Chereads / The Prince of Curse / Chapter 2 - Lavender

Chapter 2 - Lavender

{Bunga Lavender}

Sepertinya sepi, mungkin nenek itu sedang keluar. Huh, lebih baik aku menunggunya di sana.

Aku pergi ke arah batu besar di pinggir sungai. Saat aku berbelok ke arah batu itu, Moin-Moin ada di sana.

"Aaaa! Si... siapa kau?" tanya Moin-Moin panik. Dia melihatku seperti melihat iblis. Di memang manis, tapi tingkahnya menjengkelkan.

"Hi!" sapaku, mencoba untuk lebih akrab. Meskipun dia menjengkelkan, tapi tanpanya mungkin aku bukan kutukan yang baik, aku bukan kutukan yang memiliki perasaan, aku bukan kutukan yang bisa membaca, aku bukan kutukan yang bisa mengerti, aku bukan kutukan yang merasa hidup dan tanpanya mungkin aku tidak ada.

"Pergi!" jerit Moin-Moin.

"Tenanglah, aku hanya ingin berteman denganmu."

Moin-Moin terdiam dan berhenti ketakutan. Moin-Moin menggelengkan kepalanya, dia mengedipkan kelopak matanya dan langsung terlihat berbeda.

"Kau ingin berteman denganku? Baiklah, aku Moin-Moin!" ucapnya lebih berani. Sesuatu yang aneh terjadi, apa ini reaksi dari bola ajaib yang dimakannya. "Kenapa, kau berubah pikiran?" tanyanya.

"Ah ia, aku Kut ... Violet. Aku Violet." Aku hampir lupa dengan nama tubuh manusiaku.

"Nama yang bagus." Senyumnya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Moin-Moin?

"Entahlah, aku hanya memandang ikan yang lezat di sungai." Sepertinya dia lapar.

"Kau tahu hal yang ingin aku lakukan saat melihat sungai dan ikan, menagkapnya. Mau lakukan?" Aku ingin sekali melakukannya, saat aku di hati Moin-Moin, aku hanya melihatnya di tv, orang menangkap ikan.

"Aku rasa itu sedikit sulit, mungkin sangat sulit. Bagaimana cara melakukannya?"

"Lihat saja aku," kataku sambil menyemburkan diri ke sungai. Aku menangkap ikan-ikan yang lewat, Moin-Moin mengikuti caraku, ternyata ini menyenangkan. Kami menikmatinya dan tertawa lebar, untuk pertama kalinya aku melihat Moin-Moin tertawa bahagia.

Setelah menangkap ikan, kami membawanya ke rumah nenek itu. Kata Moin-Moin sekarang dia tinggal bersama nenek itu, dia memanggilnya nenek Buroe, nama yang kuno.

"Nenek... aku membawa ikan, tolong masak yang enak ya, Nek! Oh ia, dia adalah temanku Violet, dia yang membantuku menagkap ikan." Aku yang menagkap ikan itu sendiri.

"Baik, jangan lupa makan dulu telur rebus di atas meja, itu akan membatu perutmu yang kosong," suruh Nenek Buroe.

Moin-Moin membuka cangrang telur untukku dan kami memakannya. Tiba-tiba Nenek Buroe melirikku tajam dan mendekatiku.

"Kau masih hidup?" tanyanya heran.

Apa maksudnya aku masih hidup, apa telur ini beracun? Tapi, Moin-Moin juga memakannya, dia baik-baik saja.

"Apa maksud Nenek?" tanya Moin-Moin.

"Tidak ada, aku hanya melihat sesorang yang kukenal di sini." Nenek Buroe tersenyum lebar.

"Nenek kenal Violet?" tanya Moin-Moin lagi.

"Aku tidak yakin dengan Violet, tapi aku yakin dari bau yang menusuk hidungku. Sesuatu yang ku coba untuk melenyapkannya dari bumi, tapi dia kembali," ucap Nenek Buroe geram.

Tidak, seharusnya aku berhati-hati. Sekarang dia tahu bahwa aku kutukan dalam tubuh manusia. Dia akan melenyapkanku lagi. Aku harus pergi dari sini, tapi ... bagaimana dengan misi itu, bagaimana dengan Moin-Moin?

"Nenek, Violet temanku. Jangan coba menyakitinya!" tegas Moin-Moin.

"Oh, anak yang manis. Siapa bilang aku akan menyakitinya, bukankah aku tidak terlihat jahat?" mencoba meyakinkan Moin-Moin.

"Nenek, bisakah kau berjanji untuk tidak menyakiti temanku!" harap Moin-Moin.

