Chereads / The Prince of Curse / Chapter 10 - Tongkat Sihir

Chapter 10 - Tongkat Sihir

"Pangeran Joe adalah Pangeran tunggal dari Istana Saka, istana yang dikenal dengan istana gula merah, dipimpin oleh raja ke-3, Raja Goa Ritjen. Pastinya namamu adalah Joe Ritjen, bukankah begitu Pangeran?" ucap Nenek Buroe sambil mengelilinginya, dia berhenti dihadapan Pangeran Joe dan menyambungnya, "Raja Goe Ritjen adalah menantuku." Senyum Nenek Buroe dan berpaling dari hadapannya. Jadi Nenek Buroe punya seorang anak yang ternyata ibunya Pangeran Joe, itu berarti Pangeran Joe adalah cucu Nenek Buroe. Namun, kebencian Pangeran Joe terhadap Nenek Buroe aku belum bisa memastikannya. Tidak, aku sudah bilang jangan memikirkan hal yang akan mengganggu misiku, fokuslah pada masalahku sendiri.

"Heh, kau berpikir aku ini cucumu? Aku lebih baik mati dari pada menerimanya!" balas Pangeran Joe tegas, tak menerimanya.

"Tapi apa itu benar, kau cucu Nenek Buroe?" tanya Moin-Moin, aku rasa kepala Moin-Moin saat ini penuh dengan tanda tanya. Tidak, kepalanya memang selalu penuh tanda tanya, ya begitulah Moin-Moin!

"Tidak. Aku bukan cucunya, bahkan darahnya tidak pernah mengalir di organ terkecilku. Sebenarnya dia adalah ibunya ibu tiriku, bisa dikatakan nenek tiri, namun aku tidak pernah sudi mengatakannya.

Mungkin dulu aku seorang pengecut, sehingga tidak ada seorang pun yang ingin berteman denganku, mereka mengataiku 'Pangeran malang pembawa nasib buruk'. Alangkah hancurnya hatiku saat aku berjuang berteman dengan mereka, namun hanya kata-kata itu yang mereka balas untukku.

Aku terus beranya pada diriku 'Apa yang salah? Bukankah dulu mereka senang padaku?' saat pertanyaan itu muncul dari benakku dan tidak mendapat jawabannya, aku beranikan diri bertanya pada salah satu temanku secara diam-diam. Still berkata, "Pernahkah kau bertanya dimana teman setiamu, yang dulu saat kau jatuh betapa paniknya dia, saat kau gagal betapa sedihnya dia, saat kau marah betapa dendamnya dia. Pernahkah kau bertanya? Dimana dia?" Still menangis setelah berteriak, benar bahwa aku tidak pernah bertanya kemana perginya temanku itu, barulah aku menanyainya dan ternyata, heks ... heks ... Divan teman setiaku itu, telah dibunuh." Pangeran Joe bercerita dan terjatuh menangis, setelah itu dia menghapus air matanya dan berdiri tegak dengan wajah amarahnya. "Dialah yang membunuh temanku," ucap Pangeran Joe menunjuk Nenek Buroe.

"Tutup mulutmu, bagaimana bisa Nenek Buroe melakukan hal sekeji itu, bahkan jika hal itu benar semua pasti demi kebaikan kerajaan, bukankah kau pernah bilang temanmu itu dibunuh karena mencuri perhiasa ibu tirimu!" ucap Moin-Moin lebih percaya pada Nenek Buroe.

"Apa maksudmu? Aku bilang temanku itu difitnah. Bagaimana kau tidak percaya padaku?" tanya Pangeran Joe.

"Dan kenapa aku harus mempercayaimu, bahkan kau melarikan diri dari istana seperti pecundang, pastinya kau merasa bersalah dan begitulah takut akan kebenaran dirimu yang lemah." Tatapan Moin-Moin pada Pangeran Joe penuh dengan kecurigaan.

Pangeran Joe menitikkan air matanya. "Bahkan dengan cerita ibuku yang mati karena diracuni, apakah kau juga tidak mempercainya?"

