"I DIDN'T DO IT!"
Teriakan Robert itu terdengar keras di seantero ruang. Ia sedang menonton berita. Di ujung ruangan memang terlihat tayangan berita yang memberikan fakta-fakta memojokkan Robert sebagai pelaku di belakang penembakan ayah mertuanya. Jaden hanya terpekur menyaksikan semuanya.
"First his wife and now Edward..." suara pembaca berita itu terdengar suspicious.
Robert melempar remote control itu dengan kalap ke arah jendela kaca. Terdengar suara kaca yang pecah berderai. Kemudian ia kembali mengambil gelas yang berada disampingnya lalu melemparnya ke arah TV yang menempel di dinding dekat kolam renang itu.
"YOU BITCH, I DIDN'T!" sembur Robert penuh kemarahan. Kembali gelas itu terbang.
Jaden lalu menghampiri dan segera merangkul Robert yang nampak kehilangan akal. Nafas Robert terdengar memburu kencang. Matanya merah. Jaden pun mengusap rambut Robert dengan lembut.
Robert merasa sangat terpojok. Ia harus mencari jalan keluar untuk membersihkan namanya. Walau Robert sangat membenci Edward namun ia tidak membunuhnya. Begitupun Angel. Ia tidak sengaja melindas kaki istrinya. Ia tidak tahu ternyata Angel sedang berdiri dibelakang Hummer-nya.
"Aku sudah memberikan keterangan pers tertulis" ucap Robert dengan suara masih memburu.
Jaden mengangguk sambil tersenyum. Pria metropolis berbadan kekar dan menjulang setinggi 190 cm itu lalu menatap mata Robert dan berbisik.
"Are you ok?"
Robert tersenyum manja sambil menatap mesra kekasihnya. Ia mengangguk. Ia teringat isi terpenting dalam surat pernyataan itu. Penundaan merger.
Robert memang menyampaikan bahwa keluarga besar merasa prihatin akan tragedi ini dan ia memastikan bahwa merger perusahaan akan ditangguhkan sampai waktu yang belum ditentukan. Ia harus melakukan itu. Setidaknya itu bisa mengurangi beban dirinya yang disorot sebagai pembunuh mertuanya.
Hari yang sangat berat. Belum lagi dengan ayahnya yang sampai pingsan dan harus dirawat di rumah sakit karena tragedi kematian Edward. Robert tahu ayahnya memang sangat mencintai Edward. Mereka bahkan sudah menikah walau tidak diketahui publik. Berkeluarga layaknya orang lain dan bahagia dalam menjalaninya.
Itulah alasan Robert menjalin hubungan dengan Jaden.
Awalnya Robert adalah hetero. Ia mencintai Angel. Pernikahannya harmonis. Sampai akhirnya ia merasa ada yang tidak lengkap. Kehidupannya terasa hambar dan membosankan. Ia pun sering mengikuti perkumpulan sosialita Asia. Mencoba mencari jawaban.
Akhirnya ketidaklengkapan itu dipenuhi saat Robert melihat dan didekap Jaden. Saat itulah ia sadar bahwa ia ingin mengalami apa yang dialami ayahnya selama ini. Menjalani kehidupan yang diketahuinya dari kecil.
Tentunya Angel tidak tahu akan hal ini. Robert hanya menyampaikan bahwa Jaden adalah sahabatnya yang membutuhkan pertolongan. Jaden ditinggalkan warisan dan kelimpungan mengurus perusahaannya. Jaden sering ditipu kanan kiri dan hampir bunuh diri.
Angel percaya semua muslihat Robert. Namun tidak dengan ibunya, Vivian. Wanita itu bahkan memiliki foto saat Robert mencium bibir Jaden di Maldives tahun lalu.
Awalnya, foto itu digunakan Vivian untuk memeras Robert. Ia meminta kompensasi berupa anak perusahaan Lauw Enterprise yang bergerak dibidang fashion retail.
Tentunya Robert menolak keras. Ia benci diperas dengan cara seperti ini. Tapi ternyata Jaden mempunyai pertimbangan lain. Robert ingat kejadian bulan lalu.
"Vivian bisa kita manfaatkan untuk memuluskan rencana merger kita" ujar Jaden lembut.
"Bagaimana mungkin? Papi sudah tidak setuju" jawab Robert bingung.
Tiba-tiba...
"Ceraikan Angel" terdengar suara dibelakang Robert.
Tidak ada satupun orang yang bisa leluasa memasuki Presidential Suite milik Lauw Hotel. Ruangan seluas 320 meter persegi ini dijaga oleh bodyguard disetiap pojok ruangan dan didepan lift. Keamanannya nomor satu di Hong Kong. Robert pun menoleh.
"Hai Robert" ujar wanita tua cantik itu dihadapannya. Ternyata Vivian.
"I helped her in. Don't worry darling" ujar Jaden sambil tersenyum.
Vivian lalu mengambil duduk ditengah ruang. Ia memperhatikan wajah para pemuda metropolis kaya raya itu dihadapannya. Kemudian ia menjelaskan rencananya: minta cerai atau luluskan merger.
Tapi sekarang Robert justru merasa terjebak. Saat ini semua perhatian publik mengarah kepadanya. Dilarang merger malah minta cerai. Anak manja. Itu inti pemberitaan media saat ini.
Pembunuhan karakter. Batin Robert murka.
************************
Di satu sisi dunia yang lain. Di sebuah rumah sakit di kawasan Pondok Indah Jakarta Selatan. Sesosok pria tua nampak menonton berita di TV tentang pembunuhan biliuner Asia, Edward Lauw, saat pulang dari sidang perceraian anaknya di PN Jaksel.
