Chereads / My Annoying Father / Chapter 12 - BAGIAN 11

Chapter 12 - BAGIAN 11

"memaafkan adalah gerbang hati menuju kebahagiaan"

~

•••

#_#_#_#_#

Ku pandangi sebuah alat pendeteksi suhu badan, yang baru saja ku tempelkan pada sikut Eshaal, adikku.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi dengannya, sehingga suhu badannya bisa begitu panas.

Aku tak kuasa melihatnya terbaring sakit seperti ini. Ku peluk tubuh mungil nan putih nya, rasanya ingin aku saja yang merasakan ini semua.

"Al, ko bisa sakit gini?"

"Gak apa-apa ka Ra, Al gak sakit ko"

Al merasakan gatal pada bagian kakinya. Ketika celana Al tersingkap terlihat sebuah benjol bernanah dan terdapat beberapa di kakinya.

"Al ini kenapa? Ko bisa sampe begini?"

"Ka Ra jangan di obatin ya, nanti juga sembuh sendiri. Al takut, nanti sakit kalo di obatin"

Sungguh dia adikku yang kuat. Seluruh beban yang ia tanggung sendiri walau umurnya masih sangat belia.

Aku hanya bisa memeluknya, dengan menitikkan air mata. Begitu miris melihat Al seperti ini.

Tanpa ada penanganan dari bapak sekalipun, entah bapak tahu atau tidak mengenai hal ini.

Bapak juga terbaring di kamar samping, ahh sungguh menyayat hati.

Ku buatkan Al makan dan minum, dan beberapa obat untuk meredakan panas nya.

Mak, Ayra gak kuat lihat Al sendirian begini. Sekarang dia merasakan sakit, dan tidak ada yang mengobatinya seorang pun. Tetangga pun tidak ada yang tahu. Untung saja aku nekat kabur dari asrama, karena pikiran ku terganggu memikirkan tentang Al.

Aku tidak membayangkan betapa semraut- nya pikiran ku, dengan hal yang tidak-tidak.

Al satu-satunya harta yang paling berharga, aku tidak mau kehilangan Al. Tapi aku tidak bisa selalu ada untuknya sekarang.

"Al, makan dulu ya, ka Ra suapin"

Al terduduk lemas pada sandaran kasur, aku tahu ia pasti sedang tidak nyaman dengan rasa sakit yang dirasa.

"Ka Ra ko bisa pulang? Al kangen ka Ra! Al seneng juga ka Ra bisa pulang. Jadi Al ada temennya"

"Iya dong, ka Ra pasti pulang buat Al"

Aku membelai kepala Al dengan penuh rasa iba dan senang bisa bertemu Al.

"Al juga takut sama bapak ka Ra, bapak suka pukul-pukul Al pake sapu kalo Al gak nurut"

Aku terdiam dengan perkataan Al, tidak menyangka akan apa yang sudah terjadi padanya.

"Bapak juga marah-marah terus ka Ra, Al juga jadi gak betah di rumah. Jadi Al lebih suka main di rumah Edo"

"Edo siapa Al?"

"Itu tetangga yang baru aja pindah kesini"

"Ohh, Al suka main sama Edo?"

"Iya ka Ra, Al luka begini juga karena luka yang gak dibersihin. Kadang kalo Al abis dipukul Al luka"

"Al kenapa baru bilang?" Aku menitikkan air mata sambil sedikit ditahan, enggan melihat Al semakin bersedih.

"Al takut kalo bilang ka Ra, nanti makin diomelin bapak"

Aku lanjut menyuapi Al dengan rasa haru yang begitu mendalam. Al begitu lahap, di setiap aku menyuapi makanan dari tanganku.

"Al dari pagi belum makan ka Ra, ini baru makan ka Ra suapin Al"

"Emang Al kalo makan gimana selama emak pergi?"

"Al disuruh ambil makan setiap hari ke rumah om Ari, tapi Al lagi sakit begini jadi Al gak ambil"

Prankkkk!!!!

Suara dentuman keras dari kamar samping yang membuat aku dan Al kaget bukan kepalang.

"Astaghfirullah, sebentar ya Al. Ka Ra lihat dulu"

Aku pergi menghampiri suara itu, dengan sangat hati-hati.

