Surya agak menyesalkan sikap ayah mertuanya yang terlalu introvert. Berbeda dengan para pengacara lain yang senang pamer maka ayah mertuanya ini sangat menutup diri. Seandainya saja dia bisa membuka diri mungkin lebih banyak klien yang datang.
Alex bukannya tidak mengerti akan hal itu. Ia sendiri mengakui bahwa dirinya terlalu tertutup. Tapi Alex memang tidak suka akan perhatian orang. Baginya, marketing sangat mengganggu privacy dirinya yang suka menyendiri. Akhirnya tugas marketing dan public relations firma saat ini diemban oleh Surya dan Abi. Mereka selalu tampil menjelaskan mengenai perkembangan kasus yang menyita perhatian publik dan melakukan promosi untuk menjaring klien baru.
Sepanjang ini mereka cukup baik dalam menjalankan tugasnya. Namun beberapa waktu belakangan ini terasa lebih berat karena kematian klien mereka, Edward Lauw, terbilang sangat misterius.
"Bagaimana kondisi Adam Prabu saat ini?"
"Sudah membaik. Sekarang masih diobservasi" jawab Abi tenang didepan wartawan.
Hari ini memang diadakan konfrensi pers dengan media untuk memberikan penjelasan kasus Edward.
"Apakah merger Lauw dan Kuok akan terjadi?"
"Sudah sampai mana perkembangannya?"
"Proses Due Dilligence untuk perizinan tetap berjalan. Kami optimis merger akan berlanjut namun keputusan tetap ditangan klien" kali ini Surya yang menjawab.
"Kami masih menunggu proses yang dijalankan kepolisian. Hasilnya pasti akan kami kabari" lanjut Surya kepada salah satu wartawan yang menanyakan proses pemeriksaan Polisi. "Itu wewenang penyidik" jawab lagi saat ditanya apakah Robert How akan ditahan.
Tiba-tiba...
"Apakah ada hubungannya dengan Triad?" tiba-tiba pertanyaan itu dilontarkan seorang wartawan senior yang sedari tadi diam.
Dia adalah Richie Wattimena. Wartawan senior yang mempunyai blog kriminal dan sering dijadikan referensi polisi untuk mempelajari sindikat kejahatan internasional.
Surya dan Abi saling berpandangan satu sama lain. Mereka nampak bingung. Surya punya pengetahuan yang terbatas tentang Triad. Dia tidak tahu menahu jika ada hubungannya dengan kasus Edward. Apalagi Abi. Tugasnya hanya menjual image kantor. Ia jelas tidak tahu tentang Triad. Sekejap saja rasa sebal kepada ayahnya menyeruak didada.
Tiba-tiba sebuah layar dibelakang mereka menyala. Cahaya biru berpendar dan menampilkan sesosok pria tua yang nampak tersenyum. Suasana segera heboh.
"Halo semua" sapa si pria tua ramah dengan senyum khasnya yang kikuk.
"Pak Alex! Bagaimana tanggapan anda tentang keterlibatan Triad?"
"Apakah ada hubungannya dengan Peter Sheng yang gagal mengakuisisi Lauw Enterprise?"
"Apakah Edward terlibat sindikat internasional?"
"Apakah Robert How pemimpin Blue Orchid?"
"Apakah ada keterlibatan Yakuza?"
"Bagaimana kabar Ang Bun How yang punya hubungan dengan Du Yueh Seng?"
Pertanyaan demi pertanyaan datang bertubi-tubi. Alex hanya menunduk dan mendengarkan. Ia menunggu waktu yang tepat untuk menjawab. Kemudian ia melirik kearah anak-anaknya dengan senyuman meminta maaf. Namun Surya dan Abi hanya melengos. Alex hanya meringgis kikuk. Lalu beberapa menit kemudian ia membuka suara.
"Terima kasih rekan-rekan sekalian"
"Proses merger secara keseluruhan sedang ditunda sesuai instruksi klien. Namun due dilligence terhadap perizinan masih berjalan. Ini sudah sepersetujuan klien karena dokumen terlanjur diperiksa" jawab Alex. Lalu ia berhenti sejenak dan memberikan kesempatan kepada para wartawan lain untuk mengajukan pertanyaan demi pertanyaan.
"Sejauh ini tidak ada buktinya bila Triad berhubungan dengan klien kami" lanjut Alex. "Apalagi Yakuza. Begitu juga dengan Peter Sheng" jelasnya.
