Chereads / 48 Hours / Chapter 9 - Perpecahan

Chapter 9 - Perpecahan

Di sisi lain Rey meletakan tubuh Eza ke kasur lalu membersihkannya dengan handuk agar tubuh tak bernyawa Eza tak terlihat begitu menyedihkan dengan darah dimana-mana. Hanna sendiri juga membantu Rey membersihkan jasad Eza meski dengan air mata yang masih mengalir, gadis itu mencoba tetap tegar menghadapi kenyataan bahwa sahabatnya itu telah tiada.

"Alya, David ambil tas piknik dan air mineral milik kita lalu bawa ke sini karena semua itu Eza yang menemukanya jadi air dan roti itu milik kita," ucap Rey dingin. Alya dan David terdiam sebentar, mereka berdua tampak memikirkan sesuatu sebelum keduanya memutuskan tuk mengikuti perkataan Rey.

"Baik!" Alya dan David bergegas pergi ke ruang tengah tuk mengambil apa yang seharusnya milik tim mereka.

"Aku tak menyakan Mutia melakukan ini pada Eza," miris Hanna sambil menatap langit-langit kamar, mencoba menahan air mata yang akan menetes dari kelopak matanya. Entah kenapa Hanna selalu ingin menangis bila sudah membahas tentang Eza atau Mutia.

"Seorang pembunuh memang terlihat baik di depan," ucap Rey dengan emosi tertahan, Hanna bisa melihat dengan jelas kilatan penuh kebencian di mata sahabatnya itu.

Hanna terdiam sebentar. "Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanyanya dengan tangan kanan mengusap kedua pipinya pelan.

"Nikmati saja waktu yang tersisa." misterius Rey. Mendengar itu Hanna pun hanya terdiam sibuk dengan pikiranya sendiri.

•••

Sementara itu di tempat lain, terlihat Alya dan David tampak canggung ketika di pergoki oleh tim Haris.

"Kalian benar-benar keterlaluan! Kalian berniat membunuh kami secara perlahan?!!" kesal Nata, raut wajahnya benar-benar buruk seperti seorang telah melempar telur busuk ke wajahnya.

"Salah satu anggota tim kalian membunuh Eza dan menuru Rey ini milik Eza, Eza sendiri tim kami jadi semua ini milik kami," ucap Alya dengan tatapan kosongnya.

"Alya, hanya satu orang yang mati dan kalian berniat membunuh kami berlima?" Ian berucap dengan nada sedih dan putus asa. Tapi bila di dengar lebih teliti, ada rasa bersalah ketika membahas kematian salah satu teman mereka itu.

"Aku tak tau." Alya menunduk menyembunyikan matanya yang sudah berkaca-kaca.

"Aku bingung dan tak bisa memilih dengan siapa aku harus ikut. Jika di pikir-pikir bukan kah hanya dua orang dalam satu tim yang boleh hidup dan keluar dari vila? Aku hanya berpikir aku tak ingin mati dan harus hidup," tutur Alya sambil menatap mata Ian dalam-dalam. "Aku tak takut hantu atau setan tapi untuk sekarang yang ku takuti adalah mati," lanjutnya.

"Rey sangat marah pada Mutia dan tim Haris akan kena imbasnya, aku takut dia akan merencanakan hal gila," tutur David.

"Lalu kita harus bagai mana?" sela Pita frustasi.

"Lucu sekali, persahabatan kita hancur karena sebuah kesalah pahaman," tawa Haris miris. Padahal rasanya baru kemarin mereka saling bercanda tawa bersama, tapi kenapa sekarang semuanya jadi seperti ini..

"Kalian tau betul tabit Rey, dia hanya percaya dengan apa yang ia lihat dari pada mendengar sebuah penjelasan," tutur David lalu mengacak rambutnya frustasi.

"Setidaknya bagi lah makanan dan minuman yang kalian bawa itu," mohon Pita sambil menyatukan kedua tepak tangannya membentuk sebuah permohonan, matanya berkaca-kaca membuat David tidak tega melihatnya.

