Chereads / My Annoying Father / Chapter 9 - BAGIAN 8

Chapter 9 - BAGIAN 8

"Mak, pokoknya Ayra gak mau pindah dari sini. Temen-temen Ra disini semua mak"

Aku dan Al merengek untuk membujuk emak agar tidak pindah rumah, ke daerah Jakarta.

"Ra, kita bakal dapet rumah yang lebih layak secara gratis dari om Ari"

"Emak mau dibohongin kaya apa lagi sama om Ari? setelah bapak di-PHK dari kantor? Terus apa lagi? Apa mau sampe kita tidur dijalanan dulu baru emak sadar?"

"Ra gak boleh ngomong gitu, om Ari bantuin kita ikhlas"

"Gak ada yang menjamin mak! Hati orang ikhlas atau enggak. Udah cukup karena dibohongin keluarga sendiri"

"Usaha kita bangkrut Ra, mau bayar kontrakan dari mana lagi? Semua barang habis dijual-jualin. Seenggaknya sebelum emak kerja jauh, emak bisa tenang kalian punya tempat tinggal yang layak"

"Ketenangan bukan untuk diperjual belikan mak, lebih tenang tidur dikontrakan sederhana daripada pada harus dipermainkan sama keluarga sendiri!"

Aku melengos meninggalkan kata-kata yang cukup membuat emak terdiam dalam tangisnya.

Satu minggu sebelum kepergian emak bekerja, aku izin pulang dari asrama.

6 bulan sudah aku melalui kehidupan baruku di asrama. Begitu pun aku telah melaksanakan ujian pertama ku disana.

Ujian semester genap, dan aku berhasil mendapat prestasi yang memuaskan.

Hidupku sudah melewati banyak tantangan. Bahkan kekerasan sekalipun, sudah menjadi santapan setiap hari.

Namun, Tuhan Maha Adil. Dia, memberikan ku kelebihan pada akademik. Otakku masih berjalan normal dan baik, walau otak ini sering menjadi sasaran kekerasan, bentakan, dan teriakan.

Aku masih tidak mengerti, dan tidak bisa membedakan hal baik dan buruk. Yang aku tahu, aku menjadi pribadi yang sangat penurut karena 'takut diomeli'.

Sehingga otakku tak bisa bekerja dengan baik, untuk membedakan mana hal yang harus kuturuti dan mana yang tidak.

Aku membantah pun tak ada harganya, jadi percuma saja aku mengutarakan pendapatku yang tidak akan pernah di dengar sampai kapanpun.

Termasuk keputusan emak dan bapak untuk pindah rumah, yang dijamin oleh om Ari.

Aku tidak mengerti bagaimana status om Ari dalam keluarga ini. Yang jelas bukan dari keluarga emak dan bapak.

Tapi, kehadirannya seperti sangat dihormati. Aku tidak pernah setuju akan hal itu.

Apa memang semua anak tidak berhak untuk memberi pendapat? Apa anak hanya untuk 'boneka' orang tuanya yang harus selalu menuruti apa kata mereka?

Sekarang aku paham, mengapa aku sangat setuju atas keinginan emak untuk aku bersekolah di asrama.

Untuk pelarian.

*****

Aku duduk termenung pada sebuah ranjang yang lebih empuk. Menangisi keadaan yang takkan pernah kembali lagi.

Pindahnya rumah, tak membuatku sedikit pun bahagia. Walau dengan seonggok rumah yang lebih bagus karena terlabeli dengan kata 'perumahan'.

Aku menangis pada sebuah kekecewaan.

Kehilangan teman-teman, kehilangan tempat bermain, kehilangan kenangan. Dan kini, aku harus memulainya dari awal.

Aku bukan sosok anak yang pandai bergaul dan mengenal orang-orang dengan mudah. Aku tidak suka dengan orang baru.

Dimana aku menumpahkan segala kejenuhan di rumah. Dengan sikap emak dan bapak yang tidak mengerti ku.

Sosok teman bermain lah yang aku andalkan untuk menghilangkan semua itu.

Bagaimana 'orang baru' akan mengerti keadaanku, dan siap untuk menampung kesedihanku?

Aku tidak pernah mempercayai 'orang baru' yang hadir di dalam hidupku.

Orang yang kukenal sejak kecil saja bisa mengecewakan ku. Bagaimana mereka yang baru ku kenal? Mungkin bisa lebih dari itu.