Alex sedikit geli. Tidak ada yang menyangka jika Peter Sheng sama sekali bukan preman. Ia hanya membayar biro marketting untuk mengesankan dirinya seorang jagoan jalanan karena bisnisnya memang berkutat di bidang pengamanan. Bisnis yang merupakan warisan ayahnya. Klien Alex sejak tiga puluh tahun yang lalu.
"Penundaan proses merger ini murni karena klien masih berduka atas kepergian ayahanda tercinta yang juga pemegang saham terbesar Lauw Enterprise"
"Untuk pidananya masih diperiksa Kepolisian. Tentu akan kami informasikan segera bila ada perkembangan yang berarti"
Tiba-tiba sesosok pria tinggi besar berkacamata nampak berdiri dari belakang ruangan. Alex mengenal sosok itu. Ia alasan Alex muncul pada press confrence hari ini.
"Apa Bapak tau kalo Jaden Kuok berafiliasi dengan Lotus Family?" pertanyaan Ritchie itu mengagetkan Alex. Namun ia tersenyum untuk menyembunyikannya.
Lotus? Jaden???
"Profil Jaden Kuok memang penuh sensasi. Tapi tidak ada hubungan dengan kematian Edward. Setidaknya untuk saat ini" jawab Alex diplomatis. Ia memang wajib memberikan jawaban seperti itu. Apalagi untuk hal-hal yang belum pasti pembuktian dan faktanya.
"Begini Pak Alex..." ucapan Richie terhenti sejenak. Ia bosan dengan cara manipulasi komunikasi ala para pengacara basi ini. Ritchie sudah bergulat didunia pers hampir 40 tahun lamanya. Semua ini ditutupi semata.
Smokescreen.
Kemudian Richie berdehem. Bersiap melanjutkan serangannya.
"Lotus berafiliasi dengan Abu Daud untuk pasar Asia..." Richie berujar pelan nampak mengatur kata. Kemudian ia nampak mencari sesuatu di tas kerjanya. Tidak lama ia meraih secarik print out sambil berteriak lega. Semua orang menatapnya.
"Perusahaan Lauw mengeksekusi tanker Abu Daud tanpa putusan pengadilan" tunjuk Richie sambil melambaikan hasil print out berita itu. Alex terdiam. Ia tahu itu berita itu. Tapi tetap ia tidak boleh mengambil kesimpulan apalagi menuduh secara serampangan.
"...dan peristiwa ini terjadi sehari sebelum kematian Edward" pungkas Richie dengan mata menyorot tajam meminta tanggapan Alex. Namun benak Alex keburu memikirkan hal yang lain. Besannya.
"Maleek"
************************
Adam mengenalkan calon istrinya sekitar 15 tahun yang lalu. Teman kuliah kata Adam. Nampaknya mereka berdua terlihat cocok. Saling respect dan mencintai terlihat jelas dimata mereka. Apalagi Dhayfa datang dari keluarga yang terdidik. Alex dan Dian pun memberi restu kepada Adam untuk menikahi gadis berjilbab asal Persia itu.
Dhayfa Khatun.
Gadis imigran yang lari bersama keluarganya dari konflik perang Syria beberapa puluh tahun yang lalu. Dhayfa kecil sempat merasakan Aleppo dibumihanguskan FSA (Free Syrian Army). Rumahnya yang indah hanya bersisa puing belaka. Mereka pun mengungsi kerumah sakit terdekat. Tapi kota itu terus dibombardir pesawat tempur. Mau tidak mau mereka harus pergi. Mereka sempat hendak mengungsi ke Iran. Tempat leluhurnya. Namun konflik "Arab Spring" membuat pilihan mereka sangat terbatas. Kerusuhan terjadi dimana-mana.
Gelombang revolusi kebangkitan masyarakat Arab yang terjadi sejak 18 Desember 2010 ini membuat hancur hampir seluruh semenanjung Arab. Kerusuhan terjadi di Tunisia, Mesir, Libya sampai Arab Saudi. Semua ini membuat ayahnya, Maleek Al Ayyubi, akhirnya memilih Turki karena paling dekat dari Aleppo. Dia menjual seluruh hartanya dan membawa keluarga besarnya pergi.
Sayangnya kamp pengungsian sudah berstatus darurat dan penuh sesak. Menurut UNHCR (Komisi PBB untuk Pengungsi): tiga kamp pengungsian di Turki seperti Altinozu, Yayladagi dan Apaydin, tidak dapat terisi karena terdapat lebih dari 300 ribu pengungsi. Total pengungsi di Turki sendiri mencapai 3,3 juta orang Syria.
