Sungguh keadaan yang benar-benar tak terduga dan begitu mendesaknya. "Seharusnya Aku berhati-hati dahulu." Rafael mencoba bangkit berdiri, setelah punggungnya menerima rasa sakit dari hantaman keras itu. Rafael mulai kembali dalam posisi bertahan, untuk melawan kedua Mamon yang menyatu itu.
"Serangannya jauh lebih cepat!" ucap Rafael ketika menahan serangan mereka bertubi-tubi. Bahkan, lebih dari sekali Mamon itu berhasil mengenai Rafael karena tak sanggup menyaingi kecepatan dan kekuatannya.
Sangat terlihat jelas sekali Rafael telah terdesak oleh kondisi tubuh dan situasinya. Rafael melihat mulut Mamon itu yang menganga padanya, saat menahan serangan mereka tepat di depan matanya. "Menjijikan!" Lalu Rafael terpental, karena dua dari empat tangan Mamon itu, berhasil memukul celah dari pertahanan Rafael dengan sangat keras. Ia pun terhempas jauh ke langit dan kini yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah.
Namun Rafael teringat suatu hal ketika kitab itu terbuka, kecepatan cahaya lebih cepat dari kecepatan apapun di dunia. Rafael mulai menggunakan teknik pedang tersebut, dari skill yang baru saja terbuka yakni Skill 3 ; Lv 3, Kecepatan Cahaya!
Ia mulai mamasang pedangnya lagi, dengan terhunus ke depan sambil ia menjatuhkan diri ke bawah. Munculah cahaya yang menyelimuti badannya kemudian dalam sekejap menghilang, dari penglihatan mata apapun. Mamon itu tertawa lepas saat melihat Rafael menghilang begitu saja dan menganggapnya telah terbakar oleh atmosfer bumi.
Namun seketika, tertawa Mamon berkepala dua itu berhenti mendadak, lalu terlihatlah pada tubuh mereka telah terbelah-belah, menyisakan kepalanya yang masih di atas sebelum akhirnya lenyap begitu saja. "Tidak!" teriak Mamon itu. Satu detik setelahnya, terlihatlah Rafael berpose epic membelakangi mereka, ketika serbuk-serbuk Mamon itu berhamburan di udara.
"Fuhh...Fuhh..." lelah Rafael karena gerakan dari skill tersebut memakan energinya. "Aku harus membuat baju atau costumnya, untuk menutupi identitasku. Karena Aku tidak tahu kapan pertarungan ini akan ketahuan."
Sampailah Rafael di apartemen dengan kaki pincangnya, yang disebabkan oleh pertarungan tadi. Ia langsung terbaring lelah di ranjangnya, tanpa mempedulikan semua keringat yang masih menempel padanya.
Rafael menatap kosong tas ranselnya yang tadi ia lempar ke meja belajar. "Pertama-tama Aku harus membuat alat latihanku sendiri, setelah itu Aku akan mencari designer baju untuk membuat zirah hakim ku. Sepertinya akan sulit, jadi Aku akan latihan sambil mencarinya."
Lalu Rafael terbangun dari kasurnya, karena terdorong oleh rasa penasaran dengan jaket-jaket yang ia miliki. Rafael membuka lemarinya dan mengambil beberapa jaket kepunyaannya.
"Bagaimana jika sementara waktu, Aku memakai jaket ini dulu. Tapi, tidak boleh hanya bermodalkan jaket biasa. Sepertinya harus ku ubah sedikit."
Dengan semangat yang membara, Rafael memodifikasi sedikit bahan dari jaketnya itu. Menjadi pakaian yang diharapkannya, agar dapat menutupi identitasnya dari kepala sampai kaki.
Satu jam berlalu, "Aku menyerah. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk menutupi wajahku," ucap Rafael setelah menjatuhkan dirinya ke ranjang secara telentang.
"Aku memang harus pergi ke tempat penjahit, untuk membuat kerah yang bentuknya seperti masker." Rafael terduduk di kasurnya. "Benar juga, hanya itu cara yang bisa Aku lakukan untuk membuat mantelku. Tapi, bagaimana dengan designer yang harus kucari? Aku juga harus membuat mantel yang berkualitas. Ya sudahlah, untuk sementara pakai yang ada dulu."