Samar ku dengar suara tangisan di kamar sebelah. Ku seka air mata yang ku ratapi di depan jendela 'rumah baruku'.

Ku hampiri suara itu.

Ternyata, Al sedang menangis pula. Dan memang bukan aku saja yang tidak menerima atas keputusan ini.

Pasti Al merasakan apa yang ku rasakan, dia merasa kehilangan apa yang sudah ia punya. Dan ha mengganti dengan hal yang baru.

Ku duduk di samping tubuh nya yang melingkup kearah kasur, aku di- punggungi olehnya.

Kuusap lembut punggung yang kembang kempis, karena menghirup udara yang tertekan karena tangisnya.

Mencoba menenangkan sebisaku, walau hatiku pun sedang rapuh.

"Ka Ra, Al gak mau pindah kesini"

"Gak seburuk yang dibayangin ko buat pindah kesini, Al bisa lebih banyak dapet temen yang baik disini" tuturku menasehati Al.

"Tapi, Al kangen sama Iki, Ropi, Ajay" ujarnya sambil menyebutkan teman-teman nya yang juga ku kenal.

Lantas, setelah Al mengatakan itu-- aku memeluknya.

Entah, aku tak mengerti. Karena aku berada di posisi yang sama dengan Al. Kami berdua menyatukan rasa, meluapkan apa yang ada dihati hanya berdua.

'Di kamar baru kami'.

*****

"Ra lo kenapa si?" Tanya Ilke yang kebingungan melihatku sedari tadi hanya terdiam di kantin asrama.

"Makan dong keburu di lalerin deh tuh somay" lanjut Ilke, menegaskan.

Aku yang tersadar dari lamunanku, hanya menghembuskan nafas.

"Hmm, gini nih di lalerin yang benerannye. Punya sahabat tapi kagak mau cerita. Dieeeem aja kaya badut bega" ujar Ilke dengan gaya betawi nya yang khas.

Membuatku sedikit tertawa renyah karena omongannya yang menggelitik.

"Ntar juga kalo udah enak, gue cerita ko"

"Yaa nunggu sampe lu ke ujung berung dulu kali baru cerita"

"Engga ko" ujarku mulai tersenyum.

"Eh nih mau gak somay gue ke, gue kenyang" ujarku sambil berdiri untuk meninggalkan kantin asrama.

"Idih, makan apaan lo kenyang, dari tadi somay nya aja kaga di comot-comot. Aneh nih orang" ujar Ilke nyerocos sembari melahap somay yang aku tawarkan padanya.

Aku tidak menghiraukan perkataannya. Aku langsung pergi meninggalkan Ilke.

"Ehh, mau kemana Ra?? Tungguin gue" Ilke melahap dan membawa piring-piring somay itu sembari mengejarku.

"Ra, beneran nih lo gamau somay nya? Enak tau sumpah" Ilke membujukku untuk tetap memakan somay yang ada di tangannya.

"Nyesel lo gamau somay nya"

Aku masih terdiam, dan Ilke menemani aku berjalan menuju kamar.

Dan, sekali lagi Ilke berkata;

"Aish, gua kasih kesempatan sekali lagi. Lo gamau somay nya?"

"Yaelah ke, tinggal satu begitu somay nya makan aja kali" ujarku seadanya.

"Okaay" Ilke menaikkan alisnya.

"Menurut lo, gue berhenti dari asrama ini terus kerja atau gimana ya? Tanyaku mengejutkan Ilke yang sedang menelan somay terakhirnya.

"Bontor guo nolon dolo" ("bentar gue nelen dulu") ucap Ilke memaksakan untuk berbicara, karena somay besar yang memenuhi mulutnya.

"Maksud lo apa ko tiba-tiba minta berhenti dari asrama?"

"Yaa, gue cari pengalaman baru aja. Kali gitu, kalo kerja lebih enak"

"Hahahaha, dimane-mane orang kerja tuh pusing Ra. Lu malah mau kerja, aneh"

"Yaa semuanya juga pusing si"

"Yaudah mangkanya jalanin aja dulu satu-satu, biar jelas hidup lo"

"Oke kali ini lo berhasil ngambil hati gue"

"Ilke gitu, anak jekardehnya baba enyak"

"Iya iya Ilke.."

Sahabat yang gokil ini selalu bisa membuatku geli akan tingkahnya.