Chereads / Sang Pengacara "TRIAD" / Chapter 8 - "Intuisi"

Chapter 8 - "Intuisi"

Gugatan setebal dua puluh halaman itu dibacakan secara bergantian oleh para pengacara Robert dengan sangat lancar. Alex mendengarkan semua itu dari kursi pengunjung. Ia duduk dipojok ruangan bersama dengan Edward. Ditangannya sudah siap seperangkat alat elektronik untuk memberikan arahan kepada tim pengacara Angel.

"Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka pernikahan antara Robert How dan Angelica Lauw sudah selayaknya dinyatakan bubar"

Agenda pembacaan gugatan oleh Penggugat itu pun selesai. Nampaknya pihak Penggugat ingin segera menyelesaikan kasus ini. Proposal perdamaian yang diajukan pengacara Angel tidak digubris. Mediasi pun dianggap gagal. Akhirnya pemeriksaan lanjut kepada pemeriksaan materi perkara.

Alex nampak selesai mengetik di tabletnya dan mengirim beberapa instruksi kepada para pengacaranya. Lalu Alex mengangkat muka. Memberi isyarat agar para staff pengacaranya memeriksa tablet yang berisi instruksi.

Clara dan Adam nampak mengangguk. Mereka pun mempersiapkan diri memberikan tanggapan. Tidak lama wanita 30 tahunan itu lalu berdiri. Ia memegang sebuah tablet ditangan kirinya dan kemudian membacakannya didepan ruang sidang.

"Majelis Hakim yang Terhormat. Perkenankanlah kami menjawab dalil-dalil yang disampaikan oleh Penggugat tanpa menutup hak kami memberikan jawaban tertulis"

Ketua Majelis Hakim mengangguk. Ia lalu mempersilakan Clara untuk menjawab gugatan secara lisan.

"Permintaan hak asuh anak layak ditolak karena berdasarkan peraturan yang berlaku maka hak asuh anak yang belum berusia delapan belas tahun diberikan kepada ibu kandungnya"

"Gugatan Harta Bersama juga harus ditolak karena tidak dapat digabung dengan Gugatan Perceraian"

Tepuk tangan pun bergemuruh. Ketua Majelis Hakim memukul palunya berulang kali untuk menertibkan jalannya persidangan. Lalu hening.

"Baik. Seluruh dalil Penggugat maupun Tergugat kami terima dan akan diputus pada putusan akhir nanti" ujar Ketua Majelis Hakim.

"Kepada Penggugat dan Tergugat kami anggap tidak mempergunakan haknya dalam mediasi. Maka dengan demikian sidang kami lanjutkan minggu depan dengan agenda pemberian Jawaban tertulis dari Tergugat" pungkas Ketua Majelis Hakim sambil mengetuk palunya tiga kali.

Pengacara Robert nampaknya ingin mempublikasikan kasus ini. Gugatan yang cukup didaftarkan melalui e-mail ternyata malah dibacakan didepan sidang. Suatu hal yang tidak lumrah karena e-court tidak memerlukan pembacaan gugatan didepan sidang. Akhirnya persidangan menarik banyak perhatian banyak orang. Apalagi mengingat perceraian ini mewakili dua raksasa bisnis Asia.

Alex, Adam dan Edward segera keluar dari kerumunan pengunjung PN Jaksel itu. Mereka langsung memasuki mobil yang dikendarai Pak Abdul kemudian pergi meninggalkan kawasan pengadilan. Sementara Clara dan Tito, salah seorang paralegal, nampak memasuki taksi untuk langsung menuju kantor. Mereka memang menghindar berlama-lama di pengadilan. Klien sudah menginstruksikan untuk silenzo stampa alias tutup mulut.

Di dalam mobil Alex nampak termenung. Matanya melihat keluar jendela. Situasi jalanan Ampera seperti biasanya macet. Jalanan yang diperuntukkan dua jalur menjadi bertumpuk sampai empat jalur.

"Seratus tahun negara ini merdeka tetap belum bisa keluar dari carut marutnya kemacetan di Ampera" batin Alex saat melihat keluar jendela mobilnya yang masih terhambat walau sudah keluar parkiran pengadilan.

Edward sendiri sedang memeriksa ponselnya. Membaca beberapa berita tentang perceraian anaknya yang langsung naik ke berita utama. Sampai sekarang ia memang tidak mengerti pola pikir Robert yang bersikeras untuk cerai. Tidak ada angin tidak ada hujan. Tiba-tiba saja surat panggilan pengadilan itu dikirim ke rumahnya di Pondok Indah. Bagai tersambar petir rasanya.

