Rafael pelan-pelan menoleh kepada Steve, yang sedang duduk membelakanginya. Rafael sempat menoleh lagi kepada Clara, sebelum benar-benar menatap punggung Steve.
"Steve!" teriaknya yang sontak membuat mereka tak percaya dengan hal itu.
Steve menoleh biasa. "Iya? Kenapa Rafael?"
"Karya dari kelompokmu bagus juga. Pasti Kau yang paling banyak berperan ya? Aku salut sama hasil kerja tim kalian," ucapnya dengan wajah santai.
"Ah, iya, terimakasih banyak Rafael." Hal itu membuat mereka tercengang-cengang sebelum terheran, dengan apa yang dilihat mereka.
"A-apa? Kau benar-benar mengatakannya? Jadi, kau tidak berbohong ya," ucap Clara yang masih tak percaya akan hal tersebut.
"Sudah kubilang, Aku tidak mau sama sekali menjadi panjang lebar, dengan masalah yang tidak penting."
"Sepertinya Aku setuju. Karena selama ini hanya menjadi beban pikiranku saja. Pantas saja, Ivana sudah terbiasa dengan mereka."
"Aku sudah tidak memikirkan perkara yang itu, sejak dari awal mereka berbuat salah. Ya, Aku hanya tidak mau memperumit masalah yang tidak penting."
"Begitu ya. Baiklah-baiklah, mulai saat ini Aku tidak akan lagi dendam dengan mereka. Kalau dipikir-pikir, sesak juga karena membuat ku lupa menikmati hari yang cerah ini."
"Kau benar, Aku selalu melalaikan pekerjaan rumahku karena tak bisa berhenti memikirkan perkara mereka. Sulit sekali rasanya untuk focus."
Dalam hati Rafael yang melihat itu, "Emh... sepertinya dugaanku waktu itu, salah. Sejak kerja kelompok waktu itu, Aku tidak pernah mendengar obrolan Dunia dari mereka. Semoga saja memang benar dugaanku salah."
Melihat Rafael yang termenung, timbul satu pertanyaan dari Ivana kepadanya. "Rafa! Kenapa Kau diam?"
"Ha? Memangnya Aku harus apa?"
"Kau hanya menyapanya saja? Kau tidak mau join dengan mereka?"
"Tidak perlu. Aku tidak mau mengganggu mereka, meskipun Aku sudah memaafkannya. Bisa dibilang, ya kami dibatasi oleh kelompok."
"Kami tidak membatasi mu untuk join dengan mereka. Silahkan saja kalau ingin bergabung dengan mereka, agar Kau bisa berbicara lagi dengan Steve."
"Justru itu. Aku tidak mau mengganggu kesenangan mereka. Aku tadi sudah mengatakan kami dibatasi oleh kelompok!"
"Oh, begitu ya. hehehe," terkekeh Clara.
Lepas dari kejadian itu, Rafael mulai menyiapkan semua peralatan latihan ketangkasannya. Kaleng-kaleng, empat buah samsak, potongan karpet kecil dengan bentuk oval dan trampolin sedang.
Rafael membawa itu semua dengan gerobak yang sudah lama terbengkalai di lapangan kosong dekat apartemennya, juga ia menemukan terpal di samping gerobak yang bisa dipakai untuk menutupi isinya.
Tibalah Rafael di bukit belakang sekolah, dengan muatan yang cukup banyak di gerobaknya, mencari tempat yang cocok untuk area latihannya.
Matanya tertuju ke arah lahan yang tidak terlalu luas dan dikelilingi oleh rindangnya pepohonan. Bukan hanya itu, terdapat sejuknya angin dan asrinya pemandangan yang menjadikannya daya tarik bagi Rafael.
"Baiklah, sepertinya di sini cukup sesuai," kata Rafael setelah dirasa cukup. Tempat itu berada di bagian yang dekat dengan puncak bukit, dan jauh dari perkebunan orang-orang setempat. Rafael menurunkan muatannya dari gerobak tersebut, kemudian memasang setiap rintangan latihan dari alat-alat yang ia bawa. Tali-tali dipasangnya paling depan sebagai garis awal, berjarak satu meter antara satu dengan tali yang lain. Kemudian karpet-karpet kecil berwana merah oval, ditaruhnya Zig-zag setelah melewati tali-tali tersebut.