Ketika aku buka pintu kamar samping, dan kudapati bapak terduduk di kasur menghadap cermin yang pecah. Entah diapakan sampai cermin itu tidak berbentuk lagi.

"Gua lapar!" Ucap bapak sembari melirik tajam kearahku.

"Bapak lapar? Sebentar ya Ayra sendokin makan"

Dengan hati yang begitu lara, melihat kejadian yang baru saja terjadi. Aku menjawab kalimat bapak dengan lemas.

"Mana Al? Dia gak ngambilin makan ke rumah om Ari? Gimana si!?"

"Al juga lagi makan pak, tunggu sebentar"

Kutinggal bapak ke dapur untuk ku sendoki nasi. Aku juga membuatkan segelas teh manis untuk bapak.

Ketika aku sedang menyiapkan untuk makan bapak, ada suara keras dari dalam.

"Kenapa kamu gak ngambil makan!? Bapak lapar dibiarin aja hah??!"

Tangan bapak ku tangkas cepat ketika bapak ingin memukul Al.

"Pak, kan ini udah Ayra buatin makan. Yaudah tenang dulu gausah pake marah-marah" dengan lembut ku tahan emosi dan tangisku.

Al sudah meringkuk di dalam selimut dan piring di pangkuannya. Terlihat nafas Al yang mengembang-kempis dari luar selimut.

"Ngapain di pegangin!" Ucap bapak protes "lepasin!"

"Aku gak mau lepasin sebelum bapak sadar, bahwa perbuatan bapak salah"

Lantas bapak menurunkan tangannya, menatapku tajam seperti singa bertemu mangsanya. Nafas bapak juga tersenggal dadanya naik-turun mengikuti irama emosi pada dirinya.

Sedikit demi sedikit bapak mundur, bapak melengos sebelum akhirnya benar-benar memunggungi aku dan Al.

Aku menghela nafas panjang, lalu menghampiri Al. Karena tak tega melihatnya sedang sakit dan harus menanggung ini juga.

"Al, lanjut makan ya abisin nasinya. Biar minum obat dan nanti cepet sembuh" aku berusaha tersenyum di depannya, agar mencairkan suasana.

*****

Malam hari datang menyelimuti, lewat langit yang temaram. Aku bersiap-siap untuk pergi ke supermarket terdekat, membeli beberapa bahan makanan pokok karena persediaan di rumah sudah menipis.

"Al, ka Ra ke supermarket dulu ya"

Al hanya mengangguk, lalu kembali meringkuk dalam selimut.

Ku susuri menuju gerbang depan. Terlihat ada seorang laki-laki di rumah sebelah yang sedang membuka gerbang juga.

"Ayra ya?" Tanyanya membuka pembicaraan.

"Tau dari mana?"

"Al sering ngomong kalo dia punya kaka perempuan"

"Ohh" aku mengangguk.

"Mau kemana?"

"Mau ke supermarket di depan"

"Ohh kalo gitu sama, bareng aja yuk" ajaknya sembari menutup pintu gerbang rumahnya.

"Okee"

Akhirnya aku dan laki-laki yang baru saja ku kenal tanpa nama itu berjalan bersama menuju supermarket. Karena kebetulan jarak supermarket dan rumahku tidak terlalu jauh.

Tak ada pembicaraan khusus karena aku sendiri tidak bisa membuat topik pembicaraan. Sungguh, itu adalah kelemahanku.

"Oiya, Al mana? Ko gak keliatan dari pagi. Biasanya dia main ke rumah bareng Edo, adik saya"

"Al lagi demam, saya juga mau beli beberapa obat nanti ke apotek, sekalian"

"Loh, sakit dia? Pantes aja"

"Kamu baru keliatan keluar rumah ya?"

"Ah, enggak. Saya sekolah SMA asrama saya— lagi izin pulang" ucapku ragu, padahal aku kabur dari asrama.

"Ohh, anak asrama keren banget!" Pujinya, sambil memperlihatkan mata berbinar bahwa itu benar-benar pujian yang tulus.

Aku tersenyum mendengar kata pujian yang terlontar dari lisan laki-laki itu.

