Kenangan itu kembali berputar dibenak Alex. Kenangan berpuluh tahun yang lalu. Alex menutup wajahnya. Hatinya tidak karuan. Pikirannya kacau.
"35 tahun yang lalu"
Pria kuyu itu terpekur sendirian dikamar 1029 Lauw Hotel Singapura. Ia berniat menenangkan diri dan butuh waktu untuk berpikir tanpa ingin diganggu siapapun.
Sisca hamil.
Begitupun Dian.
Ia tidak mungkin memilih salah satu diantara keduanya. Namun ia pun tidak dapat memilih keduanya-duanya. Sisca adalah mantan sekretarisnya sementara Dian adalah anak kliennya. Keduanya hamil diwaktu yang hampir bersamaan. Seharusnya Alex bisa lebih menjaga dirinya. No shit, Sherlock.
I messed up! batin Alex menyesali keadaan.
Alex tidak menyangka ternyata Dian hamil. Kondisi makin tidak menentu ketika Alex sudah terlanjur mengajak Sisca untuk menikah.
"Setan!!!" teriak Sisca melempar botol minuman kearah Alex. Botol itu meleset karena Alex cepat menghindar.
"Aduh!!!!" rutuk Dian. Ternyata botol itu mengenai kepalanya karena berdiri dibelakang Alex.
"Hihhhh!!!!" jerit Dian yang otomatis melempar balik botol itu kearah Sisca.
Keributan itu akhirnya berlanjut dengan adu cakar di antara keduanya. Apartemen Alex sontak berubah seperti kapal pecah.
"Tenaanngg!! Ayo tenang semuanya!! TENANG!!!!!!!!!!" seru Alex yang akhirnya berhasil memegang kedua tangan gadis-gadis itu. Membuat mereka sedikitnya diam dan terkontrol. Otak Alex pun berputar. Ia harus bicara untuk menenangkan keadaan.
Tapi apa?
Lima detik berlalu. Belum ada bayangan kalimat yang akan disampaikannya. Ia berusaha memanipulasi keadaan dengan memelototi kedua wanita itu.
Sepuluh detik berlalu. Otak Alex masih tetap kosong. Mata para gadis itu tetap menunggu jawabannya. Ini pria kebanggaan mereka. Seorang Alexander Prasasti. Pria yang sesuai namanya selalu penuh keteguhan dan kepastian.
Pria ini pasti bisa menyelesaikan masalah sepelik apapun.
Lima belas detik berlalu. Mata kedua gadis itu mulai berkerenyit.
'I have to say something!" batin Alex.
"ANYTHING!!!' pikirnya mulai panik.
Kemudian...
"I love you...both"
Ucapan Alex itu terdengar pelan namun tegas. Ia mengatakannya sambil menatap tajam ke arah mata kedua gadis itu secara bergantian. Berusaha menyakinkan bahwa cintanya adil.
PLAKKKKK!!!
Kedua tangan gadis itu sontak menampar pipi Alex secara bersamaan. Perkelahian diantara keduanya pun berlanjut dengan adu jambak. Well, what can you expect...
Itu dua hari yang lalu.
Peristiwa memalukan itu terus menerus berkelebat di kepalanya. Alex tidak tahu yang harus dilakukannya lagi. Semua berjalan begitu cepat tanpa bisa dikontrol. Alex tidak mau menyalahkan keadaan. Tapi sejujurnya ia merasa terjebak oleh keadaan.
Pria itu hanya bisa mendesah lelah. Kemudian ia melirik jam. Perutnya keroncongan. Ia juga khawatir sakit maag-nya kambuh. Namun ia segan bersantap dikamarnya yang berantakan. Akhirnya ia memutuskan turun ke lobby.
Alex pun keluar kamarnya. Dengan pelan ia berjalan menyusuri lorong menuju lift diujung lantai itu. Disekelilingnya terlihat dinding hotel yang didominasi warna emas. Didepan lift itu malah terlihat sebuah patung naga yang berlapiskan emas murni. Alex menatapnya kagum.
