Walaupun bapak, seorang yang tempramen. Tapi, aku ingin selalu ada disampingnya.
~Altair's children
#_#_#_#_#_#_#_#_#_#_#_#_#_#_#_#_#
Hari-hariku berjalan lancar di SMA ber-asrama ini. Kegiatan belajar mengajar, serta ekstrakurikuler yang di fasilitasi oleh sekolah ini.
Aku mengikuti eskul bernyanyi, menari, dan menulis. Aku memiliki jiwa seni yang tinggi, karena aku melihat segala sesuatu dengan berbagai imajinasi.
Walaupun sekolah ini SMA, aku mengenakan jilbab begitu pun Ilke sahabatku.
Hari ini pelajaran tambahan tentang public speaking. Entah mengapa aku sangat tidak suka dengan pelajaran ini.
Mungkin aku adalah orang yang tidak menguasai hal itu. Tidak seperti teman-teman ku yang lain, bisa dengan mudahnya menguasainya.
"Oke anak-anak saya akan memberikan materi berbicara di depan umum pada bab selanjutnya, buka halaman 65" titah pak Udin guru pelajaran public speaking.
Kami serempak mengeluarkan buku dari loker kami masing-masing.
"Tugas yang kemarin bapak kasih, sudah dipersiapkan semua kan?"
Suara gemuruh para siswa yang cemas cemas harap pak Udin akan melupakan tugas itu.
"Oke, coba Devin kamu maju"
Suara hati yang menunjukkan kelegaan untuk semua siswa. Tapi, tidak untuk Devin.
Devin adalah salah satu siswa pintar, anak teladan dan kebanggan guru-guru.
Dia menguasai hampir di setiap pelajaran. Devin juga salah satu cowo populer di SMA-ku.
"Woy Ra! Biasa aja dong liatin Devinnya hahaha" ujar Ilke mengagetkanku.
"Apaan si ke, engga juga"
"Yee enggak apenye, dari tadi jelas-jelas bola mata elu ngeliatin dia"
"Enggaaaak..." Pungkasku.
"Btw emang ganteng si, pinter, terus kaya anak baik-baik" lanjutku sambil pura-pura menulis sesuatu, agar tidak ketahuan pak Udin kalau kita sedang ngobrol.
"Selamat siang semua" ucap Devin membuka pembicaraannya di depan kelas.
"Tema yang akan saya bawakan pada kesempatan hari ini adalah..."
"Al apa kabar ya? Gue gak berhenti mikirin dia setiap hari. Harus jagain bapak yang sering marah-marah itu. Sedangkan Al masih umur 6 tahunan. Bisa apa bocah umur segitu buat ngelawan bapak kalo lagi main kekerasan fisik? Gue...."
"Ayra, sekarang giliran kamu"
Ku tersadar dari lamunanku, gagap dan tidak tahu harus membicarakan apa di depan.
"Aa.. anu.. pak.. sa-.. saya??"
"Iya kamu, Ayra"
Dengan terpaksa, aku memboyong tubuh ku untuk maju kedepan.
Sekelibat aku papasan dengan Devin, entah hanya perasaanku saja atau memang benar Devin melirik kearahku.
Makin gugup lah diriku ini, buyar tidak fokus untuk apa yang akan aku bicarakan nanti.
"Se.. sel-amat sore" saking groginya, aku salah menyebut waktu.
"Siang kali Ra" ucap Ilke membenarkan.
Seluruh siswa menertawakan ku, aku makin tidak fokus.
Urghh, fokus Ra! Fokus.
"Oh iyah hehe pak, Se-lamat siang semua" ucapku mantap.