Rafael merencanakan tanggal dan gambarnya untuk merombak jaket miliknya itu, menjadi seperti yang diharapkannya. "Baiklah. Dengan begini, Aku bisa beristirahat dulu untuk memulihkan rasa penat ini...!" ucapnya sambil meregangkan tubuh.
Pada tanggal yang telah direncanakannya, Rafael pergi ke sebuah tempat jahit baju yang berada tak jauh dari apartemennya.
Dengan membawa jaket miliknya dan desain sederhana yang telah ia gambar waktu itu, Rafael masuk ke toko jahit tersebut.
"Permisi Kak!"
"Iya, ada yang bisa Kami bantu?" jawab lembut dari kakak-kakak cantik di sana.
"Bisa buatkan ini pada jaket Saya tidak? Maaf, jika desainnya tidak jelas."
"Oh jelas kok desainnya. Tapi, hanya ingin dibuatkan ini saja?" ucap salah satu dari mereka yang paling dekat dengan Rafael, dan yang lainnya lanjut bekerja.
"Iya, Aku cuma perlu membuat masker yang menyatu dengan kupluk nya."
"Untuk Cosplay karakter apa? Aku tidak pernah lihat permintaan cosplay seperti ini."
"Cosplay? Aku tidak pernah dengar apa itu cosplay."
"Cosplay itu semacam pesta costum, tapi berasal dari jepang. Biasanya, mereka memakai costum dari karakter-karakter fiksi kesukaan mereka."
"Oh, begitu rupanya."
"Lalu untuk apa Kau meminta dibuatkan ini? Katanya bukan untuk Cosplay?" kata kakak cantik itu dengan raut wajah heran.
"Iya, memang bukan untuk Cosplay. Tapi, untuk pesta kostum biasa yang diadakan di sekolahku."
"Begitu ya."
"Kak. Aku boleh menambahkan desain lainnya tidak? Setelah mendengar Cosplay, ada yang ingin ku tambahkan agar terlihat bagus."
"Oh, tentu saja boleh," kata Kakak itu sebelum memberikan gambar desainnya.
"Ehm.. bisa tolong gambarkan tidak? Maaf kak, Aku tidak lihai dalam hal menggambar."
"Baiklah. Tidak ada masalah," ucap Kakak itu yang menariknya lagi.
"Terima kasih. Aku ingin pada bagian sebelah kanan dari pinggangku, ditambahkan tempat atau semacam saku untuk buku ini," kata Rafael sambil menunjukan kitab yang selalu dibawanya. Kakak itu kemudian mengukur ukuran kitab itu lalu memasukannya ke dalam catatan. Tapi secara tidak sengaja, Kakak itu menjatuhkan kitabnya, sehingga terbukalah isi dari kitab itu yang disaksikan mereka.
Mereka terdiam seketika dan saling bertatapan satu sama lain, hingga Kakak itu mengeluarkan reaksi yang mengejutkan. "Great! Permintaan costumnya sangat sederhana, tapi aksesorisnya setotalitas ini?"
"Ah, iya terima kasih," jawab Rafael yang lega ketika mendengar itu dan kitab itu dikembalikan padanya.
"Kau kembali saja lusa. Untuk jahitan rapih dengan pemintaan sederhana, pasti bisalah."
"Baik. Kira-kira harganya berapa? Tolong jangan dimahalin untuk seorang pelajar sepertiku."
"Ehm... sepertinya gratis saja untukmu."
"Hah? Kenapa? Kan Kakak juga butuh uang."
"Tidak. Permintaanmu itu sangat sederhana sekali dan mudah dilakukan. Setidaknya Kau minta dibuatkan Costum yang luar biasa pada kami! Masa Kau cuma ingin menambahkan masker dan saku buku saja?"
"Sebenarnya, Saya juga ingin membuat costum yang Kakak maksud itu. Tapi, Aku belum menemukan desainer yang bisa membuatkannya."
"Apa Kau meragukan kami untuk membuatnya? Asal Kau tahu, Kami juga bisa membuat permintaan costum sesulit apapun!"