Mata Moin-Moin mulai terlihat ragu. "Kau juga terlibat atas kematian ibumu, karena itulah kau bersalah!"

"Ia benar! Aku yang salah, itulah yang ingin didengarkan semua orang, aku yang salah, aku ...!" Pangeran Joe berteriak dan menangis.

Aku bisa melihat betapa sedihnya Pangeran Joe dan Moin-Moin yang dipenuhi rasa bingung, serta bagaimana bahagianya penyihir itu dalam penderitaan orang lain.

"Hahaha ... waw, ini adalah pertunjukan terbagus seumur hidupku. Bagaimana anak muda, kau suka pertunjukannya?" ucap NeneK Buroe dan bertanya padaku.

"Kau pasti berpikir lagi, bahwa apa yang kau lakukan pada kehidupan Pangeran Joe adalah kemenangan bagimu. Tapi lihatlah bagaimana aku bisa mengalahkanmu, sudah saatnya kau pergi ke neraka!" tegasku dan mulai mengucapkan mantra yang di sampaikan Ratu Sabiru 'Air yang jernih dapat meleburkan batu kotor, ketulusan seseorang hanya dapat di lihat dari jernihnya air'. Mantra ini sangat kuat, seketika Nenek Buroe menjerit kesakitan, pasti tubuhnya terasa panas seperti karet yang meleleh.

Nenek Buroe mencoba berbicara dengan suara serak yang sakit dari tenggorokannya. "Kau sudah merencanakannya, tapi kau belum lihat rencanaku. Moin-Moin lakukan perintahku!" ucapnya sambil mengarahkan tongkat sihirnya pada Moin-Moin.

Aku melihat Moin-Moin dikendalikan olehnya, bola matanya berubah menjadi hijau persis saat nenek Buroe menyuruhnya mengambil panci di atas kayu bakar, untuk menyiramku. Tiba-tiba Moin-Moin menolakku, bahkan penyihir itu belum sempat lenyap.

"Kerja bagus gadis kecilku. Kau adalah keturunan musuh terbesarku, berani sekali kau menjatuhkan harga diriku, tidak akan ku biarkan kau hidup! Haaaakk ..." Tongkat sihirnya mengarah padaku. Tunggu, pasti ada sesuatu yang salah, sihiran itu tidak sampai padaku namun, sosok wanita yang kukenal muncul sebagai pahlawan, dia melentangkan tangannya dan menerima sihiran untuk yang kedua kalinya, dialah ibuku.

Ibu terjatuh dan mendesak kesakitan, aku hanya bisa menitikkan air mataku. Mulutku tidak bisa berkata-kata, aku pikir aku bisa membunuh penyihir itu dan hidup bersama ibuku selamanya. Aku terus menangis hingga awan mulai mendung dan bergerumu keras. Aku menggenggam erat tanggan Ibu dan menciumnya dengan penu penyesalan.

"Awas!" teriak Pangeran Joe. Aku melihat nenek Buroe tidak menyerah melenyapkan aku, aku hanya menatap pasrah, mungkin sudah saatnya aku pergi, beginalah akhir dari kisahku dan sejarah yang dinantikan adalah kegagalan.

***

Tidak, Pangeran Joe mempelajari sihir di istana, dia menahan sihiran Nenek Buroe dan menolaknya sekuat tenaga. Pangeran Joe terjatuh, Nenek Buroe semakin marah dan menyerang Pangeran Joe dengan tenaga besarnya yang penuh dendam dan benci, dia berkata, "Lenyaplah dari hadapanku!".

Pangeran Joe mencoba menahan sihiran yang dahsyat itu, aku hanya berharap semoga kemenangan dipihak orang baik. Tiba-tiba Ibu melirik Pangeran Joe dan menggenggamkan kalung yang berada di lehernya, itulah kalung yang diberikan ratu Sabiru, untuk melindungi Ibu dan menghilang dari dunianya. Ibu meneteskan air mata, langsung memutuskan kalung segitiga biru dari lehernya dan melemparnya ke arah tongkat sihir pangeran Joe, yang mana permata segitiga biru berhenti di hadapan serangan Nenek Buroe dan mengeluarkan cahaya birunya yang dahsyah. Serangan Nenek Buroe terpantul balik ke arahnya, seketika Nenek Buroe menjerit dan berubah menjadi abu hitam, lenyap dari gulungan daun ajaib.