"Aku berjanji, tapi jangan salahkan aku bila temanmu pergi tanpa pamit." Nenek Buroe pergi dan mulai memasak ikan sambil mengerutkan keningnya.

Selesai makan, hari sudah gelap. Para burung pulang ke sarangnya sambil bersorak ria. Tidak manusia, hewan pun senang kembali ke rumah mereka, apa yang dirindukan?

"Violet, di mana rumahmu? Pulanglah, nanti orangtuamu cemas!" ucap Moin-Moin menunduk.

Sekarang aku tahu, orangtua. Itulah yang mereka rindukan. Tapi, rindu itu bukan untuk Moin-Moin maupun aku. Aku ingin bilang 'tidak' pada Moin-Moin, tapi aku merasa tidak nyaman bersama penyihir itu. Mungkin saja dia mengkianati Moin-Moin, menyerangku di tengah malam, lebih baik aku pergi.

"Baiklah, aku pulang. Besok aku kemari," ucapku, lalu pergi.

Entah kemana aku pergi, semua tanpak asing dan menakutkan. Aku menyebrangi sungai, masuk ke hutan. Sendirian di hutan yang gelap dan dinginnya udara, menghembuskan tulang rusukku. Aku duduk di bawah pohon mangga dan memeluk kakiku yang sedingin es, aku menunduk dan mencoba untuk mengabaikan suara-suara jangkrik yang menangis.

Begitulah jangkrik, mereka menangis di saat orangtua mereka ada bersama mereka. Andai saja Moin-Moin punya orangtua, aku turut bergembira untuknya. Tapi, Moin-Moin kesepian seperti yang aku rasakan saat ini, bahkan dalam waktu yang cukup lama. Dia menagis kesekian ribu kalinya, dan bukan aku yang tidak tahu cara menangis. Aku hanyalah kutukan dan tetap kutukan, tubuh manusia ini hanyalah tipuan, bagaimanapun orang mendangkal aku hanyalah kutukan... aku kutukan... aku hanya kutukan dan tetap kutukan, heks ... heks ... heks .... sekarang aku menangis untuk pertama kalinya, bukan karena orangtua, tapi karena aku hanyalah kutukan.

***

Rasanya geli, sepertinya guguran daun jatuh ke wajahku. Aku membuka mataku perlahan dari tidur yang begitu nyenyak.

"Aaaa..." aku menjerit. Ternyata seekor tupai mencium pipiku, menjijikkan.

Tupai itu naik ke pohon dan menatapku lama. Sekarang aku merasa di awasi oleh seekor tupai, tapi sayangnya aku tidak percaya dengan seekor tupai ajaib atapun tupai pintar. Semuanya sama, tupai penjilat. Air liurnya sangat bau, aku harus membasuh muka.

Aku pergi ke sungai dan membasuh wajahku, aku melihat pakaianku yang kotor karena tanah basah yang ku tiduri. Kalau kuingat, pakaian ini kudapatkan saat aku sudah ada di tubuhnya, baju putih, rok ungu dan sepatu kaca. Kalau begitu, aku harus pergi ke tempat semula dan meminta pakaian baru pada daun ajaib itu.

Seketika sehelai daun jatuh dan memunculkan huruf seperti kemarin. "Aku selalu ada di mana kau berada. Kau tidak akan memakai pakaian baru, tapi berendamlah dalam sungai selama 15 menit, pakaianmu akan bersih seperti baru." Begitukah, memang akan bersih kalau berendam selama 15 menit, tapi aku basah kuyup, siapa yang merasa kedinginan, aku juga kan? Dasar daun, dari kemarin kata-katanya tidak pernah masuk akal.

Aku lakukan juga perintahnya, berendam diri selama 15 menit dengan ikan-ikan yang memandangku rendah.

"Apa yang kau lihat?" Ikan itu memonyongkan mulutnya, dia sengaja mengejekku.

"Berani sekali kau mengejekku, dasar makhluk laut jelek!" aku membalasnya. Tapi dia terus mengejekku, tidak berperasaan.

15 menit, benarkah sudah 15 menit? Aku bahkan tidak punya jam, dari mana aku tahu? Ah, daun penipu. Lebih baik aku pergi menemui Moin-Moin, Moin-Moin adalah orang yang aku rindukan.

Dari jauh aku melihat Moin-Moin yang sedang bermain balon, sepertinya seru.

"Hai, Moin-Moin!" sapaku sambil berlari menemuinya.

"Hai, Violet!" balasnya. "Wah Violet, sepertinya kau punya banyak baju yang sama," ucap Moin-Moin sambil melirik bajuku.

