Chereads / 48 Hours / Chapter 8 - Jangan Pergi!

Chapter 8 - Jangan Pergi!

Ding... dong... ding... dong....

Bunyi alaram jam besar membuat semua orang yang sedang tertidur lelap terbangun dengan mata terbuka lebar seolah rasa kantuk mereka hilang tertelan bumi.

"Alaram Jam 00.00! Yang benar saja aku hampir jantungan karena alaram sialan itu!!" maki Haris lalu mengacak rambutnya.

"Kau nampak jelek jika sedang mengumpat begitu Har," ucap Hanna tak suka akan Haris yang terus mengumpat.

"Ah! Ngomong-omong dimana Eza dan Mutia?!" panik Pita saat menyadari dua temannya itu tak ada di ruang tengah, padahal mereka bedua adalah orang yang penakut jadi mustahil bila mereka pergi tanpa membangunkan seseorang.

"Benar, dimana mereka?!" ucap Hanna sambil mencari-cari kedua orang itu.

Di tengah kepanikan dan kebingungan, mereka di kejutkan dengan sebuah suara yang cukup keras dari ruang santai.

Brukkk!!...

Prang....

Suara benda jatuh dan bunyi kaca pecah pun mengundang perhatian mereka, dengan panik mereka berdelapan pun berlari ke arah suara. Sampainya di ruang santai, Alya yang kebetupan paling dekat dengan saklar lampu pun langsung menghidupkan lampu ruang santai.

Cklek.

Mereka pun di kejutkan dengan objek di depan mereka, mata mereka terbelak kaget dan ketidak percayaan terlihat jelas di wajah mereka.

Disana ada Mutia yang terlihat panik saat dengan perbuatanya sendiri dan sosok Eza yang tengah terkapar dengan pecahan kaca yang menusuk kulitnya sehingga mengeluarkan banyak darah.

Ternyata bunyi tadi berasal dari tubuh Eza yang terdorong ke cermin besar yang terpasang di dingding lalu jatuh ke lantai dengan pecahan kaca.

"MUTIA APA YANG KAU LAKUKAN!!" teriak Hanna lalu mendekati tubuh Eza yang penuh dengan darah.

"Eza.. hiks.. hiks... Eza kau mendengarku kan?" ucap Hanna tak perduli pecahan kaca yang mengenai kakinya.

"Hanna," ucap Eza pelan lalu tersenyum.

"Iya ini aku, kumohon bertahan lah," ucap Hanna dengan air mata yang membanjiri pipinya. Walaupun dulu mereka tak pernah akur tapi kini Hanna lah yang paling takut kehilangan Eza.

Solah mereka sedang menonton sebuah drama, mereka hanya diam mematung menonton adegan di depannya itu.

"Apa yang kau lakukan pada Eza, MUTIA!" ucap Rey menekankan nama Mutia. Matanya telah berkaca-kaca. Lalu Rey menggendong Eza ala bridal style  ke sebuah sofa dan Hanna yang masih setia berada di sebelah Eza.

"Kau bisa bertahankan, kau sudah berjanji padaku tuk tetap hidup," ricau Rey.

"APA YANG KAU LAKUKAN PADA EZA HAH!! JAWAB AKU!" teriak Rey pada Mutia, sementara Mutia hanya bisa terdiam sambil menyeka air matanya, lidahkanya kelu tuk menceritakaan kejadian yang sebenarnya.

"Eza hiks.. hiks.. hiks.. kumohon," ucap Hanna mencoba membersihkan pecahan kaca yang melukai Eza.

"Aku tak tau kalau yang kudorong adalah Eza, ta-tadi aku melihat seorang di depan cermin orang itu membawa pisau ja-jadi aku sangat takut d-dan mendorongnya, a-aku sungguh tak tau itu Eza hiks.. hiks," ucap Mutia terbata-bata dan tangisan di akhir kalimatnya.

"Kumohon percayalah padaku," ucap Mutia lagi sambil terus mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti, rasa takut, penyesalan dan marah pada dirinya sendiri bercampur jadi satu dalam sebuah kesedihan.

"Kanapa kau tak menghidupkan lampu?" ucap Rey curiga. "Bilang saja ku memang ingin membunuhnya kan! Jangan mengarang cerita kau, Mutia!!" hardiknya lagi.

