Chereads / Hakim Tengah Malam (Midnight Judge) / Chapter 16 - Suit (Costum)

Chapter 16 - Suit (Costum)

Rafael pergi bersama-sama dengan mereka, ke markas yang disebut-sebut sebagai Goa Pemburu. Ternyata tidak seperti namanya, tampilan dari luar tempat itu tampak seperti Cafe Classic yang di dalamnya ada meja-meja Cafe bergaya classic, sekaligus dengan interior classicnya.

"Jadi, seperti ini markas kalian? Tapi sebelumnya Aku tidak pernah menyangka, masih ada tempat seperti ini di kota ini," kata Rafael yang terduduk di meja bar depan orang itu.

"Kenapa? Jelek? Apa Kau tidak suka? Aku sudah membayar mahal designer interior ku tahu."

"Oh bukan begitu maksudku. Tapi yang ku maksud itu, ternyata masih ada tempat dengan interior cafe seperti film-film Cowboys. Dan Aku terpukau bisa ditemukan di kota ini."

"Begitu ya, terimakasih banyak. Aku sendiri yang mengusung tema ini," katanya sebelum disinggung oleh temannya yang datang memberi minum Rafael.

"Tentunya dengan mereka juga," lanjutnya.

"Terima kasih minumannya," kata Rafael kepada orang yang baru saja memberinya minum sambil menatap sinis temannya. "Jadi tempat ini benar-benar cafe di pemukiman ini ya? Kau menjual apa saja?" tanya Rafael.

"Macam-macam kopi, macam-macam dessert, terlebih lagi kopi yang spesial dari kopi berjenis classic."

"Ini kan di pemukiman petani kebun. Kenapa Kau membangun Cafe yang bergaya classical di tempat ini? Apa tidak ada tempat lain?"

"Pertama, karena sumbernya langsung dari petani kopi yang berkebun di bukit itu. Dan cafe ini berdiri di antara perbatasan pemukiman ini dengan dunia luar, bukan ditengah-tengah pemukimannya. Jadi strategis, dapat sumbernya dan dapat konsumennya."

Rafael berdesis, "Pantas saja berjalan jauh."

"Ah, Kau tadi bilang apa?"

"Oh tidak. Jadi, itulah sebabnya kau dan teman-temanmu menjadi hunter knight? Supaya mereka tidak menjual lahan mereka dan tetap bertani?" tanya Rafael.

"Iya. Kau benar sekali. Aku dan barista-"

"Ehem!" sahut seseorang dengan sengaja.

"Iya, maksudku. Aku dan teman-temanku ini, bersepakat untuk menyelesaikan perkara ini dengan menjadi Hunter Knight. Karena disamping itu, mereka percaya ada seekor monster yang terbangun dari tidurnya."

Mendengar hal itu, Rafael sedikit termenung, "Jadi yang membuat legenda-legenda masyarakat setempat, bukan mereka."

"Tapi tunggu dulu! Kalian berencana untuk mencegah lahan mereka agar tidak dijual, kan? Tapi, sebelum Aku bertemu dengan Monster itu, siangnya Aku menjumpai para petani yang sedang berkumpul. Saat kutanyakan, mereka sedang berunding untuk menjual tanahnya kepada seorang pengusaha batu bara. Dari situ Aku mulai curiga, orang yang dibicarakan mereka adalah Monster yang menyamar. Karena mereka diiming-imingkan kekayaan dan harta."

"Kau yakin sekali? Bagaimana Kau bisa sangat yakin kalau Monster itu berubah menjadi manusia di siang hari?"

"Aku membacanya dari novel, dan kejadian ini hampir mirip. Kemungkinan benar atau tidaknya, coba saja usir orang itu dengan mengajak orang-orang setempat. Jika sudah tidak ada kejadian di tempat ini, artinya Monster itu memang benar seperti dalam novel yang ku baca."

"Ah, benar. Bagus juga idemu nak."

"Aku hanya berusaha membantu," kata Rafael sambil meneguk minumnya, sebelum tiba-tiba kepalanya menjeduk meja bar di depannya.

"Pingsan?" kata orang itu yang kaget. "Hei! Kenapa kau pingsan? Bangun-bangun, ini hanya air biasa!" paniknya sambil menggoyang-goyangkan bahunya. Rafael terbangun dengan senyuman tanpa rasa bersalah. "Aku hanya bercanda, hehehe."

"Ha....," desis orang itu. "Kau membuatku panik saja. Untung, cafe ini masih tutup."

"Oh ya, kenapa Cafe ini masih tutup? Apakah gara-gara ada kejadian tadi?" tanya Rafael.

"Tidak. Kami memang seperti ini, menutup Cafe setelah matahari terbenam. Ya, kami sangat takut membahayakan pelanggan yang datang kemari."