Tiba-tiba dilihatnya pintu lift itu terbuka lebar. Alex sedikit berlari lalu menyelipkan tubuhnya diantara orang. Lift itu terisi penuh tapi untungnya langsung turun ke lobby. Sesaknya lift tertolong dengan dindingnya yang tembus pandang. Alex menebar pandangan.
Ternyata sudah banyak orang dipagi yang mendung itu. Puluhan pria dan wanita nampak hilir mudik dilantai dasar yang kembali didominasi warna emas. Mereka nampak berbincang satu sama lain membahas investasi atau hanya prospek bisnis sambil menghirup kopi panas yang nampak mengebul.
Pada saat itu Singapura merupakan salah satu leading business city di Asia. Bahkan dunia. Iklim investasinya memang lebih menjanjikan karena didukung kepastian hukum serta mudahnya birokrasi perizinan. Akhirnya luas negara menjadi tidak begitu penting lagi.
Lamunan Alex tiba-tiba buyar ketika seorang waitress datang hendak melayaninya.
"Anything for breakfast, Sir?" tanyanya sopan.
"English breakfast with orange juice, please" jawab Alex sambil tersenyum hangat.
"Anything else, Sir?" lanjutnya manis. Alex menggeleng.
Waitress itu berlalu. Meninggalkan Alex yang terpekur sendirian di meja pojok ruangan.
'Mirip Miyabi' batin Alex sambil melirik waitress itu dari belakang.
**********
Vivian Wong.
Ia adalah gadis berusia 21 tahun yang kabur dari rumahnya di Kelapa Gading. Ia berontak akibat cintanya tidak diterima oleh kedua orang tuanya.
Vivian marah dan memilih kabur ke Singapura. Namun setelah setahun ia pun kehabisan uang. Sayangnya Johnny tidak mau bertanggungjawab dan menghilang entah kemana. Padahal pemadat itu pernah berjanji akan selalu bersamanya sehidup semati.
Vivian pun sudah siap untuk kembali ke orangtuanya. Tiri sebetulnya. Ia diambil kakak ibunya yang lari entah kemana. Ayahnya pun tidak jelas. Akhirnya Vivian pasrah. Pilihan kembali ke Jakarta adalah satu-satunya pilihan yang masuk akal.
Sampai akhirnya ia bertemu pria loyo yang kebingungan pagi ini. Wajah pria itu cukup terkenal. Ia adalah Alex Prasasti. Pengacara muda yang sedang naik daun dari Jakarta. Nama pengacara muda itu cukup banyak diperbincangkan karena menyelamatkan seorang Chandra Widjaja yang hendak dibunuh istrinya.
Chandra sendiri terkenal sebagai salah satu taipan terkaya di Asia. Keberhasilan Alex menggagalkan kudeta perusahaan Chandra yang didalangi istrinya itu jelas merupakan berita besar.
Saat itu Vivian melihat peluang. Entah peluang apa. Namun ia merasa ada harapan untuk keluar dari masalah keuangan yang dialaminya.
Vivian menarik nafas. Kemudian ia merogoh kantung celananya. Pil ekstasi yang selalu dibawanya itu seperti tersenyum ke arahnya.
Today I'm gonna help you. Again. Bisik pil itu.
Vivian menelan ludahnya.
************************
"Saya Vivi, Pak" ujar Vivian menghampiri pria dipojok ruangan itu
Langkah Vivian agak gemetar. Namun ia menguatkan diri. Kemudian, sambil menahan napas, ia menyodorkan pesanan pria itu. English breakfast with orange juice. Vivian memaksakan dirinya untuk tersenyum selebar mungkin.
"Thanks" jawab pria itu mengangkat muka.
"Saya juga dari Jakarta" sambung Vivian kembali tersenyum hangat. Tapi tangannya terasa sangat dingin.
"Oh hallo" pria itu mengangguk sambil tersenyum simpatik. Kemudian ia menunduk lagi sambil memeriksa beberapa email yang masuk di ponselnya. Lalu dengan gerakan perlahan pria itu meminum jus jeruk itu.
