Chereads / 48 Hours / Chapter 3 - Terjebak

Chapter 3 - Terjebak

" Jangan pernah mengabaikan perasaanmu karena dirimu tak tau apa yang akan terjadi esok."-

•••

Suara burung berkiacu di sambut sinar sang surya tersenyum tanpa malu-malu menghiasi pagi yang cerah ini.

Alya yang pertama kali bangun pun membuka tirai jendela agar sinar matahari masuk ke dalam kamar, setelah itu ia membangunkan kedua sahabatnya.

"Mut. Bangun Mut," kata Alya membangunkan Mutia, tapi sudah tiga menit berlalu Mutia belum juga bangun. Ia menyerah tuk membangunkan Mutia lalu beralih ke Eza.

"Za.... "

"MAMA!!!" teriak Eza yang membuat Alya terjungkal ke belakang.

"Jangan teriak-teriak Za," ucap Alya kesal.

"Maaf," ucap Eza menundukan kepalanya. Alya tak tau bahwa kini Eza sedang di landa ketakutan gara-gara kejadian semalam.

"Udah aku minta tolong bangunin Mutia, aku mau masak dulu," ujar Alya lalu berjalan keluar kamar.

"Mut. Bangun Mut," ucap Eza sambil menggigit kukunya. Ia sedang ketakutan karena sedari tadi ia merasa di awasi.

"Mut...." ucap Eza panjang dengan nada putus asa.

"Hemm ... apa Za?" ucap Mutia malas.

Akhirnya Mutia bangun.

"Udah pagi Mut, keluar kamar yuk." ajak Eza. Dengan langkah gontai Mutia berjalan di belakang Eza.

•••

Setelah semua bangun mereka semua langsung tersenyum manis pada Alya. Ya karna Alya telah memasak sarapan pagi ini.

"Semalem Pita..." belum sempat Mutia melanjutkan kalimatnya Eza sudah menyela.

"Kalo makan diem Mut," ucap Eza dingin.

"Lo kenapa sih Za, aneh bangat pagi ini?" ucap Pita bingung akan sikap Eza. Biasanya jika sedang makan bersama kayak gini anak itu yang paling heboh, jadi Pita merasa aneh akan sikap Eza yang seperti ini.

"Gakpapa."

"Udah jangan debat makan aja," tengah Alya.

"Ngomong-ngomong semalem lu main piano, Na?" ujar Pita menatap Nata penuh selidik.

"Mana ada, gua langsung tidur pas itu!" sangkal Nata cepat. "Walau gua suka main piano tapi gak main piano malem-malem kali, kurang kerjaan bangat!" lanjutnya.

"Lah terus siapa yang main piano semalem?!" pekik Pita dan Hanna bersamaan.

"Kamu ngomong apa sih Ta? Semalem gak ada orang main piano," ujar Ian heran.

"Semalem ada yang nonton tv gak?" ucap Pita lagi.

"Kayaknya gak ada yang nonton tv, emang napa Ta?" ujar David.

Mendengar jawaban David, Pita langsung menatap Hanna dengan tatapan susah di artikan.

"Semalem Pita ke kamar kami kan?" tanya Mutia mengalihkan perhatian.

"Gak, gua semalem gak ke kamar kalian, emang napa?"

"Masa?! Jangan bohong kamu, jelas-jelas itu suara kamu," ucap Mutia menatap Pita berharap apa yang ia dengar adalah bohongan namun Pita menggeleng tanda bukan dia orangnya. "Kamu kan yang buka pintu Za, ada Pita gak?" ucap Mutia menatap Eza.

Eza menghembuskan nafasnya. "Gak ada Pita di depan pintu, mungkin kita berhalusinsi Mut," jawabnya pelan.

"Emang ada apa sih kalian berempat?" ucap Ian penasaran.

Lalu Eza dan Mutia menceritakan kejadian yang mereka alami semalam begitupun Pita dan Hanna.

"Mungkin kalian berhalusinasi," timpal Alya positif.

"Tapi beneran aku ndenger Pita manggil nama kita," ucap Mutia yakin.

"Mungkin karena vila lama gak di tinggalin jadi ada mahluk halusnya," ucap Eza lirih tapi masih bisa di dengar kesembilan temannya.

"Ada-ada aja lu Za, mungkin lu kebanyakan baca novel fiksi tentang mahluk halus jadinya berhalusinasi semalem," cengir Nata sedikit menyindir Eza.