*****

"Oiya, saya ke apotek dulu, kamu langsung pulang juga nggak apa"

"Saya ikut aja ya, sekalian nemenin udah malam soalnya gak baik perempuan sendirian"

"Nggak apa nih, nanti ditungguin gak?"

"Engga ko saya beli ini buat saya sendiri" jawabnya meyakinkanku.

"Iya udah"

Aku ke apotek memberikan resep yang tadi sore dokter berikan. Sore tadi aku mengantar Al ke dokter, karena tidak tahan melihat kondisinya. Walau Al awalnya menolak, tapi aku memohon dengan sangat kepada Al demi kesembuhannya.

"Permisi, ini resepnya"

"Oke, tunggu sebentar" ucap apoteker sembari membawa kertas resep obat yang ku berikan.

Laki-laki yang sejak tadi menemaniku, memilih duduk di bangku yang disediakan di tempat itu.   Sambil memegang ponselnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang plastik belanjaan.

Mungkin karena sudah malam apotek ini sepi pembeli, hanya ada 2 orang apoteker yang bertugas dan kami pengunjung.

"Ini obatnya, diminum 3 kali sehari yang sirup. Dan ada salep juga dipake pagi dan malam saja" ujar apoteker menjelaskan penggunaan obat.

"Oke, terimakasih banyak ya mbak"

"Semuanya jadi berapa?"

"Lima puluh ribu"

Aku mencari secarik uang kertas di dalam dompet, namun tidak kutemukan uang kertas lima puluh ribuan.

"Ini mbak uangnya" ujar laki-laki itu langsung memberikan uang lima puluh ribu pas.

"Eh, jangan jangan ada ko ini uangnya. Duh- mana si"

"Udah nggak apa, buat Al kan obatnya. Anggep aja salam perkenalan kita"

Aku menatapnya lekat mencari keyakinan akan ucapannya itu.

"Nanti kuganti yah"

"Gausah, beneran"

"Iya udah, makasih banyak ya". "Makasih juga mbak"

"Sama-sama" ujar laki-laki itu seraya tersenyum.

Jalanan ketika malam tidak seramai ketika pagi dan siang. Jalanan pun lenggang, hanya terlihat beberapa pedagang asongan seperti; mie tek-tek, martabak, sate dan beberapa warung-warung kecil.

Terlihat juga bapak-bapak yang sering mangkal di warung bu Eni, yang menjajakan rokok para 'ojek pengkolan' di komplek ini.

"Neng Ayra, dari mana aja neng" sapa bu Eni.

"Eh iya bu, abis dari depan"

"Ohh iyaa toh, sama siapa itu neng?"

"Ini tetangga sebelah bu"

"Ganteng toh tetangga nya, tak kirain pacar mu"

"Hehe bukan bu, iya udah bu pak saya duluan ya" ucapku pamit kepada bapak-bapak yang sedang nongkrong juga di warung bu Eni.

Aku dan laki-laki itu melanjutkan perjalanan menuju rumah, dengan tanpa kata dan pembicaraan setelah bu Eni berbicara seperti itu. Mungkin karena jadi canggung aku dan dia enggan untuk berbicara.

Sesampainya di rumah, aku melipir menuju gerbang rumahku.

"Terimakasih banyak ya, sudah nemenin dan bayarin obatnya"

"Iya sama-sama, salam buat Al semoga cepat sembuh"

"Iya nanti saya sampein" aku melempar senyum kearahnya dan dibalas olehnya. Lalu aku membuka pagar untuk masuk.

"Oiya, besok ada waktu? Kita jogging sekitar komplek bisa?"

"Mungkin bisa, nanti saya usahakan" jawabku tidak berjanji, karena besok ada banyak pekerjaan rumah.

*****

Jeng jeng!

Cieee yang penasaran sama si laki-laki tanpa nama. Hehe

Balik lagi sama Ayra dan keluarganya nih!

Stay tune terus ya readers🤗 jangan lupa share ke temen-temen kamu biar yang belum tahu jadi tahu deh.

Yaudah gitu aja, jangan lupa vote dan komen yang ambyar ya yuhhu♥️