Masya Allah. Pikir Maleek mendengar pemberitaan di TV itu. Mau tidak mau mereka harus keluar dari kamp itu.
Namun karena kekurangan uang akhirnya diputuskan agar Maleek beserta keluarga kecilnya untuk lebih dulu mengungsi. Maleek pun mengambil risiko menyeberangi Laut Tengah. Dia membayar penyelundup Rp.15 juta/orang untuk berlayar menggunakan perahu karet. Tujuannya adalah Inggris.
Maleek sekeluarga sempat berjalan kaki sejauh 50 km dari Yunani ke Albania. Rencananya mereka akan menyebrang ke Italia melalui pelabuhan Vlorë. Namun perjalanan mereka harus terhenti karena Dhayfa sakit. Saat itu mereka berada di kota Gjirokastër di bagian selatan Albania. Kota yang sangat indah sebetulnya.
Sayangnya karena seluruh uang sudah habis, akhirnya Maleek dan keluarganya terpaksa hidup menggelandang di kota itu. Namun Allah Maha Besar. Tiba-tiba sore itu, saat makanan bahkan minuman sudah benar-benar habis, Maleek didatangi oleh pemuda tinggi besar penuh tatto. Maleek sempat curiga sebetulnya.
"Come with me!" perintahnya sambil menggunakan isyarat tangan agar Maleek mengikutinya.
"I can't leave my family" tolak Maleek.
Maleek memang fasih berbahasa Inggris. Dahulu Maleek adalah seorang dosen sastra Inggris di Universitas Aleppo.
"Take it!" sergah preman itu sambil melempar uang kearah Maleek.
"More...more...more!" lanjutnya sambil menggerakkan jari telunjuk dan tengahnya. Mencoba memberitahu akan ada tambahan uang jika Maleek mengikutinya.
Maleek saat itu sudah lemah. Berat badannya menyusut 30 kg. Pakaiannya hanya satu dan badannya bau karena tidak mandi. Perutnya juga sangat lapar karena sudah tiga hari tidak makan.
"Give me more money and I'll follow you" jawab Maleek pasrah. Ia memang sudah siap mati. Tapi setidaknya ada uang untuk anak istrinya. Itulah alasannya meminta uang lebih banyak. Pemuda itu nampak gusar sambil merogoh kantung celananya.
"Damn you old man!" maki pemuda Albania itu sambil melemparkan seluruh uang dari dompetnya yang dekil.
Maleek mengambil uang itu kemudian memberikannya kepada Fatima yang menangis. Kemudian ia berdiri, menengadahkan tangannya untuk berdoa lalu mengikuti langkah pemuda itu.
"They with us! They with us!" sentak si pemuda menyadari Fatima dan Dhayfa tidak ikut. Ia mendorong-dorong Maleek untuk membawa mereka.
"I'm not going to take them. Just me" jawab Maleek bertahan dari dorongan pemuda itu agar tidak jatuh.
"Stupid man stupid you!" paksa pemuda itu lagi sambil terus mendorong. Namun Maleek bertahan berusaha melindungi anak istrinya yang menangis ketakutan.
PLAAAKKKKKK!!!!
"Kakova chyorta!" jerit pemuda itu kesakitan sambil memegangi kepalanya. Apa-apaan ini! Dibelakang pemuda itu berdiri tegap seorang ibu yang memegang opinga - alas kaki khas masyarakat Albania. Wajah ibu itu nampak sangat geram. Dengan sekali gerakan ia kembali memukul kepala pemuda itu dengan keras.
"Idi vzhopu!!!" teriak pemuda itu. Pergi kamu!
Pukulan itu semakin kencang dan bertubi-tubi. Pemuda itu berteriak kesakitan dan berlarian mengitari si ibu demi menghindari geplakan demi geplakan. Sementara itu si ibu terus mengejar si pemuda dengan mengayun-ayunkan opinga.
Setelah puas memukuli lalu si ibu mendatangi Maleek dan keluarganya yang ketakutan. Ia tersenyum ramah mencoba menenangkan korban perang itu.
"Come with me" ujar wanita itu sambil mendekap Dhayfa yang menggigil. Fatima tidak kuasa menahan. Ia nampak pasrah dan menyerahkan Dhayfa pada ibu tua itu. Maleek mau tidak mau mengikuti langkah si ibu sambil memeluk Fatima.
"I am Oli Qereti. I was a maid in England for ten years" senyumnya.
