Rafael telah tuntas, mengantarkannya dengan selamat sampai rumah kediaman dari korban itu. Kemudian, Rafael pulang ke rumahnya dengan noda darah di masker serta di bagian jaketnya yang sudah mengering.
Tiba di balkon apartemennya, Rafael hampir saja,membuka secara penuh topengnya, sebelum menyadari di kamarnya terlihat ada banyak orang. Dengan cepat, Ia melompat ke bawah untuk menghindari orang-orang itu, yang entah siapa dan salah satunya sempat menoleh dibalik bayang-bayang korden. Mau tak mau, Rafael melepas costum kotornya di suatu tempat, lalu masuk melewati pintu secara normal layaknya orang biasa.
"Kejutan!" teriak mereka, saat Rafael membuka pintu kamarnya sendiri.
"Apa? Kenapa kalian berada di sini?" ucapnya kepada Maya, Clara, Dewi dan Ivana, serta Natalie dan Mickle juga berada di kamarnya.
"Apa Kau sudah lupa ya?" ujar Ivana. Rafael baru tersadar, dirinya berulang tahun pada hari ini setelah melihat hiasan-hiasan berwarna-warni, serta kue ulang tahun yang dibawa tangan Natalie Angel.
"Hari ini kan, hari ulang tahunmu."
Rafael terkejut haru, melihat perbuatan mereka yang telah dipersiapkan sejak entah kapan, bahkan hampir membuatnya meneteskan air mata oleh kejutan yang telah dipersiapkan teman-temannya itu.
"Kalian menyiapkan semuanya ini?" tanya Rafael sambil mengelap setetes air mata haru.
"Iya, Kami sudah membuat rencana untuk memberimu kejutan, di hari ulang tahunmu. Tenang saja, kami sudah lebih dulu meminta izin kepada Ibumu kok," kata Clara dengan senyuman imut.
"Terimakasih banyak kawan-kawan," ucap Rafael terharu. "Aku sendiri saja lupa, hari ini adalah ulang tahunku. Bagaimana Kalian bisa tahu hari ulang tahunku, hari ini?"
"Kami kan teman-teman sekelasmu. Terlebih lagi Ivana dan Maya yang memegang jabatan sekretaris kelas, sudah pasti sering melihat data absen di kelas kita."
"Benar. Aku dan Natalie juga ikut diundang mereka, untuk berkontribusi memeriahkan pestanya."
"Benar juga. Bagaimana Kalian berempat bisa mengenali dua sahabatku ini? Mickle dan Angle?" kata Rafael.
"Sudah berapa kali ku bilang, panggil Aku Nata!" sahut Natalie yang membuat serentak, mereka tertawa lepas karena tingkah lucu Nata.
"Jadi begini, Aku kan sudah pernah menyelidikinya lewat misi rahasia yang waktu itu. Karena Aku gagal untuk menyelidiki barang-barang kesukaanmu, Aku memutuskan untuk mengajak orang-orang terdekatmu dari kelas lain. Yakni mereka berdua, yang pernah Aku lihat sangat akrab denganmu."
"Jadi, misi yang waktu itu Kau maksud. Untuk persiapan hari ulang tahunku ini." Rafael tersenyum haru. "Sekali lagi, Aku berterima kasih banyak, kawan-kawan."
"Oh, iya. Meskipun kami tidak tahu kado apa yang terbaik untuk mu. Tapi masing-masing dari kami tetap menyiapkan kado ultah, untukmu Rafa."
Rafael menoleh ke arah kasurnya, dan terdapat kado-kado yang berjumlah enam kotak yang berbeda. "Mari kita rayakan ulang tahun Rafael! Dan Kau membuka kadonya nanti saja," kata Ivana.
Rafael tersenyum, dan mereka merayakan ulang tahun Rafael yang penuh dengan keceriaan itu, di kamar pribadi milik Rafael. Terlihat begitu meriah dan manis dari kegembiraan mereka, terutama Rafael yang menjadi sirna rasa lelahnya, meskipun pestanya sederhana.
Perayaan ulang tahun telah berlalu, dan ternyata sudah genap tiga minggu untuk mengambil Costum pesanan aslinya itu. Bertemulah Rafa dengan Kak Andrew yang berada di dekat pintu masuk.
"Selamat siang, Kak!" salam Rafa.
Andrew menoleh. "Iya, ada yang bisa Saya bantu?"