Lanjut setelahnya, trampolin untuk melompat sebelum mendarat di area kaleng-kaleng yang berjumlah lima puluh, bergantungan secara acak di ranting-ranting pohon sekitarnya. Dan yang paling akhir adalah empat samsak yang ditaruhnya di antara kaleng-kaleng bergelantung tersebut. Jadi, di saat Rafael menangkis dan memukul kaleng-kaleng yang terayun-ayun, Dia juga harus menghindari keempat samsak tersebut yang tidak tahu kapan datangnya. Setiap samsak digantung dengan arah yang berbeda dan ketinggian yang berbeda, begitu juga dengan kalengnya.
"Baiklah, Aku tidak boleh menyia-nyiakan waktu ini. Karena Aku sudah meminta izin yang ketiga kalinya dari Kak Joshua."
Ia berlatih dengan giat dan tekun, memacu semangatnya untuk bertambah lebih kuat dari sebelumnya.
Rafael berlari sepuluh kali melewati rintangan-rintangan talinya. Dengan teknik parkour yang dimilikinya, melewati rintangan tersebut yang kemiringannya berbeda.
Selepas melewati itu semua, ia melompat zig-zag sesuai dengan karpet oval berwarna merah yang ia letakan tadi. Barulah, ia mengeluarkan dan memanjangkan pedang pipanya, usai melompat dari trampolin, tiba di area kaleng dengan empat samsak berat yang siap menghantamnya.
Kaleng demi kaleng berhasil ia tangkis dan ia pukul, begitupun dengan samsak yang berhasil dihindarinya. Namun yang namanya latihan tidak selancar itu, beberapa kaleng tak dapat ia tangkis dengan mudah. Begitu juga dengan samsak yang sudah lima kali berhasil mengenainya.
Hingga langit berwarna merah senja, keringat sudah mengalir di seluruh tubuhnya, beberapa bagian pakaiannya telah kotor. Rafael menghentikan latihannya hari ini, sudah cukup baginya berlatih selama dua jam lebih, ditemani oleh pemandangan dan sejuknya alam sekitar.
"Aku akan melanjutkannya lagi di hari sabtu. Tapi, bagaimana dengan alat-alat ini? Tidak mungkin kubawa bolak-balik," ucap Rafa sambil mengelap keringatnya dengan handuk kering.
Kemudian solusi cermelang muncul di kepalanya. Membuatnya mengambil papan persegi yang tak sengaja dibawanya itu dan menuliskannya empat kata, dengan kapur yang juga didapatnya dari gerobak.
"Tempat Latihan! Jangan disentuh!" tulisan di atas papan tersebut yang digantungnya dekat rintangan pertama.
"Aku juga tidak terlalu yakin. Tapi semoga saja, tak ada orang yang melewati tempat ini," katanya sebelum meneguk minumnya. Rafael memasukan pedang lipatnya, ke dalam tas kecil yang menggelayut di bahunya. Dari arah selatan, ia mendengar suara orang tengah berbincang-bincang, terdengar seperti lebih dari satu orang bahkan lebih.
Rafael mulai turun dari tempatnya berdiri, sekitar dua puluh lima langkah berjalan, didapatinya sekelompok orang yang tengah berbincang-bincang. Terdorong oleh rasa penasaran, Rafael menghampiri mereka yang diduga adalah para petani kebun setempat. Dengan senyum dan sapa ramahnya, Rafael menjumpai mereka yang berjumlah sekitar sepuluh orang.
"Selamat Sore bapak-bapak!" ujarnya.
Mereka menoleh kepadanya. "Iya dek. Kenapa?"
"Bapak-bapak sekalian tidak berkebun hari ini?" tanya ramah Rafael.