"Jarak dari cafe ini dengan dunia luar, kan cukup jauh dan harus melewati beberapa jalan. Lalu kenapa Kau mencemaskan hal itu? Mana mungkin ada yang tahu, ada monster di sini."

"Aku dan barista ku, ehm maksudku teman-temanku tidak tahu sama sekali, kapan mereka atau di antara pelanggan kami yang mencoba iseng mendaki bukit itu. Maka dari itu, kami memutuskan lebih baik mencegah daripada ada jatuh korban."

"Mungkin Kau ada benarnya. Jadi bagi kalian semua Monster itu juga sangat menyusahkan ya. Oh ya, tadi sewaktu kalian menemukanku, kalian bilang pernah mencoba melawan Monster itu. Benarkah demikian?"

Orang itu tersenyum kecut. "Hehehe, sebenarnya kami hanya ingin membuatmu terpukau saja. Toh, Kau tadi juga tidak tahu kalau kami adalah Hunter Knight."

"Oh jadi begitu," jawab Rafael dengan ekspresi datar.

"Tapi bagaimana Kau dan kawan-kawanmu bisa tahu? Mengenai peraturan untuk tidak boleh memasuki bukit setelah langit gelap? Kalian kan tidak pernah melawannya, apakah peraturan yang kalian buat itu pura-pura?" lanjut Rafael.

"Tidak, kami tak berani bermain-main. Kami pernah melakukan pengintaian selama satu bulan, setelah kasus-kasus yang bermunculan tentang bukit ini. Dan kami menemukan fakta, bahwa Monster itu hanya keluar di saat matahari terbenam. Tidak pernah ada kasus di siang hari," terangnya.

"Kalau ada kasus di bukit ini. Harusnya mereka melaporkan hal ini kepada polisi kan?"

"Kami bergerak cepat untuk berdiskusi dengan mereka, agar tak melaporkannya ke polisi dahulu. Karena Kami tidak mau menjadikan tempat ini sebagai tempat berbahaya. Kau tahu kan, jika banyak orang yang tahu, pasti akan lebih kacau lagi keadaannya. Jadi, tolong Kau juga rahasiakan perkara tempat ini ya?" pintanya.

"Tidak masalah. Tapi apa Kau percaya, kalau monster itu bersarang di bukit itu?"

"Tidak. Kami kan tidak setengah-setengah saat mengintai di bukit itu. Makannya, kami sangat berani untuk menggantikan polisi untuk mengatasi perkara ini. Jadi, kami hanya memberi larangan itu kepada mereka."

"Owh, mungkin. Paman yang tadi sudah mengetahui bahwa Monster itu sudah tidak ada di sana, saat kemarin secara sengaja atau tidak sengaja mencobanya. Atau bisa jadi, paman yang tadi sedang memastikannya lagi."

"Iya juga ya. Kau ada benarnya. Pasti akan terjadi hal yang seperti ini lagi, pasti akan ada yang menyadari keberadaan Monster itu tidak bersarang. Untungnya Kau segera memberi ide brilianmu. Besok, Aku harus cepat-cepat mengusir orang itu dari bukit dan daerah ini."

Rafael meneguk minum. "Gawat!" panik Rafael saat menoleh ke arah jam Classic, yang menempel di dinding. "Sudah jam segini! Aku harus segera pulang ke rumahku."

"Kau ingin pulang? Memangnya Kau bisa pulang sendiri, dengan tubuhmu yang masih lemas itu?"

"Hei, Kau antar Aku pulang lah. Masa membiarkanku berjalan kaki?" ucap Rafael dengan tatatapan sinis.

"Baiklah, baiklah. Aku siapkan dulu kendaraan kesayanganku, Alexander Martin."

"Martin? Bukannya itu namamu?" kata Rafael.

"Bagaimana Kau bisa tahu?"

"Aku bisa membacanya pada nametag mu."

"...., Sudahlah, Aku akan mengambilnya di garasiku," ucapnya sebelum menjauh dari pandangan Rafael, tuk mengambil kendaraannya.

Rafael sudah berada di depan Cafe, dengan motor milik Martin yang dijuluki Alexandernya. Rafael menunggangi bagian jok belakangnya, yang ternyata sangat nyaman baginya.

"Kau sudah siap?" kata Martin sebelum terdengar suara teriak seseorang, yang memanggilnya dari kejauhan.

"Martin! Tunggu!" panggil seorang gadis sambil tergesa-gesa menghampirinya.

"Alana? Ada apa?" tanya Martin kepada Gadis dari Ibu-ibu, yang tadi memukul Rafael.

"Untunglah kalian belum berangkat. Ini, ada makanan ringan buatan kami untukmu. Sebagai bentuk terimakasih kami, karena telah menyelamatkan ayahku," kata Alana sambil menyerahkannya kepada Rafael.

"Ah, terimakasih banyak."

"Sekali lagi, Aku minta maaf karena ulah Ibuku yang terpancing emosi."