"Benarkah? Aku tidak tahu sama sekali. Baiklah, kalau begitu Aku ingin membuat costumnya, seperti assassin dengan kupluk dan masker menyatu. Tapi jangan menggunakan mantel jubah ya. Aku tidak mau terpeleset atau terganggu dengan jubah itu."
"Kau mau kugambarkan lagi? Untuk lebih jelasnya?"
"Iya."
Kakak itu langsung memanggil temannya yang bernama Andrew, salah seorang temannya yang berumur dua puluh lima tahun. "Iya, ada apa Jessy?"
"Coba Kau gambarkan lebih detail costumnya, yang dipinta anak ini."
"Aku bukan anak-anak kak. Aku seorang pelajar yang duduk di kelas sebelas IPA dua puluh."
"Oh, sorry. Namamu siapa?"
"Aku Rafael."
"Namaku Jessy, dan yang ini Andrew, yang akan menuangkan imajinasimu ke dalam gambar."
"Tunggu. Kenapa Kau memintaku yang menggambar? Bukannya Kau juga bisa menggambar, atau tanganmu sedang terluka?" kata Andrew.
"Aku sehat-sehat saja. Tapi Kau kan tahu, kalau Aku tidak bisa menggambar costum bergenre fantasi. Apa yang Kau bilang tadi Rafa? Asasi, asa.."
"Maksudmu assassin?"
"Nah iya itu. Rafael ingin membuat costum itu untuk pesta kostum di sekolahnya. Tapi Dia tidak tahu, kalau kita bisa membuat permintaan costum sesulit apapun."
"Oh, jadi Kau ingin membuat Costum fantasi? Coba ceritakan dengan jelas sesuai imajinasimu."
"Aku ingin membuat costum seperti assassin, berwarna biru malam dan Aku tidak ingin memakai jubah. Lalu ada tempat saku untuk kitab ini dan atas kepalanya, Aku ingin memakai topeng dan kupluknya tidak mudah melorot. Kalau bisa topengnya menyatu dengan kupluknya." Andrew menggambar beberapa menit.
"Baiklah, seperti ini kah yang Kau maksud? Atau masih kurang keren?" kata Andrew sambil menunjukan gambarnya.
Rafael terpukau melihat gambar yang melebihi ekspetasinya. "Tidak Kak. Ini justru sudah sangat keren. Aku mau yang ini, tolong buatkan yang ini untukku."
"Kau ingin membuatnya dengan jaketmu itu?" tanya Jessy.
"Tidak. Aku ingin memakai bahan yang sesuai dengan kenyamanan ku dan tidak menyulitkan pergerakan ku."
"Lalu bagaimana dengan permintaan sederhana jaketmu ini, jadi atau tidak?"
"Tentu saja jadi. Untuk sementara, Aku mau pakai jaket sederhana dulu. Tapi tetap gratis kan?" ucap Rafael dengan senyuman manis.
"Ya, baiklah. Tapi untuk Costum yang itu. Kau harus tanyakan harganya pada Andrew."
"Untuk Costum mu ini, Aku beri harga satu juta rupiah."
"Hei, Kau kejam sekali. Berilah harga yang sesuai dengan kantong pelajar," kesal Jessy.
"Hehehe... Aku hanya bergurau saja. Tiga ratus lima puluh ribu bagaimana?" tanya Andrew.
"Deal. Aku sangat menyetujuinya."
"Kalau begitu, permintaan jaketmu Kau ambil lusa. Tapi yang Kostum ini, Kau kembali lagi tiga minggu," kata Andrew.
"Terima Kasih. Aku tunggu ya Kak Andrew dan Jessy." Rafael pergi dari toko itu dan mencatat jadwal pengambilannya di kamar apartemen miliknya.
Pada hari selasa, ketika tengah berlangsung istirahat di kantin sekolahnya. Rafael tidak sengaja, duduk dan makan siang bersama empat orang gadis yang mejadi kelompoknya.
"Kau belajar dari mana bisa membuat origami Naga? Kalau bukan Kau yang menambahkan ornamen unik di kerja kelompok itu, pasti tidak ada yang menonjol dari karya kelompok kita," ajak obrol Maya.