Seteguk. Dua teguk.
Vivian menatapnya tanpa berkedip. Degub jantungnya berdebar kencang.
************************
Alex ingat ketika Vivian datang kembali ke kamarnya. Gadis itu membawakan makan siang. Sirloin steak dan mineral water.
Alex bingung karena merasa tidak pernah memesan makan siang. Setidaknya belum karena ia baru saja sarapan. Lagipula ia ingin tidur. Kepalanya sedikit pusing. Badannya panas dingin. Aneh rasanya.
Tapi kemudian Vivian meletakkan nampan makanan itu diatas meja kamar. Lalu ia berjalan menghampiri Alex sambil tersenyum. Tanpa ragu ia memegang tangan Alex sambil menatapnya lekat.
Alex dapat mencium wangi tubuh Vivian saat ia membisikkan sesuatu dikupingnya. Setelah itu semuanya berlalu sangat cepat.
Satu jam kemudian Alex terbangun dengan Vivian berada disampingnya.
Tanpa benang sehelai pun.
Sembilan pun bulan berlalu.
"Sudah gendong Angel?" tanya Vivian tersenyum.
Bayi seberat 3,1 kg itu diberi nama Angelica Wong. Ia lahir di RS Mount Elizabeth. Tidak ada keriangan. Tidak ada kebahagiaan. Hanya kebingungan. Bapak sang anak nampak sedang terpekur dipojok ruangan. Ia datang dua hari setelah Angelica lahir. Pria itu nampak kusam dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Alex mengangkat mukanya yang lusuh sambil tersenyum dipaksakan. Ia menaikkan alis kirinya untuk menyamarkan kegundahan. Bapak tiga anak itu hanya bisa menggeleng. Kalut. Namun perlahan ia menghampiri bayi mungil itu.
"Our angel" lirih Vivian lemah sambil menatap mata Alex yang tersenyum lelah.
Saat itu Alex telah memiliki dua orang anak dari Sisca dan Dian. Mereka sudah hampir setahun umurnya. Alex tidak mungkin menikahi Vivian setelah konflik dengan Sisca dan Dian. Namun ia juga tidak bisa menelantarkan Vivian yang baru saja melahirkan anaknya.
Tes DNA hanya berpotensi menjadikan segalanya heboh. Bisa dibayangkan headline berita nasional. Para tabloid akan penuh dengan perdebatan moralitas serta permintaan tanggungjawab seorang wanita terzolimi yang dihamili pengacara iseng asal Jakarta.
Oh no. Hell no.
Tentu hal tersebut sangat dihindari oleh Alex saat ini. Tapi ia pun tahu bahwa ia tidak mungkin menikahi Vivi. Akhirnya ia merasa buntu. Tapi God is Good. Bantuan itu pun datang.
Edward Lauw adalah seorang gay.
Hubungannya dengan Ang Bun tidak boleh diketahui siapapun. Kecuali Alex karena hubungan mereka memang sangat dekat mengingat Ang Bun adalah ipar Chandra Widjaja, klien Alex.
Pernikahan Edward dan Michelle tidak membuahkan anak. Padahal mereka sangat menginginkan momongan. Mereka ingin mengangkat anak seperti Ang Bun yang mengadopsi Robert.
Pucuk dicinta ulam tiba.
Edward tahu bahwa Alex memiliki anak diluar nikah dengan salah satu staff hotelnya. Ia sendiri yang menginformasikannya pada Edward saat berkonsultasi beberapa waktu yang lalu. Sementara Vivian pun membutuhkan biaya agar tidak kembali ke orang tuanya. Tanpa pikir panjang Edward pun mengutarakan niatnya untuk mengadopsi Angel.
Baik Alex maupun Vivian nampak setuju. Akhirnya Angel diadopsi Edward sebulan kemudian. Ia pun memiliki anak. Michele senang. Vivian nampak bersyukur. Apalagi Alex.
Win win.