"Sudahlah, tak usah dipikirkan. Hal itu wajar terjadi, karena yang namanya manusia, pasti begitu ketika menghawatirkan keluarganya."

"Ya, sudah Alana. Kami berangkat dulu ya," kata Martin.

"Tunggu!" sahut Rafael. "Kudapan ini apakah aman untuk dikonsumsi?" kata Rafael dengan tatapan sinis.

"Apa?! Sejak tadi Kau tidak percaya dengan orang lain! Masa Kau menuduh niat baik orang yang telah Kau tolong?" kesal Martin padanya.

"Kau paca-" kata-katanya terhenti saat Martin mendadak menancapkan gasnya sambil berkata, "Kami pergi dulu Alana!"

Alana yang melihat itu, terheran-heran dibalik kepulan asap dari motor itu, yang membuatnya terbatuk-terbatuk.

"Sekarang, Kau tunjukan rumahmu di mana?" tanya Martin setelah keluar dari perbatasan.

"Aku minta, sampai gedung sekolah itu saja," katanya sambil menunjuk gedung sekolahnya.

"Kenapa hanya sampai sana? Lumayan dekat sekali, kita hanya menyebrangi dua perbatasan saja loh."

"Tidak apa-apa. Rumahku dekat di sana soalnya."

Tibalah mereka di tempat yang dimaksud Rafael, yakni di depan gedung sekolahnya sendiri. Ia turun di sana sebelum berpisah dengan Martin, yang telah mengantarkannya.

"Terimakasih banyak, Kak Martin."

"Iya, sama-sama," kata Martin sebelum pergi meninggalkan Rafael sendirian di sana. Namun, ketika menjalankan motornya, terbesit sesuatu di pikiran Martin. "Oh, iy-" ucapannya yang terputus seketika, kaget melihat Rafa tiba-tiba sudah tidak ada di sana, padahal hanya selisih lima belas detik sebelum ia menoleh. Martin celingak-celinguk, ke arah sekitarnya dengan seksama. "Kok tiba-tiba Dia tidak ada?" ujarnya yang mulai diselimuti rasa takut, sebelum dengan cepat kabur begitu saja.

"Untunglah, Aku sudah sampai di atas sebelum Dia menengok ke arahku." Rafael melanjutkan pulangnya, melompat dari atap-ke atap bak seekor tupai lihai. Sebenarnya, Rafa hanya minta diantar ke tempat yang sepi, agar dapat menggunakan skill pasifnya untuk lebih cepat ke apartemen yang cukup jauh.

Sebab tak mungkin ia melompat tanpa topeng dan costumnya dari cafe itu. Terlebih lagi ia takut dicurigai melakukan hal yang aneh-aneh dan membuat penasaran orang-orang, jika ia mencari tempat sepi di sana. Kemudian, tibalah Rafael di balkon apartamennya tanpa ada seorang pun yang melihatnya.

"Oh, tidak. Aku seperti anak-anak nakal saja, yang sering pulang larut malam. Semoga saja besok tidak bangun kesiangan," ucapnya saat melihat jam pada dinding kamarnya.

Rafael terduduk di kasur empuknya, menarik nafas segar sejenak, menenangkan otot-ototnya. Tak lama kemudian, tatapannya tertuju pada Lemari Bajunya yang berada di depan matanya persis.

"Kemarin. Aku baru saja mengambil permintaanku. Tapi, Aku malah lupa untuk membawanya setiap keluar." Rafael terdorong untuk bangkit berdiri oleh rasa penasarannya. Membuka lemarinya, mengambil serta mengenakan, baju yang dibicarakannya itu.

"Baru sekarang, Aku sempat mencobanya." Telihat jelas, Rafael mengenakan jaket hitamnya yang telah berubah menjadi, Costum Hakim Tengah Malamnya meskipun sementara.

"Aku tidak boleh membiarkannya begitu saja di dalam lemari. Bodoh sekali, jika tadi Aku ketahuan."

Ia maju selangkah, ke jendelanya yang menampilkan pemandangan dari kota malam. Lalu ia termenung sesuatu, "Mereka yang menjadi budak uang, hanya menyebabkan hal yang sangat menyusahkan dan membahayakan bagi manusia, yang sifatnya tidak seperti mereka."

"Aku harus mulai mencari para Mamon itu, sebelum sesuatu baru terjadi. Ada dua hal yang ingin Aku lakukan besok, di kota ini. Pertama berpatroli untuk mencegah sesuatu yang bahaya terjadi. Atau melihat berita dulu yang menampilkan tempat dari kejadian aneh, kemungkinan adalah sarang dari para Mamon itu?" Kemudian Rafael melihat polisi yang tengah berpatroli malam, dari jendelanya. "Sepertinya, Aku harus mencoba dari patroli dahulu. Tidak usah lama-lama, tiga jam saja sudah cukup. Karena Aku juga masih sekolah, kecuali pada malam weekend."