"Pembunuh tetaplah pembunuh dan akan selalu jadi pembunuh. Seorang pembunuh? Aku bahkan tak menyangka gadis sepolos dirimu bisa membunuh dan lagi kau pandai sekali mengarang cerita, pisau? Tak ada pisau di sini." sindir Hanna tanpa menatap Mutia.

Semua orang terdiam mendengar sindiran Hanna pada Mutia.

Eza memegang tangan Hanna yang sedang membersihkan darah di pelipisnya dengan handuk halus yang Pita ambil tadi. Masih dengan senyumnya, bibirnya bergerak membentuk sebuah kaliamat tanpa suara. Hanna tak tau apa yang ingin Eza katakan tapi ini kali pertamanya melihat Eza menatapnya sedalam itu, senyum manisnya akan kah menjadi senyum terakhirnya. Sebuah senyum perpisahan? Kumohon jangan pergi ...

Suasana semakin mencekram ketika Nata angkat bicara.

"Kau tak bisa menuduhnya begitu saja Han, dan kau Rey, jangan membentak Mutia terus!" ucap Nata membela Mutia.

"Bela... bela saja Mutia terus, apa karena tampang polosnya dia tak bisa jadi pembunun?!" cibir Rey.

"Lagi pula Eza tak mati, jadi Mutia bukan pembunuh!" murka Nata namun setelah Nata berkata begitu Eza langsung menghembuskan nafas terakhirnya.

Eza mati dengan senyum yang penuh dengan darah.

Pukul 00.15 itulah waktu kematian Eza, Rey sangat terpukul tentunya mengingat mereka telah berjanji akan pergi berkencan setelah keluar dari vila, Rey juga kehilangan sosok Eza yang selalu mengisi setiap lembaran cerita hari-harinya. Sementara Hanna terus menangisi kepergia Eza.

"Kumohon Eza.. kumohon bangun lah, jangan bercanda dengan pura-pura mati," ricau Hanna lalu memeluk tubuh Eza yang tak bernyawa itu, ia tak perduli dengan darah yang mengotori bajunya asalkan Eza baik-baik saja.

"Selamat Mutia kau sekarang jadi pembunuh temanmu sendiri," tawa Hanna dalam tangisnya. "Aku takut kau juga membunuhku," lanjut Hanna lagi.

Rey menatap Mutia penuh benci. "Lihat ada seorang yang telah melanggar janji, aku tak ingin bersama lagi kita akan membagi tim sesuai perkataan X, jika anggota timku ada yang ingin meninggalkan tim aku tak perduli," ucap Rey lalu menggendong Eza ala bridal style membawa jasad Eza ke kamar terdekat ruang santai di ikuti oleh Hanna dan Alya. Sementara David merasa delima di buatanya, di sisi lain ia ingin bersama Pita namun di sisi lain ia ingin menenangkan hati sahabatanya yang tengah kacau.

Setelah merenung, akhirnya David memilih mengikuti Rey karena ia berpikir akan jadi kekacauan besar bila Rey tidak bisa menenangkan emosinya. Sementara Pita yang melihat kepergian David hanya tersenyum miris.

Ian dan Haris pun tak habis pikir dengan keputusan Alya dan Hanna yang memilih ikut dengan Rey. Apa mereka berdua benar-benar takut pada sosok Mutia? Atau memang mengikuti pembagian tim? Entah lahh tak ada yang tau dengan pemikiran orang lain.

"Mereka takut padaku, hiks.. hiks.. a-aku tak bohong, aku tak sengaja melakukanya k-karena minimnya cahaya yang masuk ke ruangan ini jadi a-aku..." ucapan Mutia terputus karena perkataan Nata.

"Aku percaya padamu," tuturnya lembut lalu mengusap puncuk kepala Mutia lebut.

"Mutia aku juga percaya padamu, mengingat minimnya cahaya yang masuk ke ruangan ini jadi kau tak melihat Eza dengan jelas, itu bukan salahmu," ucap Pita menghibur Mutia.

"Termakasih kau sudah percaya padaku," ucap Mutia terharu.

"Sudah jangan menangis," ucap Pita lalu menarik Mutia dalam pelukannya.

•••

"Kebanyakan orang lebih percaya dengan apa yang mereka lihat dari pada mendengar sebuah penjelasan."-