"Ah tidak, baju ini masih bas ..."(putus)

Kok kering? Aku memegang setiap sudut baju, tidak ada yang basah. Ini aneh, jadi inikah yang dimaksud oleh daun itu, tidak buruk.

"Kenapa?" tanya Moin-Moin.

"Haha, tidak ada. Aku hanya penasaran, seperti apa cara kau membuat balon," kataku mengalihkan.

"Oh ... mudah saja. Pertama, pegang tangkai kayu ini seperti ini, lalu masukkan dia seperti ini dan bawak dia seperti ini." Cukup bagus penjelasannya, hanya 'seperti ini'.

Biar aku coba. Mula-mula, genggam ujung kayu dengan tangan kanan, kemudian masukkan dia ke dalam sabun, lalu tarik kembali dan bawa dia ke udara dengan hembusan angin, maka balon-balon keluar dari lubang-lubang kayu. Wah ... sangat kuno. Aku melihatnya di tv tidak seperti ini.

"Bagaimana, menyenangkan bukan?" tanya Moin-Moin.

"Ia, tapi sedikit membosankan," jawabku dengan jujur.

"Kau tidak suka?" tanya Moin-Moin sedih.

"Aku tidak bilang begitu, aku ... wah, lihatlah para balon yang indah itu, mereka mengajak para serangga tertawa. Lihat-lihat, monyet di sana bersiul, hahaha ..."

"Kata-katamu jelek," sindir Moin-Moin.

Aku terdiam dan sedikit bersalah,

"Violet, kau mau es krim?" tanya Moin-Moin mulai senang dengan kata es krim, dia memang anak-anak. Es krim bisa merubah suasana hati seorang anak, itulah yang aku baca di selebriti tv di rumah bibi Moin-Moin.

"Tentu."

Kami pun pergi membeli es krim, tampak dia senang aku bersamanya, mungkin dia lebih mengganggapku seorang kakak daripada teman.

Sampai di kedai es, aku lupa kalau ada manusia yang membeli dan ada manusia yang membayar.

"Moin-Moin, kita tidak punya uang, ayo pergi!" paksaku.

"Tenanglah, nenek Buroe punya banyak uang, dia memberiku sedikit," jawabnya santai. Tukang pamer, uang yang di dapatkan penyihir itu pasti dari sihirnya.

Selesai memakan es krim, rasanya aku ingin muntah. Aku rasa pengawetnya terlalu banyak, sejak aku jadi manusia, aku hanya memakan ikan segar dan telur. Mungkin lebih baik aku terus tersegel di hati Moin-Moin, karena aku tidak pernah lapar.

"Moin-Moin, ayo pulang!" ajakku sambil pergi.

"Eh, tunggu!" Ikutnya.

Moin-Moin berjalan dengan hati yang gembira, dia merasa puas setelah menjilat 5 corong es krim. Dia terus berjalan sambil bernyanyi, saat dia melihat batu besar di hadapannya dia berlari menaikinya.

"Moin-Moin, jangan ke sana!" Aku mulai panik.

"Wah ... Violet! Violet, kemarilah! Lihatlah di bawah bukit itu, bunganya sangat indah," ucap Moin-Moin dengan mata berbinar. Aku mengikutinya.

"Waw ... benar, sepertinya tempat ini penuh dengan rahasia."

"Ayo kita ke sana!" ajaknya.

"Emm."

Kami berlari menuju tempat yang di penuhi dengan bunga lavender. Keindahannya terpancarkan oleh tabir surya, angin sepoi-sepoi menghaluskan suasana, memberikan sejuta rasa sejuk dan nyaman.

Wah ... keren. Lebih dekat, lebih indah. Aku melekungkan setangkai bunga lavender dan menaruhnya di rambutku seperti mahkota.

"Itu sangat cantik, itu adalah mahkota tercantik yang pernah ku lihat," puji Moin-Moin dan berlari menghampiriku. Aku benar-benar tersipu dengan kalimat Moin-Moin, pujian terindah.

"Ah, tidak juga ..." (putus)

Tidak, Moin-Moin melewatiku. Kalimat pujian itu bukan untukku (menoleh kebelakang). Tapi, untuk Nenek Buroe. Nenek Buroe datang dengan mahkota asli di kepalanya. Moin-Moin menghampirinya dengan penuh rasa senang, hingga rambutnya terayun-ayun.

Aku hendak melangkah mengahampiri mereka, namun ... tubuhku seketika menghilang dari mereka. Aku tidak tahu kenapa aku menghilang, bahkan aku belum sempat berpamitan dengan Moin-Moin, yang aku lihat hanyalah senyuman Nenek Buroe yang melebar.

***