"Ah iya. Aku hanya belajar itu dari Kak Joshua."
"Padahal niatku ingin membuat Mamon katak yang kutemui itu, untuk membuat mereka kaget. Tapi malah dibilang Naga. Apa Aku salah melipatnya dan salah pada warnanya?" dalam hatinya.
"Kak Joshua? Kau punya kakak ya?" tanya Dewi.
"Tidak. Kak Joshua sama seperti Zaka. Hanya Kakak sepupuku."
"Oh begitu rupanya. Apa dia juga bekerja seperti Kak Zaka, kakak sepupunya Clara?"
"Ya begitulah. Tapi lebih tepatnya dia yang menjadi bosnya."
"Wahh, hebat sekali."
Steve datang bersama kelompoknya dari belakang empat sekawan gadis ini, yang ke empatnya duduk menghadap Rafael. Mereka berdua sempat bertatapan dari jauh, berlangsung selama beberapa detik, sebelum akhirnya Steve dan kawan-kawannya duduk di meja yang berada tepat di belakang Rafael, dengan hadap membelakanginya.
Terdengarlah suara gurau dari mereka yang sedikit mengganggu, hingga terdengar di telinga Rafael dengan empat sekawan gadis ini.
"Kemarin asik sekali ya. Game baru milik Rendy, benar-benar seru dan menyenangkan. Steve, Kau sangat lihai dalam mengambil itemnya."
"Ah, tidak juga," jawab Steve dari meja yang berada tepat di belakang Rafael, dan Dewi menjadikannya bahan obrolan. Tapi untung saja, jarak meja yang berada persis di belakangnya, menyisakan ruang untuk orang lewat.
"Sombong sekali mereka. Mentang-mentang, karya mereka mendapat nilai tertinggi."
"Maksud Kau apa? Aku tidak mengerti dengan pembicaraanmu," kata Rafael.
"Ah, Dewi hanya tidak terima saja dengan mereka berempat. Sebelum Kau dan Steve berpisah, kelompok kami selalu berseteru dengan kelompok mereka. Dewi hanya masih tidak terima dengan hinaan mereka waktu itu. Padahal, kemarin kita juga dapat nilai tertinggi, walaupun kedua," sahut Ivana.
"Berseteru? Apa maksudnya? Jadi kalian pernah punya masalah dengan mereka?"
"Benar. Semua dimulai dari kami yang mendapatkan nilai tertinggi, dan mereka selalu mendapat nilai terendah. Karena iri, mereka mulai menghina karya kami."
"Hah? Hanya itu saja? Kekanak-kanakan sekali kalian."
"Tidak kok, memang benar mereka menjelek-jelekkan kami, sampai pernah juga hampir merusak karya kami. Saat kami mengumpulkan karya aksesoris kami, pernah hampir saja rusak karena bersebelahan dengan aksesoris mereka. Waktu itu kami membuat karya yang berbahan dasar kertas, tapi hampir saja menjadi kacau, jika kami telat sedikit untuk mengambilnya."
"Apa? Kacau karena apa?"
"Karya mereka adalah dispenser mini dengan botol minum yang berisi air. Lalu tak sengaja tumpah dan hampir merusak karya kami, yang berada di sebelahnya. Oleh sebab itu, tak heran Dewi masih marah dengan mereka," jelas Ivana.
"Bukan hanya Dewi saja, Aku dan Maya juga masih marah dengan mereka," sahut Clara.
"Oh jadi seperti itu. Kalau Aku sih, masih biasa saja dengan Steve setelah kejadian itu."
"Kenapa Kau tidak marah? Padahal Dia sudah mengkhianati persahabatanmu."
"Untuk apa Aku berlarut-larut dalam marah? Tidak ada gunanya bagiku, yang berlalu ya sudahlah. Aku sudah mengampuni Steve."
Clara yang terlihat tidak percaya, hendak menguji Rafael. "Mustahil. Coba Kau panggil dan sapa rekan lamamu itu!" ucapnya.
Mata Rafael terbuka lebar seakan berdetak panik, sementara Clara tersenyum lebar padanya, sangat yakin sekali bahwa Rafael tak sanggup mengampuninya.