"Apa karna gue nolak merger?" kata Edward getir.

Pertanyaan yang wajar. Tapi rasanya sangat berlebihan. Begitu jawab Alex. Edward sangat bingung. Namun apa boleh buat. Semua harus dijalani oleh Edward. Tapi satu hal yang pasti:

Merger tidak boleh terlaksana.

Setengah jam kemudian mobil mereka berhenti di lobby Cilandak Plaza. Nampak sangat ramai oleh para eksekutif muda yang hendak beristirahat dan mencari makan siang. Kawasan bisnis di Cilandak ini memang selalu dipenuhi pekerja dari segala penjuru kota. Apalagi ada stasiun kereta Lebak Bulus yang menghubungi setiap daerah sampai ke penyangga ibukota. Akhirnya semua menumpuk disini.

Dibawah teriknya matahari mereka turun dari mobil dan memasuki sebuah restoran Bali disamping lobby Plaza itu.

Resto yang indah. Didesain menggunakan bahan lokal yang bernapaskan Hindu serta Jawa kuno seperti jerami, kayu kelapa, kayu jati, batu bata dan lainnya. Sangat eksotis.

"Kami tetap butuh klarifikasi Angel, Pak" ujar Adam menatap wajah Edward. Padahal kliennya itu baru saja duduk. Edward sontak mendesah lelah. Ia keberatan dan menggelengkan kepalanya berkali-kali. Lalu matanya menerawang jauh kedepan. Nampak memikirkan sesuatu.

Tentu merupakan perjuangan yang berat bila Angel harus diintegorasi sekumpulan pengacara sementara dia masih diopname.

Edward memberikan beberapa alternatif agar klarifikasi kepada Angel tidak perlu dilaksanakan. "Apa mungkin via email saja?" timbang Edward. Kali ini giliran Alex yang menggeleng.

"Banyak detail yang hanya diketahui Angel, Do" jelas Alex sambil mengunyah tempe yng baru saja dihidangkan. Ia kemudian nampak mencari air putih.

"Kalo ketemu langsung khan banyak yang bisa dibahas. Kalo email takutnya ada yang kelupa" jelasnya lagi. Matanya mencari pelayan untuk meminta air minum.

Tidak lama seorang pria tinggi besar menghampiri meja mereka. Ia nampak membawa minuman untuk tamunya. Ia merunduk sedikit untuk meletakkan gelas-gelas itu dimeja. Setelah itu ia pergi.

Alex melirik pria itu dengan sudut matanya. Tindak tanduk pria itu menarik perhatian. Kemudian ia menatap minuman itu dengan seksama. Lalu ia melirik kembali ke arah pria yang sudah berjalan menuju dapur itu. Alex kemudian menebarkan pandangannya ke sekeliling restoran. Perasaannya tidak enak. Sementara ia melihat Edward nampak masih sibuk berbicara dengan Adam yang bersikukuh bahwa klarifikasi harus dilakukan demi melindungi kepentingan klien.

TING!

Ponsel Adam berbunyi. Bunyinya yang berbeda membuat Adam segera memeriksa ponselnya dan melihat pesan dilayarnya.

Adam mengangguk pelan. Tidak lama kemudian ia berdiri. Kemudian dengan tenang berjalan beranjak ke kasir dan melakukan pembayaran. Setelah itu ia menyusul Bapak dan kliennya yang sudah keluar restoran.

Adam selalu percaya intuisi bapaknya.

************************

"Harus hari ini" ujar Mr. Lee diujung sana.

"Sudah confirmed?" balas Cimenk. Mr. Lee mengiyakan.

Menurutnya pemesan sangat marah ketika arsenik dalam gelas itu tidak diminum target. Pemesan akhirnya meminta agar eksekusi dilaksanakan sekarang juga. Ia bahkan menjilat ludahnya sendiri saat meminta eksekusi tembak. Entah apa alasannya namun pemesan itu nampak sangat terburu-buru.

Padahal Mr. Lee sudah mengingatkan bahwa eksekusi harus dilakukan dengan penuh perhitungan. Terutama eksekusi penembakan. Tidak bisa sembarang tempat agar bisa mendapat jarak tembak ideal.

Sayang ide itu ditolak mentah-mentah. Si pemesan sepertinya sudah kehilangan akalnya. Ia justru menambah bayaran sebagai bonus. Cimenk tentu bahagia. Ia siap saja.

Apalagi bayarannya ditambah.