"It is called Besa. It is our duty to help refuges" ujar wanita itu seakan mengerti kebingungan Maleek. Besa adalah pola pikir dari kebudayaan Albania yang senang menolong sebagai bentuk kehormatan.
Maleek sebelumnya sudah mahfum bahwa masyarakat Albania memang memiliki rasa toleransi dan empati yang tinggi. Mereka adalah negara kecil yang terkenal selalu melindungi korban pelarian perang.
"Shpija Para Se Me Qen' E Shqiptarit. Asht E Zotit Dhe E Mikut"
"Sebelum rumah ini milik kami maka sebetulnya rumah ini milik Tuhan dan tamu kami. Begitulah artinya. Hal ini pernah disampaikan juga oleh Perdana Menteri Albania, Edi Rama - Perdana Menteri Albania ke 42, pada konfrensi internasional beberapa waktu yang lalu.
Semboyan itu memang menggambarkan jiwa sosial masyarakat Albania yang suka menolong. Namun tetap saja Maleek harus waspada. Apalagi Albania terkenal juga dengan mafianya yang menguasai Eropa dan Amerika:
Mafia Shqiptare.
Maleek pun berjalan sambil menggendong Dhayfa. Fatima nampak menyeret langkahnya dibelakang Maleek. Ia nampak sangat kelelahan. Untungnya hari sudah sore. Udara tidak begitu panas. Oli nampak menegur ramah ke beberapa pejalan kaki yang melewati mereka.
Suasana kota terlihat asri. Sepanjang jalan hanya terlihat penduduk kota yang berjalan kaki. Tidak terlihat satu pun mobil dijalan raya. Hanya bangunan yang berwarna-warni.
"It's Xhiro. We forbid cars to be around at noon" ujar Oli tersenyum. Seakan menjawab keingintahuan Maleek.
Keunikan lain dari negara ini adalah mengangguk untuk mengatakan "tidak" atau "jo". Sementara menggeleng untuk mengatakan "ya" atau "po". Maleek masih sering salah mengartikan setiap kali berbicara dengan mereka.
"Mirëmbrëma!" ujar Oli membuka pintu rumahnya sambil mengucapkan selamat sore.
Beberapa orang terlihat berdiri dan menyambut Oli. Kemudian merubungi Maleek dan keluarganya. Mereka pun dipersilahkan masuk kerumah kecil itu.
"Unë quhem Maleek" dengan sopan Maleek memperkenalkan namanya.
"This is Fatima and my daughter Dhayfa" lanjut Maleek mengenalkan istri dan anaknya.
Didalam ruangan itu terlihat sebuah keluarga kecil. Ruangannya tertata asri. Nampak beberapa foto Oli berpose dikota London dan beberapa foto alam di Wales.
"Orgest Agoli" tunjuk Oli kepada pria besar yang duduk didepan meja makan. Pria itu hanya mengangguk.
"Alma Abazi" tunjuk Oli kearah seorang wanita 30 tahunan yang duduk disamping Orgest. Alma terlihat tersenyum.
"Bogdan Zukov" ujar Oli sambil menepuk bahu Bogdan yang berdiri setinggi pintu.
Bogdan ini ternyata pria yang tadi mengajak Maleek untuk ikut bersamanya. Dilihat dari nama dan perawakan sepertinya Bogdan ini bukan asli Albania. Mungkin Rusia.
"Arta Saraci" ujar seorang gadis cilik menjulurkan tangannya. Kelihatannya ia anak Orgest dan Alma. Cucu dari Oli.
"Welcome!" pungkas Oli sambil tersenyum lebar.
Waktu pun berlalu.
Maleek sempat memutuskan untuk hidup di Gjirokastër. Ia bekerja serabutan dari tukang kayu sampai kuli bangunan. Ia juga memberikan les bahasa Inggris. Rencananya setelah tabungan cukup maka Maleek akan menjemput keluarganya dari kamp pengungsian.
Namun semua itu berubah ketika Maleek menerima pesan sms dari Medhi, adiknya, yang masih berada di kamp pengungsian. Medhi mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Sementara ibunya yang sudah berumur 68 tahun juga sedang sakit keras.
Maleek harus menjemput mereka secepatnya. Tapi Maleek tidak punya uang. Akhirnya ia menceritakan hal itu kepada Bogdan. Ia butuh pekerjaan tambahan. Apa saja. Agar ia bisa menjemput keluarganya.
Bogdan menatap mata Maleek cukup lama. Kemudian ia mengeluarkan kamus bahasa Inggris yang belakangan selalu dipegangnya. Ia memang salah satu murid Maleek.
