Chapter 10 - Shock

Tabrakan itu tidak menimbulkan hal apapun, termasuk sebuah buku yang tidak terjatuh sama sekali dari orang yang ditabraknya itu. Tapi, sekilas Rafael berhasil melihat judul buku yang dibawa orang itu, sebelum orang tersebut menjawab, "Tidak, tidak masalah kok. Sudahlah, tak usah dipikirkan." Kemudian pergi dari hadapan Rafael.

"Tujuh Crystal Permata," dalam hatinya yang tidak terlalu penasaran juga dan kembali melanjutkan pencariannya. Akhirnya ia menemukan buku itu tepat pada pandangan pertama, sesuai dengan yang dikatakan Staff tadi.

Pada hari seninnya, Rafael kembali ke sekolah dengan status terbarunya sebagai pahlawan tengah malam, tanpa diketahui oleh orang-orang.

"Hei! Kau kemarin pulang lewat jalan mana?" tanya Ivana yang tak sengaja berpas-pasan dengan Rafa di depan kelas.

"Aku kan sudah bilang, Aku masih hafal dengan jalan yang kulewati ketika menuju rumah itu. Memangnya kenapa?"

"Aku kira, Kau yang melompat sambil membawa pedang di tangan. Mataku masih kabur, saat sekilas melihat seseorang yang melompat tinggi di depanku. Jadi, Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas."

"Jadi, Kau pingsan di jalan?" ucap Rafael yang berpura-pura tidak tahu.

"Benar. Aku pingsan dengan mereka bertiga, saat kami melihat sesuatu yang besar dan aneh, berjalan keluar dari cahaya lampu jalan."

"Tapi, untung saja kalian semua, bisa pulang dengan selamat. Dan untungnya juga, Aku tidak bertemu dengan hal yang Kau bicarakan itu."

"Ya sudahlah, Aku ke kelas. Oh iya! Sekarang, Kau yang jadi ketua kelompok di tim ini kan?" sahut Ivana saat beranjak dari pandangannya, sambil tersenyum.

"Hei, hei.., tung-"

"Sudahlah, kami semua sudah mengakuinya, kalau Kau bisa diandalkan dalam kerja kelompok." Hal itu membuat Rafael tersenyum malu oleh sanjungan Ivana kepadanya. Tapi, Rafael tak mau berlarut-larut dalam sanjungan itu.

Ia kembali memikirkan perkara berlatih pedang, untuk mencari seseorang yang bisa melatihnya berpedang. "Harus dimulai dari mana ya Tuhan?" dalam hatinya. Tak lama kemudian, Rafael bertemu Natalie yang datang dari arah berlawanan. "Kenapa Kau lewat sini?" sapa Rafael.

"Aku habis dari ruang olahraga, untuk mengambil sarung tanganku yang tertinggal kemarin. Lalu, wajahmu kenapa terlihat kebingungan begitu? Apa Kau butuh bantuan?"

"Memangnya, Kau bisa membantuku dalam perkara ini? Kau kan cewek."

"Memangnya perkara dalam hal apa? Sampai-sampai Kau meragukan Aku, karena Aku cewek?"

"Karena ini soal beladiri teknik pedang. Aku sedang mencari pelatih pedang, agar Aku bisa menguasainya dengan benar."

"Hah...!" kaget Natalie. "Untuk apa Kau ingin menguasai teknik pedang? Kau ingin berkelahi dengan siapa? Apa Kau ingin menjadi jagoan di sekolah?" kata Natalie dengan raut wajah kesal.

"Aku ingin menguasainya hanya untuk kegiatan di luar sekolah saja. Aku benar-benar penasaran dengan teknik pedang, tapi bukan dengan pedang sungguhan."

"Kau serius? Hanya penasaran saja, dan sama sekali tidak mempunyai pedang sungguhan? Apalagi niat untuk berkelahi dan melukai orang?"

"Gila sekali Aku jika menggunakannya untuk melukai orang! Apalagi kalau Aku mempunyai pedang sungguhan. Kenapa pembahasannya jadi mengerikan seperti ini. Padahal niatku hanya ingin mempelajari cara mengayunkan pedang, dan menangkisnya saja. Sudahlah," kata Rafael yang seketika wajahnya menjadi muram, dan membuat Natalie tersentuh saat melihatnya.

