Chereads / Tangisan Rindu / Chapter 29 - Kedatangan Amzar

Chapter 29 - Kedatangan Amzar

Jas hitam tadi sudah kami berikan kepada polisi sebagai barang bukti. Ketika aku dan Alif sampai pun, ayah Ayssa sedari tadi sudah ada di sana. Beliau sangat berterima kasih sekali pada kami karena telah menemukan jas hitam milik Hamzah.

Matanya begitu sembab. Sama seperti  ayssa. Kedua ayah dan anak ini terlihat sangat menyayangi Hamzah. Apalagi ketika melihat jas itu, ayah Ayssa seketika memeluknya lalu menemui polisi untuk mengusutnya lebih cepat lagi.

Kami tak bisa berlama-lama di sana. Segera kami meminta pamit pulang lalu memasuki mobil. Sementara itu, Ayssa masih terduduk lemas di sini. Dia tak mengucapkan apa pun selain nama kakaknya yang keluar dari mulutnya.

Mobil kembali maju, kami memutuskan pulang saja ke rumah. Apalagi melihat kondisi Ayssa saat ini, dia perlu istirahat banyak.

Hujan tiba-tiba mengguyur kota Bogor dengan deras. Hawa dingin seketika menyusup ke dalam tulang. Meskipun kaca mobil sudah ditutup, tapi hawanya masih terasa.

Aku memperhatikan Ayssa. Wajahnya menghadap ke jalanan dengan kondisi yang tak bergerak sedikit pun. Aku sempat khawatir melihat kondisinya seperti ini. Aku takut jika Hamzah tak segera ditemukan, keadaan Ayssa akan semakin memburuk.

Sementara itu ketika di perjalanan, mobil yang dikendarai Alif tiba-tiba mogok. Untung saja sedari tadi Alif mengendarainya tak terlalu di tengah jalan. Walau aku sempat kesal, tapi apa boleh buat? Semarah apa pun aku, tak akan membuat mesin mobilnya kembali menyala.

Tak ada bengkel di sekitar sini. Pun hujannya masih deras. Aku dan Alif memutuskan untuk memeriksanya nanti ketika hujan mulai mereda. Sementara itu yang kami lakukan saat ini hanyalah diam sambil menikmati suara hujan.

Entah sengaja atau tak sengaja, ternyata mobil kami berhenti di depan apotek yang sering bibi kunjungi.

Aku jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu, di mana dalam kondisi hujan bibi membopong Hamzah yang basah kuyup. Tubuhnya tampak lemas dan bibirnya pucat.

Tak hanya itu, aku juga jadi ingat hal-hal yang pernah aku lalui dengan Hamzah. Mulai dari pertama kali bertemu di bandara saat itu, ketika bersama Abah, kejadian di dapur, sampai terakhir kemarin saat Hamzah pingsan.

Rasanya baru kemarin kami bertemu. Aku masih tak menyangka kondisi Hamzah akan se tragis itu. Apakah benar darah yang ada di jas hitam miliknya itu benar darah milik Hamzah?

Aku masih tak mengerti. Bagaimana dan mengapa semua itu bisa terjadi.

Aku melihat Alif tampak murung. Dia tak banyak bicara apalagi sejak melihat jas tadi. Duka tentang Hamzah memang masih melekat dalam hati. Seakan semua luka dan penderitaannya saat itu, dapat kami rasakan sampai saat ini.

Semua orang merindukan Hamzah tanpa terkecuali. Mereka ingin Hamzah segera kembali. Termasuk aku.

Semua rencana tentang pernikahan kami pun aku tunda dulu untuk beberapa waktu, Alif menyetujuinya ketika aku mengatakan itu.

Karena bagaimanapun, aku harus tetap membantu Ayssa menemukan Hamzah dalam semua kondisi. Baik masih hidup atau mungkin..., sudah mati.

Karena yang keluarga harapkan saat ini adalah, tahu di mana Hamzah berada dan segera menangkap para pelakunya.

Dan mana mungkin juga, aku membiarkan Ayssa rapuh sedangkan aku dan Alif bahagia karena akan menikah?

Sudah beberapa menit kami di sini, tapi hujan masih mengguyur kota Bogor. Tak terlalu deras seperti tadi memang, hanya saja kalau keluar baju pasti akan basah kuyup.

Tok tok tok...