"T-tapi kan yang ngerasa keanehan ini bukan cuma aku, Na!" sangkal Eza. "Kita pulang aja yuk, dari kemarin perasaan gelisah terus, kan jadi gak nyaman," ucap Eza mengusulkan tuk pulang, ia memang sudah takut dari awal masuk vila hanya saja dia mengabaikan perasaan yang mengganjal demi liburan kali ini, ia tak mau menghancurkan acara mereka yang telah di susun sejak bulan lalu.

"Yaudah pulang sendiri aja sanah," canda Haris, namun Eza menganggap perkataan Haris dengan serius.

"Yaudah mending aku pulang aja dari pada mati ketakutan di sini!" ucapnya emosi. Eza berdiri dari tempat duduknya berjalan menuju kamarnya berniat mengambil dompet dan ponselnya, masalah pakaian tinggal aja toh di rumahnya stok pakaian ada banyak.

"Dia serius?" Rey angkat bicara.

"Gua jamin dia cuma bercanda." senyum Haris.

"Kalo dia serius giaman?" Mutia menyuarakan khawatir.

•••

Ternyata Eza serius dengan perkataannya, gadis bersurai coklat itu melewati kesembilan temannya dengan raut datar yang jarang ia tunjukan.

"Za... Eza jangan gitu dong!" ucap Haris lalu mengejar Eza, sementara di situasi seperti ini Hanna masih sempat-sempatnya cemburu.

Yang lain memang tidak menyadari raut cemburu Hanna karena mereka terfokus pada Eza yang ingin pulang.

Sampainya di depan pintu utama Eza langsung membuka kunci dan memutar knop pintu namun nihil pintu tak bisa di buka.

Haris yang melihat Eza sedang mencoba membuka pintu pun mencekal tangan Eza.

"Za tadi gua bercanad doang," ucapnya.

"Pintunya kok gak bisa di buka," ucap Eza tanpa perduli perkatan Haris.

Tak lama ke delapan teman yang lain datang.

"Kirain dah minggat lu, Za." cibir Hanna dengan kedua matanya terfokus ke tangan Haris yang sedang memegang tangan Eza.

"Pintunya gak bisa di buka!" panik Eza terus memutar-mutar knop pintu, namun naas pintu masih tak bisa di buka.

"Sini biar gua aja," ucap David lalu mencoba membuka pintu dengan kunci cadangan.

Krek.. krek...

Keringat dingin bercucuran di pelipis David. "Pintunya gak bisa di buka," ucap David lebih panik dari Eza.

Kaget.

"Pintunya macet kali," sergah Ian.

"Coba kita dobrak," ucap Nata yang di sambut anggukan ke empat teman laki - lakinya.

Sudah sepuluh menit berlalu tapi pintu utama belum bisa di buka juga. Mereka pun mencoba membuka pintu keluar vila lainnya namun nihil semua pintu keluar terkunci rapat.

"Gimana ini," panik Eza dengan wajah pucatnya.

"Kenapa semua pintu ke kunci," ucap David mengacak rambutnya frustasi.

"Jadi giaman ini?" khawatir Haris. Terutama saat tau bahwa kunci yang mereka punya pun tidak bisa untuk membuka pintu.

"Hai anak-anak," suara robot mengalihkan kepanikan mereka.

"Semenjak kapan ada robot di rumah ini?" curiga Hanna.

"Dia bisa bicara?" Mutia menambahi.

"Hai perkenalkan namaku X, sang pengantar pesan ckckckck," ucap robot yang di ketahui bernama X itu terkekeh.

"Kalian pasti bingung kenapa kalian tak bisa membuka semua pintu keluar dari vila ini," ucap X yang membuat

Ke kesepuluh orang itu hanya diam mendengar perkataan X.

"Sekarang kalian sedang berada di dunia kami, di mana nyawa kalian bagai game bagi kami hahahha..." tawa X terdengar menggema dan membuat siapapun merasa seram dengan tawa jahatnya.

"Hidup itu bukan mainan, dimana orang yang mengendalika robot sialan ini! Siapa orang yang mau bermain-main dengan nyawa kami hah!!!" murka David mendekati X.

"Bagaimana bisa ponselku tak dapat sinyal?! apa yang terjadi di sini?" ucap Eza cemas.

"Ponsel tak bisa di gunakan saat ini young lady," ejek X menatap Eza. Sang empu terdiam.

"Gak perlu basa - basi langsung saja ke intinya. Bila kalian ingin keluar dari vila ini

kalian harus ...."