Chereads / 48 Hours / Chapter 5 - Bersama Itu...

Chapter 5 - Bersama Itu...

"Kebersamaan itu seperti putih dan hitam. Bersama itu indah. Bersama itu mematikan, jadi kebersamaan manakah yang akan terjadi?"-

•••

Perdebatan panjanga telah menghabiskan waktu 3 jam sehingga waktu yang mereka punya tinggal 45 jam. Namun pada akhirnya mereka memutuskan tuk bersama.

Mereka telah berjanji satu sama lain tuk tidak melukai atau lebih parahnya membunuh temannya sendiri.

Tapi....

Janji? Masih percayakan kata Janji untuk saat-saat seperti

ini??

Bersama? Bisakah mereka selalu bersama dengan keadaan

begini??

Percaya? Masihkah mereka kan saling percaya bila melihat apa yang terjadi nantinya??

Kesetiaan? Masih kah mereka setia bila mereka juga sedang dalam bahaya??

Tak ada yang tau, hanya waktu yang akan menentukan akhir kisah mereka. Namun ini baru permulaan di mana mereka telah mengambil sebuah keputusan. Sebuah keputusn yang entah membawa suatu keberuntungan atau sebuah kutukan.

•••

"Aku benar-benar bosan," ucap Pita meletakan ponselnya ke meja. Wajahnya nampak cemberut bibir di manyunkan ke depan. Ngomong-omong mereka bersepuluh sedang berkumpul di ruang tengah.

"Bukankah di ponselmu ada game?" tutur David melirik ke arah Pita yang sedang bersedekap dada.

"Semua permainan di ponselku telah ku mainakan, tapi tetap saja aku bosan!" rajuknya.

"Sayang sekali ponsel kita tak mendapat sinyal telepon," masam Alya.

Nata yang mendengar perkataan Alya langsung memutar matanya jengah, merasa konyol akan pernyataan temannya yang satu ini. "Jika ada sinyal telepon dari tadi aku sudah menelfon seseorang untuk menolong kita," dengusnya.

"Apa kau sudah mengecek seluruh bagin rumah?" ucap Ian pada Rey dan Haris.

"Sudah dari tadi Ian," cibir Rey.

"Aku hanya ingin memecahkan suasana canggung ini, makanya aku bertanya," tutur Ian sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Yang baru gue tau kalo vila ini juga ada ruang bawah tanahnya," ujar Haris sambil meletakan jemarinya di dagu. Ia cukup terkejut atas hal baru yang ia temui itu, karena om Jay sendiri tidak pernah kenyinggung atas ruang bawah tanah.

"Masa?! Aku baru tau Har, om Jay tak bilang kalo vila ini ada ruang bawah tanahnya," ucap David heran sekaligus terkejut.

"Mungkin om Jay tak tau," simpul Haris.

"Apa isi ruang bawah tanahnya? Apa ada benda-benda antiknya?" ujar Hanna penasaran tapi kedua matanya memancarkan binar di sana, jika itu di sebuah anime maka akan ada simbol uang tergambar di matanya.

"Tidak ada, hanya beberapa barang yang tak berguna," terang Haris yang membuat sinar mata Hanna redup. Meski Haris tau kalau Hanna hanya becanda atas kentusiasannya dengan benda yang berada di ruang bawah tanah, tapi melihat raut Hanna yang seperti itu entah kenapa membuat Haris sakit.

"Barangkali ada barang antik gitu, kan entar kalo kita dah bebas dari vila terkutuk ini bisa di lelang tuh barang antiknya," canda Hanna. Ia berniat mencairkan suasana tegang di antara mereka.

"Dih Hanna, kalo misalnya barang antik yang kita jual membawa kesialan gimana?" sela Alya terkekeh pelan.

"Ya mana gue tau, yang pentingkan kita dapet duit," timpal Hanna dengan senyum manisnya.

Lalu candaan tentang barang atin terus belanjut. Tapi, ketika suasana sudah mulai mencair suara Eza langsung membekukan kembali sesuatu yang telah mencair itu.

"Ironis, di saat seperti ini kalian masih bisa bercanda," miris Eza lalu mencoba menutup matanya dan tersenyum.

"Di saat seperti ini, aku hanya berpikir 'siapakah gerangan yang nantinya membunuhku' , ya mungkin ini terdengar putus asa tapi kurasa pemikiran ini cukup menghiburku," ucap Eza dengan senyum seolah menunggu kapan sang malaikat mencabut nyawanya.

"Apa kalian tak sadar aliran air ke vila ini mati, tandanya tak ada air yang mengalir ke vila dan persediaan air minum kita hilang entah kemana. Bukan hanya air minum yang tak ada makanan pun sama juga. Tadi aku mengecek kulkas dan tak ada bahan makanan atau pun sekedar cemilan," ucap Eza lalu menghembuskan nafas berat.

Perkataan Eza membuat kesembilan temannya ternganga. Ada jejak ketidak percayaan di sana.

"Kalau kalian tak percaya cek saja," ucap Eza membuka matanya.

Pita dan Mutia pun langsung berdiri dari sofa dan berjalan menuju dapur tuk membuktikan apa yang Eza katakan. Beberapa menit kemudian Pita dan Mutia kembali ke ruang tengah dengan wajah lemas.

"Ada apa?" ucap Ian penasaran.

"Yang di katakan Eza benar, tak ada air mengalir ke vila ini. Kita tak punya makanan dan air minum," cicit Pita lemas.

"Apa yang harus kita lakukan untuk bertahan," ucap Mutia menatap semua teman-temannya dengan pandangan panik.