Tiba-tiba terdengar suara ketukan kaca mobil tepat di sampingku. Alif seketika berbalik dan memandangku seolah bertanya, 'ada apa?' tapi aku hanya mengendikkan bahu.

Aku tak menggubrisnya, karena mungkin sosok di balik itu hanyalah orang iseng saja. Aku diam, tapi lama kelamaan suara ketukan pintunya makin keras.

Aku terpaksa membuka kaca mobilnya. Dan ketika terbuka, kudapati sesosok pria dengan baju basah di depanku.

"Mbak, maaf," dia memulai pembicaraan, "apa ada masalah dengan mobilnya?"

Aku masih memperhatikan pria ini. Tampaknya, aku belum pernah bertemu dengannya.

"Karena dari tadi saya lihat mobilnya ada di sini. Barang kali saja ada masalah, saya bisa membantunya."

Aku dan Alif saling memandang, lalu sejurusnya ia tersenyum kecil tanda mengiyakan.

"Terima kasih banyak tawarannya. Memang benar mobil kami mogok tadi. Dari awal mau periksa, tapi hujan."

"Boleh saya periksa, mbak?"

"Tapi saya takut merepotkan. Biarkan saja nanti." Jawabku.

"Tak apa mbak. Saya ikhlas kok membantunya."

Alif memutuskan keluar memperhatikan apa yang salah di mobilnya setelah didorong beramai-ramai oleh orang ke tempat yang lebih teduh. Aku hanya memperhatikan dari dalam saja. Karena tak mungkin juga aku meninggalkan Ayssa sendirian di sini.

Tak membutuhkan waktu lama, mesin mobilnya kembali menyala. Aku sangat berterima kasih pada pria itu yang sudah membantu kami. Dia pria yang baik. Ketika Alif memberi uang pun, dia enggan menerimanya.

"Nama mas nya siapa?" Tanyaku kemudian.

"Amzar mbak."

"Ohh, kalau begitu mari kita makan dulu ya mas," ajakku padanya. Karena kebetulan ada warteg di depan mobil kami.

"Oh tak usah mbak," dia tersenyum, "saya sudah kenyang."

"Lalu, apa yang harus kami lakukan untuk membayar semua hutang budi kami pada mas amzar?"

"Tak usah repot-repot mbak. Cukup panggil saya amzar saja. Tak perlu pakai 'mas'."

Sebenarnya aku heran dengan permintaan pria ini. Aku kira dia ingin sesuatu hal seperti cemilan, makanan, atau mungkin ingin diantarkan pulang.

"Ohh, baik kalau begitu. Lalu di mana rumah ma-"

"Amzar, mbak." Dia menyela ucapanku.

Aku menepuk kening, "oh iya. Maksud saya amzar."

Dia tersenyum, "tak apa."

"Di mana rumahnya? Biar kami antarkan pulang."

"Rumah saya di daerah sini, mbak. Dekat sekali tinggal masuk gang itu," dia menunjuk sebuah gang yang tak jauh dari kami berdiri, "lalu jalan sebentar, sudah sampai."

Aku menoleh sebentar pada Alif. Sebenarnya bingung mau bilang apa untuk menawarinya lagi.

"Oh em, kebetulan hujannya sudah reda," Alif seperti tahu apa maksudku, "baiklah, terima kasih banyak atas bantuannya ya. Kami tak akan pernah lupa dengan semua pertolonganmu, amzar."

Pria itu tersenyum lalu menunduk, "tak masalah, sudah sewajarnya sesama manusia saling membantu."

"Iya. Kalau begitu, kami tinggal pergi dulu ya. Sekali lagi terima kasih." ujar Alif lalu masuk ke dalam mobil.

Beberapa menit kemudian, kami telah sampai di depan rumah. Aku segera membopong Ayssa yang sangat lemas ke dalam kamar. Ketika aku membaringkannya ke atas kasur, dia bergumam kecil, "kakak, aku merindukanmu."

Melihat kondisi Ayssa yang seperti itu, bibi segera mengambil air dan tisu. Segera ia bersihkan sisa-sisa darah yang masih menempel pada telapak tangannya.

Bibi begitu cemas, matanya berkaca-kaca sambil terus mengelus lembut kepala Ayssa.

"Ya Allah, nak. Yang sabar ya kamu. Semoga Allah segera mempertemukan kalian." ucap bibi tatkala tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kami setelah pergi tadi.