"Tidak. Justru kami sudah selesai berkebun hari ini. Lihat, langitnya saja sudah menjelang gelap."
"Lalu, kenapa kalian tidak pulang ke rumah kalian? Apa ada acara di sini?"
"Ah, tidak. Kami hanya bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai pengusaha batu bara. Katanya, ia mau membeli tanah kebun kami dengan harga yang mahal."
"Benar! Kami juga dijamin akan diberi bonus dan perhiasan-perhiasan, untuk hidup yang lebih mewah, melepaskan kami dari status kemiskinan."
Mendengar hal itu, Rafael sepertinya mulai mengetahui siapa sebenarnya orang yang dimaksud mereka. "Oh iya. Orang yang kalian maksud sekarang berada di mana?"
"Dia baru saja pergi dari sini, tepat sebelum Kau datang. Katanya, sebelum matahari terbenam ia harus segera pergi dari sini, dan dia baru saja berjalan lewat sana."
Tanpa mengulur waktu, Ia langsung berlari ke arah yang ditunjuk oleh salah seorang dari orang-orang tersebut. "Terimakasih Pak!" teriaknya sambil berlari ke arah itu, sementara membuat terheran para petani itu.
"Sepertinya Dia juga mau menjual tanahnya ya?" kata seorang kepada yang lain.
"Tadinya ku kira penipu bisnis. Sepertinya bukan penipu bisnis, tapi satu Mamon yang sedang menghasut mereka. Aku harus cepat mengejarnya!" kata Rafael sebelum melompat dari pohon ke pohon dengan skill pasifnya.
Hingga telah mencapai pada kaki bukit, Rafael belum mendapatkan seorangpun yang dimaksud mereka. Hanya terlihat jalanan sepi yang mengelilingi kaki bukit itu dan akhirnya ia memutuskan untuk pulang, karena langit sudah benar-benar gelap.
Ia melompat jauh ke atap gedung sekolahnya yang menjulang tinggi, menikmati sejenak lampu-lampu kota yang menyala indah sebelum pulang. Ia iseng menoleh ke perumahan petani kebun, yang berada di belakang sekolahnya. Terlihat normal-normal saja, sebelum pandangannya teralihkan oleh bagian kaki bukit yang tadi ia pijak. Terdapat Monster mengerikan yang baru saja turun dari kaki bukit itu, sambil mencengkeram seorang petani pada tangannya.
Bentuk kepalanya seperti singa, dengan rambut-rambut tajam bak paku-paku yang melapisi kulit kepalanya. Satu tangannya terletak di depan dadanya dan yang satu lagi berada di punggungnya. Berjalan tidak jelas, kaki-kaki seperti belalang sembah dan tangan yang terletak di dadanya, menopangnya berjalan bak roda depan pesawat.
Satu tangan di punggung, mencengkeram erat petani yang terlihat pingsan. Bukan hanya itu saja, bola matanya yang berjumlah sekitar sepuluh, terletak berjejer di kedua tangannya. Benar-benar bentuk yang paling mengerikan, dari Mamon yang pernah ia temui sebelumnya.
"Hhwoek!" jijik Rafael melihatnya. "Seperti ini kah, kesombongan dan keserakahan dari manusia? Menjijikan sekali!"
Rafael tak bisa diam saja melihat seorang petani yang tengah pingsan tak berdaya, di cengkeraman Mamon menjijikan tersebut. Melesat cepat dengan skill pasifnya, Rafael menuju ke tempat Mamon itu berdiri.
Terjadi hembusan angin yang cukup besar, akibat dari pendaratan Rafael yang begitu hebat. Mamon itu terdiam saja memperhatikan kedatangan Rafael di hadapannya. Kemudian, Mamon tersebut tiba-tiba berdiri seperti belalang sembah, dengan tangan di dadanya menekuk di atas tanah, seperti mewaspadai Rafael yang mengeluarkan pedang berkilau birunya.
"Hei, Makhluk menjijikan. Enyalah dari muka bumi ini!" kata Rafael dengan tatapan dingin.