"Eh tunggu!" panggil Natalie, menahan Rafael yang hendak pergi darinya.

"Ada apa? Apa ada yang tertinggal?" ucap Rafael sebelum ia menoleh lalu melihatnya tersenyum. "Aku bisa mengajarimu."

"Kau bercanda ya? Aku sedang tidak bergurau Nata....!"

"Tidak. Aku juga tidak sedang bergurau padamu! Aku pernah berlatih pedang bersama adikku, dan yang melatih kami adalah teman papaku. Aku hanya berlatih setengah jalan saja, tapi itu sudah cukup untuk kami membela diri."

"Apa?! Ka-kalau begitu. Kau punya pedang sungguhan dong? Woah, bahaya sekali jika Kau menggunakannya! Padahal Kau sendiri yang bilang jangan melukai orang," kata Rafael yang mendadak pucat wajahnya.

"Tidak. Aku tidak punya pedang sungguhan sama sekali, tapi kami hanya memakai pedang kayu biasa. Saat di sekolah, Aku bisa menggunakan sapu ijuk."

"Rupanya begitu." Rafael menarik nafas lega. "Kalau begitu, Kau memangnya bisa mengajariku berlatih pedang? Kau kan hanya belajar setengah jalan?"

"Kau sendiri yang bilang, hanya ingin belajar mengayun dan menangkis. Kalau hanya itu sih, Aku bisa mengajarimu sampai bisa."

"Kalau Aku ingin mengasahnya bagaimana? Siapa tahu Aku berpikir untuk menjadi atlet."

"Ya, kalau itu sih. Kau berlatih sendiri saja untuk selebihnya. Pakai saja alat-alat kreatif untuk membantumu berlatih."

"Seperti apa? Apa Kau punya alat latihannya?"

"Nanti Aku tunjukan sewaktu berlatih. Kau siapkan saja kayu untuk pedangmu."

"Tunggu, jadi Aku membuatnya sendiri? Bukannya Kau, yang menyediakan pedang kayu untuk latihanku?"

"Tentu saja tidak. Aku hanya punya satu yang masih kusimpan dengan rapih, tapi kalau punya adikku ya, sudah tidak ada." Natalie mendadak cemas saat mendengar bel masuk telah berbunyi. "Sudah ya, Aku tidak mau terlambat." Natalie mulai bergerak cepat pergi darinya.

"Tu-tunggu!" ucapan Rafael yang menghentikan langkah Natalie. "Kenapa? Masih kurang jelas?"

"Apa tidak bisa siang hari saja? Atau pagi-pagi lebih baik?" pinta Rafael. "Masa Aku harus izin lagi?" dalam hatinya.

"Aku hanya punya waktu jam empat sore di hari sabtu, sudah ya" ucapnya sebelum pergi dengan cepat dan menghilang dari pandangannya.

"Ya, sudahlah," ucap Rafael sebelum berbalik menuju kelasnya.

Pada waktu istirahat pertama, ia berencana untuk mengajak Mickle pergi ke kantin bareng, namun ia dipertemukan lagi dengan kejadian waktu itu. Terlihat, Mickle yang tengah dihadang oleh tiga preman yang waktu itu, saat berjalan di pertigaan lorong dari lantai yang sepi itu.

Rafael yang melihatnya dari arah belakang Mickle, langsung bersembunyi dibalik sebuah pilar karena terkejut dan mencoba memikirkan sesuatu.

"Kenapa tiga preman sekolah itu masih mengganggunya? Padahal, uang yang kuberikan waktu itu, banyak sekali nominalnya." Lalu terdengarlah suara perseteruan di antara mereka berempat, di lorong yang benar-benar tak dilewati orang-orang.

"Kalian mau apa? Bukannya sudah berjanji untuk menjauh dariku?" ucap Mickle yang terlihat tenang dari sebelumnya.

"Apa? Janji? Jadi Kau percaya, kami memegang janji itu?" Mereka tertawa lepas seakan yang paling berkuasa di sana.

