Sejenak ia ceritakan semua apa yang terjadi selama ini, ku rasa ia jujur kali ini, wajah yang penuh penyesalan itu terlihat begitu mengemasakan.
Walau pun ia sebegitu serius saat membicarakan hal ini, aku tak bisa menahan senyum diwajahku, aku sungguh bodoh kalau menyangkut hal ini.
"jadi kamu membuat (mengerjakan) pekerjaan yang seharusnya tak kamu kerjakan menjadi pekerjaan mu?"
Ia Cuma menganguk lemah sembari beberapa kali meminta maaf padaku, entah untuk apa ia meminta maaf padaku?
Aku tak tau apa yang telah tejadi ditempat kerjanya, namun dari perkataan nya ini aku yakin ini sangat serius, mungkin saja ia tak begitu suka kalau para bawahannya membuang-buang waktu kerja untuk hal-hal lain.
Huh...
Mungkin ini sebabnya penyakit nya kambuh, dan tentu saja ia lalai akan penyakit yang ia derita ini.
Aku tak menyalahkannya dan aku juga tak bisa menyalahkan bawahnya, karena aku tak tau tentang ini.
jadi, aku tak begitu bisa menyimpulkan perkara ini, sebab aku tak tau mana yang benar.
"Seharusnya kamu tak melakukan itu, Ketika mereka terlambat dari jadwal. Menurutku kamu salah bila kamu harus mengerjakan semua itu sendirian dan sesuka mu. Karena kalau kamu selalu begitu yang lain akan mulai menjadi malas dan akhirnya tak melakukan apa-apa selain menonton mu saja.
Cobalah jangan selalu bersikap lemah lembut sesekali marahi mereka dan berkata jujurlah, aku yakin itu akan membantu."
Aku cukup percaya diri mengatakan hal ini, padahal aku sama saja, aku dulu sama sepertinya, aku berbuat sesuka ku, mengambil apa yang seharusnya bukan tugas/pekerjaan ku.
Aku ingat waktu itu betapa egoisnya aku, mengerjakan tugas kelompok sendirian tanpa memperdulikan perasaan yang lain, guru selalu memujiku namun tak pernah memuji angota kelompok ku, dan akhirnya mereka perlahan-lahan membuat jarak kepada ku, dan akhirnya aku dikucilkan dari tugas-tugas yang menyangkut angota kelompok.
Aku tak ingin ia berakhir seperti ku, yang tak disukai orang karena ke'egoisan ku.
Memang benar bahwa mereka lambat dalam bekerja namun mempercayai mereka sepenuhnya adalah hal yang baik, sebab apa guna-nya mereka kalau bukan untuk bekerja.
Sejernih-jernih air kadang masih ada kotoran, sehebat nya ia masih ada kekurangan.
"Kamu memang hebat dalam hal ini, namun jika terus memaksakan diri, kamu akan kalah pada akhirnya. sebab manusia punya batasan yang tak bisa dilampaui."
Aku senang ia berkata jujur kepadaku, sebab inilah yang harus ku lakukan, yakni mendengarkan cerita dan memberi masukan kepadanya, karena aku ingin menjadi istri yang berguna untuknya.
"Huh... Kamu tak imut saat dalam mode serius."
"Hah?"
Ingin aku memukulnya, sebab ia sudah kembali ke dirinya yang asli, sungguh ini menjengkelkan buat ku,
"Jangan peluk, ini masih dirumah sakit loh."
Aku bahagia karena ia telah kembali dengan sifat nya yang menjengkelkan ini, rasanya ini tetap sama saja, yakni aku bahagia saat ia melakukannya.
Apakah aku cukup gila?
Namun...
Tetang penyakitnya ini...
Bisakah kali ini ia tak main-main.
Aku tak tau. aku dikala ini merasa bahagia atas kesembuhannya atau sebaliknya merasa sedih karena mengetahui semua-nya, Wajah yang menjengkelkan itu membuat aku menpiskan semua beberapa kemungkinan yang terjadi, Aku sudah tau bahwa setiap jalan kehidupan yang ditempuh tak kan selalu landai.
"Kerjakanlah apa yang kamu bisa, namun ketahuilah batasan diri mu sendiri."
Ania Assandra.