Mercedes itu berhenti dengan anggun di lobby Menara Jakarta. Si Bapak berjalan pelan namun pasti. Semangat kerja masih terpancar jelas dari sorot matanya. Padahal umur si Bapak sudah lebih dari 70 tahun.
Lia, sang sekretaris kantor, tampak datang membantu lalu membawakan tas kerjanya. Dengan sigap ia berjalan di depan kemudian masuk ke dalam lift menuju lantai 7.
Wangi kayu putih. Pikir Lia geli sambil melirik Bapak tua yang berdiri di hadapannya itu. Sosok bersahaja yang sangat di hormati di kantor hukum tempatnya bekerja - The Prasasti Law Firm. Sebuah kantor hukum tua yang didirikannya hampir setengah abad yang lalu.
Agak aneh. Pikir Lia.
Pak Alex, begitu si Bapak tua itu biasa dipanggil, sebetulnya sudah pensiun. Tapi entah kenapa seisi kantor sangat sibuk kemarin. Katanya Pak Alex akan datang hari ini. Biasanya ada kejadian yang maha lieur. Pikir Lia sambil memperhatikan si Bapak.
Sekitar 10 detik kemudian, pintu lift itu kembali terbuka. Di hadapannya nampak seorang pria berbatik coklat menyambut si Bapak yang tersenyum lebar.
"Apa kabar, pah?" ujar lelaki itu merunduk sambil mencium tangan dan pipinya. Bapak tua itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum dan mengusap pelan rambut pria berbatik coklat itu.
"Baik, sayang. Agak masuk angin sedikit" kekehnya.
"Gimana anak-anak?" tanyanya lembut.
"Kangen katanya, pah" senyum pria berbatik itu.
"Minggu besok mau main ke rumah katanya" sambungnya tersenyum sumringah.
Si Bapak tampak mengekeh pelan sambil berjalan menuju pintu besar.
Di hadapan mereka nampak papan nama berukir emas yang dikelilingi pilar ala renaissance menuju lobby resepsionis. Lalu seorang wanita muda menghampiri kedua pria berbeda umur itu sambil tersenyum. Ia mempersilahkan mereka untuk masuk ke ruang meeting disamping lobby. Di ruangan itu nampak serangkaian kursi terjajar rapi di depan meja besar dengan mini theater di depan untuk menyaksikan persidangan.
Tidak berapa lama sebuah pintu di samping ruangan itu terbuka dengan suara mendesis pelan. Si penjaga pintu nampak mengangguk ramah sambil menekan tombol dimejanya.
"Selamat pagi, Pak Alex" sapanya ramah.
"Selamat pagi, Pak Adam" sambungnya kembali sambil tersenyum ke arah pria berbatik coklat itu.
"Pagi" balas si Bapak tersenyum. Sementara Adam membalasnya dengan mengangguk.
Pintu kembali mendesis dan tertutup setelah kedua pria berbeda umur itu masuk. Harum bunga mawar segera menyerbak. Mereka kemudian berjalan menyusuri lorong yang panjang dan temaram. Terlihat lukisan alam disetiap sisi dindingnya. Kemudian beberapa foto keluarga saat si Bapak menggendong anak-anaknya sampai foto wisuda mereka. Ada juga saat Lebaran dikampung halaman.
Lorong itu berakhir pada sebuah titik buntu. Adam lalu menggerakkan jarinya ke sebuah remote yang menempel di jam tangannya. Kemudian titik buntu itu terbuka dan terlihat sebuah taman air. Gemericiknya terdengar damai dan menenangkan. Diiringi lirih suara musik yang mengalun pelan nan syahdu.
Bapak tua itu menghampiri sebuah kursi besar di ujung ruang. Ia pun duduk dengan perlahan. Pinggulnya yang pernah patah beberapa tahun yang lalu membuatnya harus berhati-hati di umur yang sudah tidak muda ini.
Bapak itu menghembuskan napas lega ketika sudah duduk. Di tatap meja kerjanya yang bersih tak berdebu. Di elusnya pinggiran kayu meja itu dengan kenangan berkecamuk dalam benaknya. Pria tua itu tersenyum. Ia merasa berada dirumah. Ia menghela napasnya. Lalu ia mengangkat wajahnya dan melihat Adam sudah duduk dihadapannya.
"Kasus anak Pak Edo agak rumit, Pa" Adam langsung membuka pembicaraan.
Alex, si Bapak tua itu, terdengar mendehem pelan. Ia meraih sebuah cangkir di hadapannya lalu meminum air putih itu seteguk dua teguk. Anaknya ini memang tidak pernah kenal basa basi. Selalu langsung pada intinya.
"Beliau menginstruksikan agar harta anaknya tidak jatuh ke pihak suaminya" lanjut Adam kembali.
Alex mengangkat alis kirinya sedikit.
"Ada Prenup?" tanyanya.
Adam hanya menggeleng. Prenuptial Agreement, alias perjanjian bagi harta, memang ironisnya sering dilupakan para kaum jet set yang justru sebenarnya paling membutuhkan perjanjian model begini. Apalagi mengingat perkawinan mereka yang tidak pernah lama. Namun apa boleh buat. Kadang Prenup ini dianggap suatu hal yang tabu karena seperti menyangsikan sebuah cinta abadi.
Alex menganggukkan kepalanya sambil membuang pandangan keluar jendela. Air mukanya berubah menjadi keruh. Menggambarkan kebingungan yang dalam. Tanpa sadar ia mengurut keningnya sambil beberapa kali mendehem. Ia pun kembali meminum air putih itu. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Kemudian ia menatap kembali mata anaknya. Menanti penjelasan berikutnya.
"Angel sekarang berada dirumah sakit..." lanjut Adam dengan nada menggantung. Ia terdiam agak lama seperti memilih kata-kata. Alex memiringkan kepalanya kesebelah kiri sambil memicingkan matanya.
"Lho kenapa?" tanyanya.
Adam menatap mata Bapaknya dengan lekat. Kasus kecil seperti perceraian memang selalu berpotensi menimbulkan sebuah konflik yang jauh lebih besar dan pelik dibandingkan konflik perusahaan. Adam pun menghela nafas.
"Kakinya dilindas mobil suaminya..."