"Jadi sebenarnya, kalian berbohong pada kami waktu itu? Lalu, Kalian akan menggangguku lagi setelah menghabiskan uangnya? Cepat sekali, Kalian habiskan uang sebanyak itu?"

"Sudahlah, tak usah banyak bicara lagi. Sekarang, berikan pada kami uangmu itu!" katanya sambil menyodorkan tangan.

"Tidak akan lagi kubiarkan, kalian menindasku seenaknya," jawab Mickle yang terlihat tanpa rasa takut saat menentang mereka.

"Kenapa Kau lancang sekali? Sudah mulai berani ya? Mentang-mentang, Kau pernah ditolong teman waktu itu."

"Yang lancang itu kalian, sudah diberi uang masih saja suka menggangguku. Tak ada kehidupan lain kah?"

Satu tinju dengan cepat menghampiri wajah Mickle sebagai targetnya. Seolah dalam gerakan lambat, Mickle tetap terlihat tenang hingga hal yang tak terduga mengagetkan mereka.

"Apa? Bagaimana bisa?" tercengang Bos preman brengsek itu, saat tinjunya dihindari Mickle dengan mudahnya.

"Justru karena waktu itu ditolong teman, Aku tidak mau kejadian yang sama terulang kemba-" ucapannya yang terpotong, saat menghindari tinju yang melayang kembali padanya. Merasa kesal tinju keduanya tak kena, akhirnya ia bertubi-tubi melayangkan tinjunya ke wajah Michael, tapi tetap saja berhasil dihindari oleh Mickle tanpa kena sedikit pun.

Hingga membuat Bos itu kelelahan sekaligus tambah kesal dengannya, lalu menyuruh anak buahnya untuk memegangi kepala Mickhael. "Hahaha...," tawa puas dari Bos itu yang terlihat senang, sambil satu tangannya mencengkram kerah Mickhael. "Dengan begini kita lihat, apakah Kau bisa menghindarinya?" ucapnya dengan raut wajah menyebalkan.

Rafael yang sejak tadi memperhatikan mereka, terkejut dengan perlakuan tak adil dari mereka. "Kalau begini bisa gawat! Mungkin Dia bisa menghindari semua serangan tadi dengan mudah. Tapi jika begini, sangat mustahil. Aku harus bagaimana? Tidak mungkin Aku menggunakan jurus itu."

Para Preman itu dibuat kaget, saat Mickle maju selangkah ke hadapannya. "HoHo... Kau tidak sabar ingin dipukul ya? Atau, Kau berubah pikiran untuk minta maaf? Tapi, Aku yang minta maaf lebih dulu karena sudah terlambat untuk minta ma-"

Mickhael langsung memutar siku dari tangan yang mencengkram kerahnya, dan yang tertekuk ketika Mickle maju selangkah. Sehingga cengkeramannya terlepas dari kerahnya, dengan badan Bos tersebut yang setengah berputar. Dengan cepat, Mickle langsung menendang betis dari Bos preman itu dan membuatnya terjatuh di depannya.

"Apa? Dia bisa bela diri? Sejak Kapan?" dalam hati Rafael yang kaget melihatnya. Setelah Bos itu terjatuh, dengan cepat ia mendorong kedua dagu kanan kirinya, ke atas, sehingga tangan mereka terlepas dari kepala Mikhael.

Namun, satu orang bergerak cepat merangkul Mikhael dari belakang, tapi Mickhel tak kalah cepat mengambil kakinya serta mengangkatnya seperti orang menggendong, lalu membantingnya seperti yang dilakukan Rafael saat melawan pencuri itu.

Lalu yang masih berdiri, dengan cepat melayangkan pukulannya ketika Mickle berhasil menjatuhkan temannya. Namun, Mikcle berhasil melakukan guntingan kaki lebih dulu padanya, dan membuat lawannya terjatuh sebelum pukulannya berhasil.

"Woah, hebat." Rafael terpukau melihat pertarungan itu yang dibalut oleh kejutan, tegang dan emosi. Tapi keadaan itu berubah menjadi mencekam, ketika Bos itu bangkit berdiri dengan sebilah pisau di tangannya.