Proses merger Lauw Enterprise dan Kuok Industries juga kabarnya ditunda. Tragedi yang terjadi terhadap founder dan pemegang saham terbesar perusahaan internasional itu membuat semua pihak harus menahan diri untuk melanjutkan penggabungan dua raksasa bisnis tersebut.
Semua mata memang tertuju pada Robert How sebagai dalang pembunuhan Edward. Bagaimana tidak. Pria itu terkenal memiliki ambisi besar dengan proyek merger-nya yang sudah rahasia umum tidak direstui Edward.
Kematian Edward juga membuka pintu bagi Robert untuk mendapatkan setengah harta Edward yang jatuh ke Angelica yang sedang digugat cerai oleh Robert.
"Tidak mungkin sesederhana itu. Saya tidak yakin" ujar Alex pelan. Tangannya masih terus mengusapi rambut Adam yang berada diruang gawat darurat.
"Bapak punya gambaran siapa penyewa pembunuh bayaran itu?" cecar Polisi itu.
Alex terdiam cukup lama. Kepalanya berputar dan berpikir keras. Menimbang-nimbang beberapa hal yang berkecamuk dalam kepalanya. Beberapa kali ia mengurut keningnya.
Dihadapannya terlihat tiga orang polisi yang sabar menunggu. Mereka prihatin melihat sosok orang tua dihadapannya itu. Sedari tadi ia terus menemani anaknya tanpa sedikit pun melepaskan genggamannya.
Alex kemudian menggeleng pelan. Ia tidak mau gegabah memberikan pendapat. Para polisi itu berusaha mengerti. Mereka tidak punya pilihan lain. Akhirnya mereka pun pamit pergi dan berjanji akan mengabarkan setiap perkembangan kasus kepadanya. Alex hanya mengangguk sambil tersenyum lemah.
Ingatannya kembali berputar. Ia hafal dengan muka si penembak. Bukan pada saat ia menghadang mobil karena saat itu ia menggunakan masker dan helm. Namun pada saat ia menyerahkan minuman di restoran Bali itu. Sosoknya yang tinggi besar dengan gesture yang sama sekali tidak melayani membuat intuisi Alex berbicara. Lekas tinggalkan tempat itu. Pertanyaannya adalah siapa dan kenapa. Mata Alex pun menerawang. Otaknya bekerja keras. Mencari jawaban.
Sebuah jawaban yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari Jakarta. Tepatnya di rumah bordil Patpong Thailand.
Rumah bordil di Thailand itu tidak terlalu berbeda dengan Jakarta. Mungkin hanya para lady boy yang membuatnya berbeda. Selebihnya sama saja.
Cimenk saat ini sedang berada disebuah ruangan minim cahaya seluas 100 m2. Disisi ruangan terdapat deretan sofa dengan para wanita berbusana minim yang menjajakan diri. Sementara didepannya terdapat panggung setinggi satu meter dan seluas 8x8 meter.
Panggung ini terdapat dua tiang besi dengan tiga penari yang semuanya wanita. Sementara dipanggung belakang diperuntukkan khusus bagi para lady boy yang berjalan melenggak lenggokkan pinggulnya. Cukup menghibur sebenarnya. Tapi Cimenk merasa bosan.
Ia menguap pelan. Pekerjaannya selesai pukul 12.30. Awalnya Cimenk sudah yakin bahwa racun di air mineral itu akan diminum. Ia sendiri yang mencampurnya. Kemudian ia mengaku sebagai ajudan Edward Lauw ke manager operational restoran. Ia bilang bahwa tugasnya harus selalu mengantar sendiri minuman itu. Manager itu percaya karena Cimenk menyodorkan kartu karyawan Lauw Enterprise. Sayang pengacara itu menggagalkan rencananya.
Rencana itu berubah. Ia diwajibkan untuk menembak mati Edward hari ini juga. Tampaknya si pemesan butuh kematian Edward segera.
Seperti biasa Cimenk tidak perduli. Dan tentunya tidak boleh tahu. Itu adalah peraturan tidak tertulis yang wajib dipatuhi setiap pembunuh bayaran Mr. Lee. Hanya dia yang tahu siapa pemesannya.
Satu lagi aturan yang wajib dipatuhi adalah menghilang. Semua hitman harus segera menghilang dari negara lokasi TKP untuk menghilangkan jejak. Menghilang ke negara yang tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Namun pesona Thailand membuat Cimenk mampir dulu ke negara ini. Beberapa jam lagi ia harus pergi ke Singapura.
Cimenk lalu melirik jam. Ia terburu waktu. Kemudian ia berdiri dan berbicara dengan seorang wanita berumur yang menggunakan jas hitam diujung ruang. Wanita itu biasa dipanggil sebagai mami.
Selama lima menit Cimenk berdiskusi dengan mami untuk memilih wanita yang sesuai dengan seleranya. Namun sepertinya Cimenk merupakan tipe pria pemilih. Mami pun dengan sabar membimbingnya.
"Malam ini harus pesta" batin Cimenk yang puas dengan hasil pekerjaannya hari ini.
Lima belas menit berlalu. Akhirnya Cimenk memilih seorang penari erotis berbaju merah muda. Dengan muka sumringah penari itu mengikuti langkah Cimenk ke ruangan yang terletak dilantai dua. Ia melirik ke rekan-rekannya yang menatap iri sambil menjulurkan lidah. Penari itu tertawa. Ia juga terkejut dipilih oleh pemuda handsome itu. Tapi inilah hidup.
"See you again darlingsssss, bubhbyeeeeee!!!!" seru lady boy itu genit. Ia siap berpesta.