Sementara itu, sambil menunggu Ayssa sadar, aku memberikan teh hangat pada Alif. Dia berterima kasih lalu meneguknya dan memegang gelas itu seolah terasa hangat dan nyaman di tangannya.

"Lalu bagaimana ini?" Bibi tiba-tiba menghampiri lalu duduk bersama kami.

"Alif juga tak tahu bi," dia meneguk lagi teh hangatnya, "apalagi melihat kondisi Ayssa yang sangat terpukul ketika melihat jas Hamzah yang penuh darah itu, dalam hati kami menyerah tak tahu harus melakukan apa lagi."

"Benar," sambungku, "sepertinya hanya ada harapan kecil untuk membawa Hamzah kembali dengan kondisi sehat. Kita juga tak tahu, dia di mana sekarang dan bagaimana kondisinya."

"Bibi juga berpikir seperti itu. Tapi entah kenapa dalam hati kecil bibi, Hamzah itu baik-baik saja."

"Aku juga merasakan hal yang sama bi," timpal Alif. "meski kita lihat kondisi jasnya yang penuh darah, itu tak selamanya memastikan kondisi yang sama juga pada Hamzah, kan? Mungkin saja mereka hanya sekadar menakut-nakuti."

"Eh, tadi aku juga berpikir seperti itu," ujarku, "mungkin saja mereka ingin menakut-nakuti kita seolah Hamzah itu dalam situasi genting."

"Tapi yang jadi permasalahannya, darah di jas itu menurut polisi tadi memang benar darah manusia. Bukan darah buatan yang sengaja dibuat," Alif menyimpan gelasnya di atas meja, "kalau kita berpikir yang sama, lalu kalau bukan Hamzah, darah siapa itu?"

Aku berpikir sejenak. "Apa mungkin darah milik kedua temannya itu? Kamu masih ingat kan saat itu Hamzah bersama dua orang pria?"

"Oh iya!"

Gebrukkk!!!

Kami semua terperanjat kaget lalu segera menghampiri sumber suara. Ternyata, suara itu berasal dari kamarku di mana Ayssa berada.

Ketika aku membuka pintu, kudapati Ayssa tengah terduduk lemas di atas lantai.

"Ayssa!" Aku segera menghampirinya.

Meskipun dia tak mengucapkan apa pun, tapi aku bisa melihat ekspresinya yang begitu ketakutan. Dahinya penuh keringat, aku yakin dia pasti mengalami mimpi buruk.

"Ayssa, sadarlah!" ujarku.

Dia masih tak bergeming. Kedua tangannya memeluk kedua kakinya yang ia tekuk kan. Napasnya tak teratur, seperti sudah lari beberapa kilo meter.

Kulihat Alif berdiri di depan pintu. Matanya berkaca-kaca lalu pergi meninggalkan kami. Sepertinya dia tak tega melihat kondisi Ayssa saat ini.

"Ayssa," aku menepuk pipinya pelan. Seketika dia menatapku lalu memelukku dengan erat.

"Reine!!!" tangisnya pecah, "a-aku takut...."

"Tenanglah. Kamu tak usah takut," aku terus mengelus punggungnya, "kami ada bersamamu."

"Benar, Ayssa. Kamu harus tabah. Kamu harus kuat." Kata bibi.

"Bibi, aku tak bisa tenang atau tidur dengan nyenyak," sejurusnya Ayssa mengatakan itu sambil terisak, "aku selalu memimpikan hal yang buruk tentang kakak."

"Itu mungkin hanya pikiranmu saja, Ayssa. Istigfar lah lalu berdoa."

"Benar," ujarku lalu merapikan jilbabnya, "kamu harus tenang ya. Hamzah pasti baik-baik saja."

Dia mengangguk pelan.

"Baiklah, lebih baik kamu minum dulu," kataku sambil menyodorkan segelas air padanya.

Dia meminumnya sedikit, setelah itu aku membopongnya untuk kembali ke kasur.

"Tidak, Rein." Dia mencegahku ketika akan membaringkannya.

"Ada apa? Apa, kamu membutuhkan sesuatu?"

"Aku ingin salat. Aku ingin menenangkan hatiku. Antarkan aku ke kamar mandi ya."

Aku dan bibi saling memandang sesaat, lalu tersungging segaris senyuman di bibir bibi.

"Baiklah, akan kuantar." Aku segera membopongnya ke kamar mandi.