Cahaya biru telah hilang, sihiran lenyap meresap di alam, suasana begitu sunyi, semuanya terdiam, tidak ada yang bergerak, tidak ada yang berbicara, kelopak mata tertutup, bayangan telah pergi, halusinasi merengut jiwa abadi, hidup di dunia baru dengan air mata keberanian, yang tumpah karena rasa pahit.

Semua seperti mimpi, seperti angan-angan jemarimu yang kau genggam erat bersamaku, semua adalah perjuangan, perjuangan yang begitu berat dan lelah, aku menahan rasa sakit, aku merangkul beban pedih dan derita, deritamu menyadarkanku akan tangisan hati yang tertahan, kebohongan besarku adalah menahan rasa rindu.

Melihat mereka tiada dalam satu detik saja, aku menangis sekuat tenaga. Mereka terbaring lemas di hadapanku dalam hujan dan petir, menguatkan suasana kematian yang pedih dan derita. Mereka berkorban untukku atas kepercayaan mereka.

Aku melihat sisi baik pangeran Joe, yang menunjukkan keberaniannya dalam membelaku, walau yang dilakukannya hanya untuk dirinya sendiri tapi, aku percaya dia melakukannya untukku. Aku tahu bagaimana Moin-Moin ragu akan kebenaran, namun semua itu atas kendalinya penyihir, sayangnya aku pernah mencintainya.

Dan ... cinta yang hilang telah muncul dari sekian lama kesepianku. Saat aku dapat melihat raut wajah indahmu, aku mampu tersenyum, sangat disayangkan wajah indah ini adalah sosok pahlawan yang berkorban demi buah cintanya, rela mati dalam kepahitan dan pedisnya bara api, agar buah cintanya hidup bagai bunga mekar pada musim semi.

Dalam tangisan beratku, aku terus mencium tangan dingin ibuku, tangan sedingin es dan wajah pucatnya yang cantik tak meninggalkan kerutan kecil sedikit pun. Saat aku mulai mencium kening Ibu dengan air mata terakhirku yang menetes tulus atas kepergian mereka semuanya, aku telah rela akan takdir yang pahit dan hikmah yang hambar.

***

Seketika aku mendengar burung berkicau bahagia seperti kicauannya di pagi hari, aku menatap langit dan ternyata langit yang mendung dan petir tergantikan oleh sinar surya yang hangat dan birunya langit pembawa kabar gembira.

Tiba-tiba sentuhan halus di pundakku mengelus pelan, ternyata sentuhan itu adalah elusan tangan Ibu, yang telah membuka matanya. Tidak mungkin, aku pasti bermimpi.

"I... Ibu!" ucapku tak percaya, untuk pertama kalinya aku memanggil Ibu.

"Anakku, Stefan," ucapnya pelan.

Tidak tidak tidak, tidak mungkin ....

"Ibu, kau hidup dan bagaimana ..." (putus). Telunjuk Ibu menurup mulutku, matanya berbinar-binar, senyumanya lebih manis dari madu.

Aku telah melihat bagaimana Ibu menunjukkan kasih sayang, air mataku mengalir bagai hujan di pagi hari, aku membalas senyumannya, walau hanya terliahat seperti lumpur kering.

"Ibu, ada banyak hal yang ingin aku bicarakan bersamamu, dan aku ingin meluangkan waktu lebih banyak untuk mendengarkan ceritamu. Heks ... heks ... heks ... Ibu ... aku sangat bahagia, karena aku selalu yakin bahwa aku pasti punya seorang Ibu yang melahirkanku, dan itulah engkau Ibu. Ibu bicaralah padaku, sesuatu yang kita lakukan nanti dan esok, membuat gubuk kecil, memasak hidangan kesukaan, atau bercerita sepangjang waktu. Katakan Bu, tolong jangan diam!"