"Tapi bagaimana bila Rey marah besar?" Alya nampak ragu, dalam otak cerdasnya membayangkan banyak kemungkinan bila sosok Rey marah.

"Katakan saja padanya bahwa saat kalian datang hanya tinggal segini sisanya," ucap Ian memberi ide.

"Ahh, benar!" ucap Alya senang.

"Tapi Rey pasti akan menuduh kalian yang terlebih dulu mencuri persediaan minuman dan makanan." David menyela tidak setuju, ia tak mau membuat Rey marah karena pria itu pasti akan berbuat hal gila bahkan kemungkinan membunuh pun akan terjadi.

"Katakan saja mana mungkin mereka mencuri, jika tim Haris mencuri pasti semuanya telah di ambil," ujar Ian lagi. Ya lagi-lagi ide Ian menjadi jalan tengah. Meski jika di pikirkan lebih dalam alasan yang Ian sarankan terdengar tidak masuk akal.

"Benar juga," kata David dengan senyum. Lalu Alya dan David pun sepakat tuk membagi air dan roti milik tim mereka dengan tim Haris.

Tanpa mereka sadari seorang tengah menguping pembicaraan mereka dengan tangan yang terkepal kuat hingga buku-buku tanganya memutih.

"Penghianat! Tapi biarlah.." ucap sang penguping yang tak lain adalah Rey, pria itu memutuskan menyusul Alya dan David karena mereka berdua sangat lama kembali ke kamar tapi siapa sangka ia akan melihat hal seperti itu.

Rey berbalik dan berjalan tanpa suara menuju kamar dengan aura hitam yang mengelilinginya.

•••

Sampainya di kamar David dan Alya telah di tunggu oleh Rey dan Hanna.

"Kalian lama sekali, aku bahkan sempat berpikir kalian menghianati kami, " ucap Hanna sambil mengobati telapak kakinya yang terkena pecahan kaca tadi. "Tapi kami beruntung ternyata itu hanya pemikiran negatif milik kami," lanjut Hanna dengan senyum lebar.

Ya, Hanna tau dari Rey bahwa David dan Alya telah membagi air dan roti mereka. Di sisi lain Hanna marah tapi di sisi lain Hanna menyetujui tindakan Alya dan David. Beruntung Rey tidak mempermasalahkan perihal persediaan mereka atau melakukan hal gila lainnya sehingga Hanna bisa tenang.

Sebenarnya David dan Alya mengikuti Rey karena mereka takut Rey melakukan hal gila yang tak pernah mereka pikirkan jadi mereka menjadi posisi tengah di antara tim Rey dan Haris. Mungkin ini terkesan egois seperti David dan Alya yang  berkhianat pada Rey tapi mereka hanya ingin melindungi orang yang mereka sayangi.

Sejujurnya David dan Alya juga marah ketika Mutia dengan cerobohnya mendorong Eza. Andai saja Mutia menyalakan lampu mungkin hal itu tak akan terjadi, andai saja Mutia tak terlalu takut hingga ia berhalusinasi mungkin Eza tak akan mati dan mereka masih bersama.

Tapi itu hanyalah sebuah angan-angan semata, tak ada yang bisa di rubah lagi. Sesuatu yang telah terjadi tak mungkin bisa di ulang dan di perbaiki lagi, mereka hanya bisa menerima dan menjalani sebuah jalan cerita yang tak bisa menengok ke belakang lagi.

Terkesan menyedihkan, sangat menyedihkan. Rencana liburan mereka malahan hancur begitu saja. Sebuah liburan kematian di mana mereka harus terjebak di vila terkutuk ini.

Hahahaha... bolehkah mereka tertawa layaknya orang gila karena kejadian demi kejadian yang telah mereka alami?

Di keheningan mereka semua tak menyadai seorang dengan jubah hitam terenyum manis ke arah jasad Eza dari balik jendela yang kebetulan tak tertutup tirai itu.

"Kau yang pertama," ucap seorang berjubah dingin.

•••

"Sebuah hubungan tak selalu bisa bertahan sesuai yang kita inginkan."-