"Any job?" tanya Bogdan. Maleek mengangguk cepat. Pekerjaan apapun. Dia butuh uang secepatnya.
"Smuggle. Can you do it?" tanya Bogdan kembali. Maleek memicingkan matanya.
"Don't play with me Bogdan. I need money. It's not a joke" jawab Maleek pura-pura ketus.
"Stupid man" sergah Bogdan dengan kalimat Inggris seadanya. Ia pun menggeret Maleek.
Ternyata Bogdan membawa Maleek ke sebuah rumah dipinggir kota. Disana terlihat kumpulan pria tinggi besar bertato sedang bermain gitar dan bernyanyi. Nampaknya kumpulan gangster Albania dari berbagai etnis.
Bogdan menarik Maleek memasuki rumah dan dikenalkan kepada beberapa orang yang duduk mengelilingi meja bundar. Maleek sudah mahfum. Dia tahu tentang keberadaan gangster di Albania yang terkenal didunia itu. Ia bahkan yakin Bogdan adalah anggotanya.
Itulah alasan Maleek mengungkapkan permasalahannya kepada Bogdan. Bukan kepada Oli atau Orgest. Ia butuh pekerjaan apapun. Termasuk kriminal yang menawarkan dana besar yang instan.
Keempat orang yang duduk dihadapan Maleek ini adalah "Bajrak" alias dewan pengarah. Sementara pria yang duduk ditengah, berkepala plontos dan berjanggut lebat itu nampaknya seorang pemimpin grup alias "Krye". Ia bernama Ardjan Dobroshi. Tatapan matanya sedingin es. Badannya penuh tatto.
Setelah itu Bogdan mengenalkan para pria yang duduk disamping Ardjan. Mereka adalah para bawahan Ardjan yang dikenal dengan istilah "Kryetar".
"Ismael Khrushchev" sebut Bogdan sambil melirik pria dihadapannya.
Pria itu sekitar 45 tahunan. Berkacamata tebal dengan rambut tersisir rapih kebelakang. Tingginya mungkin hanya sekitar 160 cm. Membuatnya seperti sosok penguin dalam komik Batman. Ia pasti konsultan grup.
"Dukagjin Dubrovka" tunjuk Bogdan ke pria yang nampak berdiri mengambil bir dikulkas.
Berbanding terbalik dengan Ismael. Pria ini menjulang bagai raksasa. Mungkin tingginya mencapai dua meter lebih. Ia menggunakan jaket kulit dengan gambar elang dipunggungnya. Tidak diragukan jika Dukagjin adalah tukang pukul grup ini.
"Enver Hoxha" ujar Bogdan mengangguk kearah pria disamping Ardjan.
Pria itu jelas putra daerah. Namanya terinspirasi Perdana Menteri Albania ke-22 yang lahir di Gjirokastër. Enver terlihat masih berusia remaja. Kemungkinan adik Ardjan karena wajahnya mirip. Bogdan sendiri adalah "Miq" atau petugas lapangan. Salah satu tugasnya adalah menarik anggota baru. Bagi grup kriminal seperti ini memang para pemimpinnya terhitung jari. Namun mereka membutuhkan banyak pekerja lapangan. Sangat efektif tapi mematikan.
"We need...delivery man" kata Ardjan membuka suara.
"No Africans. Police already identify them as dangerous" ujar Ardjan dengan logat Eropa Timur yang kental.
"We need someone who could blend with the societies" tuturnya lagi sambil memperhatikan wajah Maleek yang mirip orang Indonesia.
"And you my friend...are the perfect candidate" pungkasnya sambil menatap Maleek tajam.
Tanpa panjang lebar Ardjan menawarkan uang sebesar $ 10 ribu jika Maleek bisa mengantar paket narkotika ke Jakarta. Maleek terdiam nampak menghitung.
"I'll do it with twenty. Cash in front"
Para Kryetar tertawa terbahak-bahak. Namun Ardjan nampak diam. Ia memperhatikan Maleek dan nampak mempertimbangkan sesuatu.
"I'll give you fifty. Cash. In front. BUT..." Ardjan berhenti sejenak. "...you must deliver the package five times"
************************
Beberapa minggu kemudian keluarga Maleek berhasil keluar dari kamp pengungsian dan akhirnya berhasil berkumpul kembali di Gjirokastër. Babak baru kehidupan Maleek pun dimulai.
Dan Maleek pun sudah siap untuk mati.