Edward menceritakan semua itu kepada Alex dengan wajah penuh penyesalan. Berkali-kali ia menyalahkan dirinya karena memberikan keleluasaan begitu besar kepada Robert. Sekarang semuanya sudah terlambat.
Alex nampak mengatur nafas. Ditatapnya mata sang klien dalam-dalam. Edward Lauw adalah pebisnis tulen yang memulai segalanya dari nol. Sikapnya memang suka meledak-ledak. Namun dia punya pemikiran tajam dan selalu memangsa target ketika waktunya tepat. Alex yakin bisa membuatnya mengerti bahwa tindakan Robert belum tentu separah bayangan Edward. Perlu pengkajian yang lebih dalam.
"Jangan ngerangkai fakta yang belum teruji" ujarnya mencoba menenangkan. Tapi wajah Edward mengeras.
"Elu ga bisa ngomong gitu!" cetus Edward.
"Elu ga ada di posisi gue!" sergahnya kembali.
"Dia harus dilaporin ke Polisi!" geram Edward dengan gusar. Kemudian mengalirlah semua caci maki terhadap menantunya itu.
Alex diam sambil menarik nafas dalam. Ia memberikan waktu kepada Edward untuk mengeluarkan semua isi hatinya. Tak ada gunanya melawan klien yang emosional. Pada dasarnya mereka datang untuk didengar. Bukan digurui. Mereka datang untuk menyelesaikan masalah. Bukan diceramahi.
Perlahan amarah Edward sedikit menurun. Dengan tangan agak gemetar ia meraih secangkir teh dihadapannya.
"Robert itu lulusan Harvard. Pintar dan kaya. Tidak mungkin dia melindas kaki istrinya hanya karena ingin bercerai dan memiliki hartanya" kata Alex dengan nada pelan.
"Dia bisa bilang ke polisi kalo dia ga sengaja khan?" lanjut Alex tersenyum. Edward mendengus seperti segan untuk mengakui.
"Dan gimana kalo justru Angel sendiri yang membantah suaminya sengaja?" sambung Alex retoris.
Edward nampak termangu. Itu mungkin saja. Pikirnya. Matanya tetap tertuju kepada Alex yang seperti biasa sangat tenang dalam memberikan nasihat hukum.
"Laporan ke polisi hanya membuat semuanya kacau. Akan tercipta jurang perbedaan pendapat yang semakin besar"
Mata sipit Edward semakin mengecil. Berusaha menimbang kembali semua opsi yang ada.
"Tahan dulu sebelum kita punya bukti" pungkas Alex menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Edward termangu cukup lama. Berusaha meredam kemarahannya. Berusaha berpikir dengan jernih. Memang benar kata pengacaranya. Banyak hal yang wajib untuk didalami sebelum mengambil keputusan.
Ia lalu menghela napas berat. Bola matanya bergerak liar nampak berpikir keras. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit-langit ruangan. Lalu ia menghembuskan nafasnya dengan keras. Membuat beberapa dokumen nampak melambai dan terjatuh dari meja. Edward hanya diam sambil menatap lembaran dokumen yang jatuh itu. Matanya meredup sayu. Lelah.
Lalu dengan pelan ia kembali meraih cangkir teh dihadapannya dan meneguknya sekali. Tidak lama ia melirik jam tangan Seiko yang dimilikinya sejak masih muda. Kacanya retak. Rantainya sudah kusam. Namun jam butut itu yang menemaninya sampai menguasai dunia.
11.30.
Edward lalu mencondongkan badannya ke depan untuk berbicara beberapa hal dengan Alex. Adam tidak bisa mendengar sedikit pun yang mereka bicarakan. Sayup-sayup terdengar ocehan Edward dalam bahasa Cina. Sementara ayahnya hanya mengangguk-angguk dengan kedua tangan terlipat di dada. Posisi duduknya tidak berubah dari tadi. Tetap menyender ke kursi itu. Kursi yang umurnya jauh lebih tua dari Adam.
Kemudian mereka nampak berdiri lalu berjalan menuju sebuah pintu jati di depan ruangan. Alex membukakan pintu itu. Mereka terlihat berpelukan. Setelah itu Edward keluar ruangan.
Alex berjalan pelan kembali ke meja kerjanya. Pria tua itu kembali duduk di kursi kebangsaannya. Ia nampak terpekur sambil memainkan sebuah boneka kayu didekatnya.
Sementara Adam menatap keluar jendela. Kemacetan didaerah Kemayoran nampak jelas dari gedung itu. Cuaca sangat terik. Membuatnya malas untuk keluar. Padahal sudah jam makan siang.
"KISS" ujar Alex memecah keheningan. Adam menoleh kearah bapaknya. Ia tidak mengerti.
"Keep It Simple" lanjut Alex sambil menatap Adam yang hanya terdiam. Alisnya berkerut. Nampak berpikir.
"Kok S-nya cuman satu?" tanyanya bingung.
"Stupid!" jawab Alex enteng. Memandang tajam kearah anaknya. Lalu ia mengekeh.
Lalu Alex menjelaskan bahwa KISS adalah metodenya dalam berkomunikasi. Metode penyampaian opini hukum yang menyederhanakan segala yang rumit namun tidak melupakan fakta.
Alex mengingatkan Adam bahwa klien pada dasarnya menggunakan jasa pengacara karena awam hukum. Sehingga menjelaskan semua tehnis hukum justru akan kontra produktif. Klien tidak akan mengerti. Akhirnya klien akan memilih mempercayai pemahaman mereka sendiri yang belum tentu benar.
"Tiap kali penjelasan papa terlalu berbelit maka saat itu pun papa mengingatkan diri sendiri untuk KISS"
"Keep It Simple, Stupid!"
Adam tertawa masam sambil menggaruk kepalanya dan mengangguk-angguk. Metode yang aneh namun masuk diakal. Ia sadar bahwa yang dikatakan bapaknya itu benar. Otak semata tidak dapat menggerakkan hati setiap orang. Ingatan fotografinya tidak akan berarti apapun karena pada dasarnya klien menyewa jasa pengacara untuk menyelesaikan masalah. Bukan mencari informasi. Sudah ada Google untuk itu.
Seluruh pendapat hukumnya memang selalu sulit untuk diterima Edward. Sebaik apapun penelusuran data hukum yang dilakukannya. Berbanding terbalik dengan bapaknya yang mampu membuat Edward mengerti dan menerima masukannya dalam waktu setengah jam.
"Iya, Pa" jawab Adam singkat sambil tersenyum.
Alex ikut tersenyum. Melihat Adam selalu membuat hatinya hangat. Ingin rasanya selalu memeluk bocah itu. Rasanya baru kemarin ia menggendong anak itu kemana saja ia pergi.
Alex menguap.
Hari ini sebenarnya cukup melelahkan. Ada beberapa pertemuan yang harus ia hadiri. Padahal ia sudah pensiun. Kliennya memang banyak yang ingin langsung berkonsultasi dengannya. Terutama Edward. Ia selalu mengganggu jam tidur Alex yang akhirnya menyerah lalu terpaksa menemuinya hari ini.
Namun sejujurnya bukan karena terpaksa.
Sebetulnya Alex merasa bertanggung jawab. Ia menyimpan hutang budi yang besar kepada Edward. Hutang budi yang tidak dapat dibayarkan oleh uang sebanyak apapun.
Angel adalah anak Alex yang diadopsi Edward.