"Pada kesempatan kali ini, saya akan membawakan tema hak cinta dan kasih sayang"
"Pada dasarnya, cinta dan kasih sayang itu indah bila di rasa, namun tidak terlihat. Hampir semua sisi kehidupan ini memiliki unsur cinta. Seperti cinta pada pekerjaan, cinta pada diri sendiri. Artinya, bersyukur atas apa yang dimiliki"
"Tapi tak jarang orang melupakan hak cinta itu sendiri, yang seharusnya cinta itu indah, hangat, dan penuh kebersamaan yang harmonis dalam suatu hubungan"
"Namun, dengan mudahnya seseorang melabeli 'cinta' dengan kekerasan. Padahal, sudah sangat melenceng dari makna cinta itu sendiri..." Aku terdiam sejenak menahan tangis yang bergejolak.
"Kekerasan atas dasar cinta telah merebak dalam istilah "Patriarki", budaya yang merendahkan seorang wanita seolah derajatnya tidak ada harganya"
"Padahal, posisi wanita yang sering tidak dianggap oleh oknum yang tidak bertanggung jawab itu, merampas hak wanita dan anak-anak untuk disayang, dicinta, dijaga bukan untuk disakiti"
Ucapku panjang lebar, yang begitu saja mengalir tanpa persiapan apapun.
"Sangat disayangkan, jika itu terjadi kepada orang-orang disekitar kita"
Tangisku pecah, tak tertahankan lagi. Sepertinya aku berbicara sesuai keadaan hatiku tadi ketika sedang melamunkan Al.
Sorak sorai para siswa di kelas, dan tepuk tangan yang bergemuruh, menambah emosi yang sedang bergejolak dalam benakku.
Setelah selesai berbicara, aku kembali ke tempat duduk.
Ilke mengusap-usap punggungku, dengan keadaan ku yang masih menangis. Malu dan bangga menjadi satu, malu karena telah menangis di depan banyak orang, dan bangga karena tiba-tiba aku bisa berbicara di depan.
*****
"Ayra ya?"
Tanya seorang wanita yang tiba-tiba datang menjenguk ku di asrama, aku tidak pernah bertemu dan mengenalinya.
"Iya, saya Ayra. Maaf kakak siapa ya?"
"Kenalin, nama kakak Yasmin, masa lupa?" ucapnya mengenalkan diri, sembari menyodorkan untuk berjabat tangan.
Masa lupa?
Pertanyaan ini sungguh gak berarti apa-apa. Gue aja baru kenal dia.
"Kak Yasmin? Kita pernah ketemu sebelumnya? atau pernah kenal?" Tanyaku keheranan.
"Engga, engga. Maksudnya gini, saya punya kelemahan pada ingatan saya jadi sulit untuk mengingat seseorang" lanjutku menjelaskan.
"Hehe kamu gak perlu inget-inget kakak siapa. Kakak, adalah kakak sedarah kamu"
Apa lagi ini? Ternyata aku punya kakak kandung? Sejak kapan, dan kenapa baru sekarang dia ada?
"Kakak sedarah ya? Maaf kak saya gak ngerti maksud kakak. Atau gak, mungkin kakak salah orang kali ya, kalo gitu saya panggilin Ayra yang lain aj....."
"Eh, gausah gausah. Kamu Ayra Altair kan? Kakak, Yasmin Altair"
Aku makin bingung, maksud orang ini apa? Tiba-tiba memperkenalkan diri bahwa dia kakak ku?
"Tapi, walaupun nama kita sama, bukan berarti kita bisa langsung dikatakan sedarah tanpa bukti kak"
Mendengar ulasanku, kak Yasmin tampak mencari sesuatu di dalam tas nya. Lalu, dia mengeluarkan secarik foto dan memberikannya kepadaku.
"Sebelum kakak kasih foto ini, kita ngobrol di dalem aja yuk, boleh gak kira-kira?"
"Oiya, aku lupa maaf kak, ayo silahkan masuk"
*****
"Jadi, gitu ceritanya"
"Hmm, oke kak makasih buat penjelasannya. Dan, makasih juga udah bawain makanan sebanyak ini"
Kak Yasmin juga membawakan aku 3 kantong plastik makanan dari supermarket.