Aku telah menumpahkan hujan rindu, rindu yang begitu dalam dari lubuk penderitaan, aku mencoba memberi seribu alasan bahagia, hal itu kulakukan untuk membuatmu berbicara, katakan padaku!

Senyuman Ibu semakin lebar setelah mendengar ngeluhan rinduku, air matanya bukan hanya menimbulkan rasa bahagia, namun aku merasa ada yang aneh dari air mata dan sunyuman itu, aku melihat dari kecilnya kening yang dikerutkan, Ibu mulai menghela nafas.

"Anakku sayang, dengarkan Ibu. Selama Ibu hidup, tidak seharipun Ibu merasa tenang, Ibu selalu mengawatirkanmu. Seperti yang kau katakan, ingin sekali Ibu mewujudkannya, bagaimana hidup yang sebenarnya, merasakan cinta dan belas kasih sayang. Hh, Stefan, kali ini Ibu tidak akan menangis tetapi Ibu sangat bahagia. Karena itulah Ibu ingin kau membuat Ibu bahagia," harap Ibu.

"Tentu saja, itulah yang aku inginkan, ayo kit..." (putus).

"Stefan, berjanjilah untuk melakukan apa yang Ibu perintahkan!" Ibu memberikan jari kelingkingnya.

"Pasti Bu, aku janji akan menuruti perintahmu." Aku mengikatkan janji itu dengan penuh kebahagian.

"Hiduplah! Ibu ingin kau hidup bagaimanapun caranya, rasakan masa hidupmu yang sebenarnya, tidak ada seorang pun yang boleh membuatmu sedih, tidak ada seorang pun yang membuatmu merasa berbeda, kau bukan kutukan, kau adalah seorang pangeran yang pemberani, Pangeran Buth Stefan. Sekarang kau di juluki sebagai 'Pangeran Penempuh Masa'.

Ambillah mutiara segitiga biru yang tedampar di samping pangeran Joe, mutiara itu bukan hanya memberiku pelindungan, namun kekuatan terakhirnya adalah menghidupkan seorang berdarah biru, maka dari itu permintaanku adalah hidupkanlah dirimu dalam tubuhnya dan jadilah manusia yang berkembang dan tumbuh.

Untuk seseorang yang istimewa dalam hidupmu, gadis kecil itu, Ibu merestui kalian, jangan bertanya bagaimana, karena aku tahu akhir dari kisahmu." Ibu mengatakan itu semua dan beberapa kata tidak dapat kupahami.

"Ibu, kau tahu kondisiku tidak dapat bertanya, namun aku sungguh tidak mengerti dari ucapanmu itu," ucapku bingung.

"Sudah saatnya Ibu pergi menyusul ayahmu, cinta pertama Ibu yang tidak dapat kami rasakan hingga menua."

"Ibu jangan katakan itu, aku ... heks ..." Aku mengerti dari ucapan Ibu yang ingin meninggalkanku.

"Anakku sayang, Ibu sama seperti penyihir itu, hidup berdua sejak lahir dan mati pun harus sama. Jangan bersedih sayang, kau sudah berjanji pada Ibu untuk melakukannya, maka lakukanlah perintah Ibu, heks ... heks ... dusta terbesar Ibu adalah menahan rasa rindu padamu. Ibu menyayangimu anakku, karena itu Ibu mohon padamu, hiduplah! Jangan berhenti di tengah penderitan, hadapi dan ingat kataku untuk terus hidup bagaimanapun caramu menghi ... dupkan ... nya ... hiduplah ...." nafas terakhir Ibu sampai pada kata hiduplah.

"Tidak ... tidak ... tidak ...!! aaaa ... Ibu ..., kenapa? Kenapa Ibu? Aaaaaaa ...."

Begitulah rasa sakit kehilangan, Ibu telah hidup untuk pergi, Ibu terbangun untuk mengatakan selamat tinggal, hingga aku lupa tidak bertanya, bahkan untuk satu kata tanya, aku juga harus menyusul mereka semua di ambang kematian.