"Waduh, kalau begini bisa bahaya. Masa Aku harus melawannya dengan pisau pengupas buah? Ayo berpikir sesuatu," ucap Rafael sebelum mendapat ide cemerlang setelah lima detik.

"Baiklah, akan kucoba jikalau memang benar...," dalam hatinya.

"Hei....!" ucap Rafael sambil berlari menuju Bos preman itu, dan membuat pandangan mereka teralihkan. Ia berlari hingga mendapatkan bahunya, dan terjatuh bersamanya di jendela besar yang tengah diperbaiki, yang berada persis di samping Bos preman itu.

"Hei, Kau mengajakku mati?" ucap Bos itu dengan nada tinggi sebelum pingsan.

"Hahah, ternyata memang benar, Kau takut dengan ketinggian ya. Pantas saja Kau tak pernah naik lift," ucap Rafael sebelum mendarat di balkon gudang dan melompat kembali tanpa ketahuan siapapun, karena seluruh orang tengah beristirahat.

Sebelumnya, Rafael melihat Bos itu selalu menaiki tangga dan tak pernah naik lift. Ditambah lagi, sebelum kejadian mereka berkelahi, terlihat anak buahnya lebih dulu tiba satu menit sebelum Bos tersebut datang. Rafael melihatnya tengah berkeringat, yang membuatnya yakin, anak buahnya naik lift namun Bosnya menyusul lewat tangga.

Di kantin, setelah Rafael berhasil membawa Bos yang pingsan itu ke ruang UKS.

Terlihat, Mickle yang sudah memesan sepiring nasi di meja yang tengah kosong, maka Rafael menghampirinya dengan membawa sepiring makan siangnya. "Hei, kenapa Kau duluan? Padahal, Aku tadi ingin mengajakmu ke kantin."

Tapi Mickhael memajang wajah shock saat melihat Rafael baik-baik saja. "Ka-Kau... Kenapa? Tadi kan, Kau melompat dari lantai enam! Bagaimana bisa? Kau selamat?" kata Mickle dengan raut wajah heran sekaligus shock.

"E... itu ehm... Aku mendarat di gondola yang dipakai pekerja jendela, untuk memperbaiki kaca itu."

"Masa? Sewaktu Aku memeriksa Kau jatuh, Aku tidak menemukan apapun di gondola itu. Lalu, tidak ada orang-orang yang mengerumuni tempat Kau yang harusnya terjatuh. Kau lewat mana?" kata Mickle yang masih tak percaya dengan yang diceritakan Rafael.

"Aku mendarat di gondola yang untungnya saja berada di samping persis balkon lantai lima, ruang olahraga. Kau sendiri tahulah, cukup luas ukurannya. Jadi Aku bisa pindah dengan mudah, ke balkon yang berada persis disampingku. Supaya Aku bisa keluar dari situasi tadi."

"Orang itu bagaimana? Apa dia baik-baik saja?"

"Si bos preman itu pingsan sewaktu terjatuh tadi, karena shock. Tenang, Aku yang menggendongnya dari balkon lantai lima, ke ruang UKS lantai lima. Makannya, bahuku agak terasa pegal," ucapnya sambil memijat bahunya.

Padahal dalam hatinya, "Sebenarnya, Aku menggendongnya dari lantai satu ke ruang UKS lantai dua."

"Oh begitu ya. Tapi, untuk apa Kau loncat seperti tadi. Kau itu sangat nekat sekali tahu!

"Karena, Aku sudah menemukan kelemahannya selama ini. Aku mulai berpikir dia sangat takut ketinggian setelah sering melihatnya naik tangga, dan sewaktu menghadangmu tadi dia sudah berkeringat. Tapi karena Aku masih ragu, ya Aku mencobanya saja."

"Tetap saja, itu namanya nekat. Aku benar-benar dibuat shock harus melakukan apa. Untung saja Kau selamat."

"Kau sendiri, sejak kapan bisa bela diri? Aku juga dibuat shock sewaktu melihatmu tadi, yang tiba-tiba bisa berkelahi," kata Rafael dengan tatapan dingin.