"Oh iya, kakak datang kesini juga mencoba mengulurkan tangan, karena emak pergi kerja. Kakak juga ngerasain sedih nya ditinggal seorang ibu"
Mengenai hal ini memang jujur aku sedih. Tapi, kini aku sangat bingung harus percaya kepada siapa dan bertanya kepada siapa untuk masalah kakak kandung ku yang baru saja tiba-tiba hadir.
Sungguh aneh.
"Makasih kak sebelumnya karena udah perduli datang kesini. Maaf jadi ngerepotin" ucapku seraya tersenyum.
"Enggak kok, gak ngerepotin sama sekali. Kalo ada apa-apa, hubungin kakak aja ya"
"Oke ka"
"Hmm, kakak pulang dulu kali ya, udah mulai sore nih"
"Ohh iya ka, aku anter yuk sampe depan"
Aku mengantar kak Yasmin pulang, masih tersimpan beribu pertanyaan di dalam benakku tentang hal ini.
"Kakak pamit ya"
"Iyaa kak, hati-hati ya dijalan" aku melambai tangan kearahnya.
Tampak mobil yang terparkir di depan gerbang asrama.
Ternyata dia punya mobil? Dari mana? Bapak dan emak saja tidak sanggup membayar kontrakan rumah. Apalagi untuk membeli mobil. Katanya, dia kakak ku? Ahh, pikiran ini sangat menganggu.
Mobil itu melaju pergi, aku pun melambai.
*****
"Gue bingung Ke, gue harus gimana dong? Harus banget gitu percaya sama kak Yasmin, Yasmin itu? Sedangkan, dia aja baru gue kenal sekarang"
"Coba lu inget-inget dulu, kan katanya dulu lu pernah kecelakaan dan kepala lu cedera parah. Mungkin ada memori yang elu lupa"
"Susah juga ya punya ingetan yang lupa, makin bingung gue setelah dia ngasih foto ini" ucapku sambil menyodorkan foto ku dengan kak Yasmin semasa kecil.
"Lah, ini elu bukan?"
"Iyaa itu gue, kok bisa ya gue sama sekali gak inget"
"Yaa, namanya juga masih kecil. Mana ada yang inget masa kecil nya"
"Tapi seenggaknya, ada memori yang bisa bilang 'iya' gitu Ke"
"Yaudah, lu kerjain dulu tugas buat besok gih, daripada pusing mikirin beginian"
"Yaelah Ke, yang ada gue makin pusing kali. Gue mau ke toilet dulu ya"
"Yaudah, sana"
Aku beranjak pergi dari kamar asrama menuju toilet.
Ketika sedang berjalan ada seseorang yang memanggilku.
"Ra!"
Aku menoleh kearah suara itu, dan itu ternyata adalah Devin.
"Loh Devin, ada apa ya?"
"Ah enggak Ra, gue manggil lo aja"
"Ohh gitu"
Kenapa aku sedikit canggung ya? Padahal di kelas pun sering bertemu dengan Devin.
"Hmm, oiya Ra selain itu gue juga mau kasih lo ini" ucap Devin sembari memberikan secarik kertas dilipat rapih.
"Apa ni? Ini buat gue?"
"Iya itu buat lo"
"Oh, ngomong aja kali. Segala pake surat gini Vin" aku membuka kertas itu.
"Ehh ehh bukanya nanti aja kalo Lo udah di kamar"
"Emang apa sih?"
"Udah, ntar aja lo buka di kamar ya"
"Iyaa deh, makasih ya"
"Makasih juga ya udah diterima kertasnya, gue duluan ya"
Aku hanya mengangguk.
Devin beranjak pergi. Entah ada angin apa dia memberikan ku kertas seperti ini.
Setelah selesai dari toilet, aku meletakkan surat yang diberikan Devin di atas meja belajar ku.
Aku langsung terlelap tanpa membuka apa isi surat tersebut.
*****