Tidak, janji adalah kunci, bagaimana aku bisa kehilangan kunci bila aku sudah berjanji. Tubuhku dan Ibu akan menghilang seperti gulungan asap yang memudar, namun yang terusik dari pikiranku adalah kata ibu 'Hiduplah!' maka dari itu aku harus berjuang untuk hidup.

Langkah selangkah gerakan yang memudar, aku harus menggapai mutiara segitiga biru, seperti yang Ibu harapakan padaku untuk hidup, maka aku akan hidup. Sentuhan tanganku pada kalung segitiga biru, memberikan cahaya yang dahsyat hingga aku merasa tertidur dalam gelap dan lelah, aku membuka kedua mataku dan ternyata, aku tidak lagi Schnee-J, tapi aku dalam tubuh Pangeran Joe yang akan tumbuh dan berkembang seperti manusia, bukan 5 musim yang hilang ataupun kutukan yang pembawa nasib buruk. Tapi, bagiku aku tetaplah Buth Stefan, Pangeran dari masa depan.

Jasad Ibu telah di bawa daun ajaib, menghembus awan putih. Apa yang bisa aku lakukan selain meratapi dan mencoba mengikhlaskannya. Ibu, seperti yang Ibu inginkan telah ku lakukan, maka apa maksud dari kata-katamu merestui aku dan Moin-Moin? Bagaimana aku bisa melakukannya? Melihat tubuh Moin-Moin yang tak berdaya, hatiku hancur. Tidak ada harapan cinta antara aku dan Moin-Moin, jadi katakan padaku apa yang harus kulakukan untuk menepati janjiku pada Ibu?

Aku menitikkan air mata lagi, untuk apa aku hidup sendiri? Ibu ... katakan padaku, apa yang harus kulakakukan? Kenapa kau tidak tinggal beramaku beberapa hari saja Ibu? Heks ... heks ...

Aku melihat botol yang ku isikan mata air dari ratu Sabiru, di atas tanah saat tubuh Schnee-J menghilang, sekarang aku mengerti mengapa Ibu berkata dia tahu akhir dari kisahku, air ajaib ini untuk menghidupkan Moin-Moin dan menjauhkannya dari pengaruh jahat. Aku harus mencoba menghidupkan Moin-Moin.

Aku menuangkan air ajaib itu ke dalam mulut Moin-Moin, lama ku tunggu Moin-Moin belum membuka matanya. Aku rasa ini tidak akan berhasil, tidak ada gunanya, aku ....

"Si... sipa kau?"

Aku mendengar Moin-Moin mulai berbicara, aku sangat bahagia dan memelukknya.

"Moin-Moin, apa kau baik-baik saja?" tanyaku. Sepertinya Moin-Moin terus memejamkan matanya dan tidak mengenaliku sama sekali, ekspesinya juga takut, persis seperti Moin-Moin yang dulu saat aku sebuah kutukan.

"Kau siapa?" tanyanya lagi.

"Aku ... Pangeran Buth Stefan, tapi kau boleh memanggilku Joe." Aku yakin Moin-Moin yang dulu pasti tidak ingin berteman dan takut padaku, haruskah aku pergi dan hanya perlu memantaunya dari arah jauh?

"Tunggu jangan pergi!" Moin-Moin menghentikanku. "Bawa aku bersamamu," ucapnya ambil tersenyum lebar.

Aku bahagia mendengar kata-kata itu, dan aku telah menepati janjiku, saatnya aku menyamar sebagai Pangeran Joe dan tinggal di Istana, namun sebelum itu aku harus mengungkapkan kebenaran tentang anak penyihir itu, ibu tiri pangeran Joe agar dia mendapatkan hukumannya, aku melakukannya demi rasa hormatku pada keberanian Pangeran Joe.

Esok dan esoknya lagi hingga seterusnya, aku dan Moin-Moin hidup selayaknya manusia normal, rasanya aku bermimpi selama jutaan tahun dari masa kecilku.

***