu apa yang di bicarakan wanita ini, bagaimana bisa melahirkan seseorang melalui orang lain.
"Bersabarlah, tidak ada yang memilih untuk mendapatkan nasib buruk, namun cara kita mengatasinya adalah hal terpenting. Saat ini kau berpikir bahwa hanya kaulah yang merasa tidak mendapatkan keadilan, tapi kau salah. Mereka yang susah, mereka yang miskin, mereka yang terlantar, mereka yang sakit, dan mereka yang sedang berjuang semuanya untuk hidup. Mereka percaya dunia itu adil, ada kalanya kebahagiaan itu memihak pada mereka dan cobaan selalu ada pada manusia." Aku berkata demikian seolah-olah aku mengerti sekali 'apa itu hidup?'.
Dia menatapku sambil tersenyum. Kami berbicara lebih lama, entah mengapa saat aku berbicara padanya rasanya nyaman sekali, seperti seseorang yang saling kenal sejak lama, bagiku dia orang kedua yang membuatku nyaman. Sekarang aku jadi merindukan Moin-Moin.
"Aku rasa hari sudah gelap, aku harus menemukan seseorang," ucapku sambil mengakhiri pembicaraan.
"Oh baiklah, aku harap kau menemukannya." Wanita itu memelukku dan kami berpisah. Bahkan dalam sekejap aku mulai merindukannya.
Akhirnya ku temukan saat larut malam, lebih baik aku tidur di gubuk pohon beringin, tempat yang penuh kenangan indah bersama Moin-Moin.
***
"Bu, anda siapa?"
Sepertinya ada yang bertanya padaku. Aku sangat ngantuk dan membuka perlahan mataku, ternyata Moin-Moin.
"Oh ya, maaf. Moin-Moin kau baik-baik saja?" Aku tergesa-gesa tanpa berpikir keadaanku sekarang tidak mungkin membuat Moin-Moin mengerti.
"Si... si... apa anda? Bagaimana anda tahu namaku?" Benar, Moin-Moin jadi takut.
"Emm... bukan, oh maksudku Nuwa anakku pernah membicarakanmu, yah begitulah." Apa caraku berbicara dapat meyakinkannya?"
"Oh ... Nuwa. Jadi anda adalah ibunya, tapi... bukankah Nuwa itu nama pemberianku padanya?"
"Ia ia ia begitulah dia bercerita padaku bahwa kau memberinya nama Nuwa, lagi pula aku lupa memberinya nama." Oh Tuhan, sudahkah sampai di sini, entah apa yang aku bicarakan.
"Ha? Lupa..." (putus)
"Baiklah apa kau sudah makan? Aku akan memasak untukmu." Sepertinya tubuh wanita dewasa ini rajin dalam segala hal, cukup membuat Moin-Moin tidak memikirkannya.
Moin-Moin memakan ikan bakar yang lezat buatanku, entahlah tangan ini bagus untuk membuat Moin-Moin mendapat kasih sayang dari seorang ibu. Jika aku ditakdirkan untuk Moin-Moin dalam bentuk tubuh seperti ini bisakah aku berharap Moin-Moin menjadi anakku? Sulit untuk berkata sesuatu yang tidak mungkin.
"Ibunya Nuwa, apakah Nuwa tidak akan kembali? Apa dia marah padaku?" aku sedih melihat Moin-Moin, andai ingatannya terhapus pasti dia tidak akan merasa kebinggungan seperti ini.
Aku memeluk Moin-Moin selayaknya seorang ibu, "Nuwa harus pergi, entahlah kapan dia akan kembali, dia hanya menitipkanmu padaku." Sedikit sulit untuk berbohong.
"Kau akan bersamaku selama Nuwa pergi?"
"Emm."
"Dia pergi tanpa pamit, sama seperti Violet yang meninggalkanku. Nenek Buroe benar, aku mencoba berteman dan melindungi mereka, tapi yang mereka lakukan hanyalah meninggalkanku, tidak berperasaan" ucap Moin-Moin geram dan sedih.
"Kau salah Moin-Moin, seperti itukah yang kau pikirkan? Apakah kau tahu situasi apa yang sedang mereka hadapi setiap saat? Rasa takut, bahkan jika mereka harus mati dengan penuh keberanian, semua itu hanyalah untukmu," jawabku dengan suara sedikit lantang. Moin-Moin terdiam dan mengerutkan keningnya, tatapannya seperti dipenuhi dengan rasa bingung.
"Aku tidak pernah percaya kepada siapapun, kecuali Nenek Buroe." Moin-Moin membalasku dan pergi dari gubukku dengan langkah kasarnya.
Moin-Moin benar-benar di pengaruhi oleh penyihir tua licik itu. Baiklah, Moin-Moin tidak ingin mempercayaiku, kalau begitu biarkan aku melanjutkan misiku, meski Moin-Moin taruhannya, aku tidak peduli.
***
Siang yang melelahkan pada musim kemarau. Aku melihat Moin-Moin sedang memungut kayu bakar yang terjatuh karena pegangannya yang tak kuat. Apa aku harus turun dan membantu Moin-Moin, ya? Sudahlah bantu saja, lagi pula kalau tidak ada Moin-Moin aku selalu merasa tidak ada.
Aku mengambil semua kayu bakar di tangan Moin-Moin dan membawanya ke rumah Nenek Buroe. Namun, aku melihat ruangan kecil yang terlihat seperti gudang. Aku berpikir untuk menyimpan kayu ini di sana.
Brukkk....
Sebuah buku jatuh dari raknya dan membuatku kaget. Aku rasa semua barangnya begitu usang dan bukunya juga tampak tua. Terusik di benakku begitu melihat judul buku yang ku pegang 'Asmara Pangeran Buth 1870'. Buku ini sangat tua, sekarang sudah tahun 2020. Mungkin buku ini warisan ibunya nenek Buroe. Mungkin ceritanya menarik, jadi kupinjam saja sehari.
Di malam hari, aku sempatkan membaca buku yang kutemukan tadi. Sebenarnya aku belum sempat meminta izin nenek Buroe, tapi karna cuma sehari besok aku kembalikan ke tempat semula. Aku membacanya dengan terliti dan penuh rasa ingin tahu, karna berdasarkan isi buku tersebut bukanlah rekayasa, buku ini adalah buku yang di tulis berdasarkan sejarah, mungkinkah nenek Buroe itu....
***