"Aku ingin mengambil kostum pesanan ku, tiga minggu yang lalu, Kak. Atas nama Rafael, jenis Costum assassin."
"Oh, Kau remaja yang waktu itu ya. Sebentar, Aku telah mengemasnya dengan sangat rapih."
"Apakah Aku boleh mencobanya dahulu?" tanya Rafael yang menghentikan langkah Kak Andrew sejenak.
"Iya. Tentu saja."
Andrew, mengambil pesanan Rafael yang terlihat pada sebuah kemasan yang seukuran kotak sepatu, kemasannya terlihat sangat rapih apalagi isinya. Rafael sudah tak sabar ingin mencoba pakaian Hakim Tengah Malam barunya, agar lebih menutupinya serta membuat identitas Hakim Tengah Malam, jika ia ketahuan oleh orang-orang.
"Wahh.. Bagus sekali!" puji Andrew ketika melihat Rafael keluar dari ruang ganti, mengenakan kostum itu. Rafael mengerak-gerakan seluruh bagian tubuhnya, meloncat serta berlari normal untuk mencoba fleksibelitas costumnya dan ternyata sangat bagus, tidak menganggu pergerakannya sedikit pun.
"Nyaman sekali sih, bahan ini. Tapi, tidak singkron dengan usiaku dan otot-ototku. Aku seperti melihat pahlawan yang seumuran dengan Kakak dan berbadan kekar," kata Rafael sambil melihat dinding kaca di hadapannya.
"Justru dengan itu, Kau bisa mengagetkan teman-temanmu ketika pergi ke pesta kostum. Dan orang-orang tidak akan menyadari kalau itu Kau, dan membuat mereka sampai terheran-heran. Bagaimana bagus kan ideku?" kata Si Jenius Andrew.
Rafael tercengang. "Wah! Benar juga, kalau Aku mengenakan costum ini. Benar-benar tidak ada yang mengenaliku sama sekali, apalagi baju ini sangat ringan dan tidak kebesaran. Kok bisa ya, terlihat seperti orang dewasa, tapi di dalamnya ramping dan sesuai dengan ukuran tubuhku?" dalam hatinya.
"Kenapa Kau diam? Apa Kau tidak suka dengan buatan tanganku?"
"Ah, tidak kok. Aku hanya terheran-heran saja, Kok bisa ya? Terlihat seperti orang dewasa yang seumuran Kakak. Padahal costum ini tidak kebesaran saat Aku memakainya?"
"Bagaimana? Sekarang Kau sudah tahu kualitas designer-designer di sini kan?" kata Kak Andrew yang mengejutkan Rafael.
"Ka-kak, seorang designer? Sejak kapan?" kaget Rafael.
"Aku dan Jessy, sejak bertemu dengan Kau. Kami memang adalah Designer pakaian, terkhusus untuk Costum dan Cos-play. Kami sengaja tidak memberitahumu saja di saat itu."
"Kenapa? Pentingnya apa, pakai dirahasiakan segala? Aku malah mengira, tempat ini hanya untuk menjahit saja."
"Supaya Kau tidak perlu takut untuk membuat costum di sini!" sahut Jessy yang baru saja tiba di hadapan mereka.
"Jikalau, Kami memberitahumu sejak awal. Kau pasti akan minder dan tidak jadi untuk mencostum bajumu di sini. Karena Kau akan langsung berpikir harganya mahal."
"Benar. Itulah alasan kami kenapa tidak memberitahu orang baru seperti mu. Kami ingin menunjukan bisa menyesuaikan kebutuhan pelanggan dengan harganya," sahut Andrew.
"Baiklah. Aku mengerti! Terima kasih banyak Kak Jessy, Kak Andrew. Aku akan menyarankan tempat yang bagus ini, sebagai tempat dengan kualitas terbaik."
"Iya. Sama-sama."
Rafael pergi dari tempat itu, setelah membayar dan mengemas pakaian yang begitu terlihat memukau bagi dirinya. Seperti tidak pernah menyangka, mempunyai costum yang akan mengidentifikasikan sebagai Hakim Tengah Malam.
"Yah, meskipun Aku tidak berharap untuk memamerkan ini. Setidaknya, ini membuatku lebih percaya diri ketika bartarung di hadapan orang yang ku tolong. Tanpa harus takut ketahuan oleh mereka," dalam hatinya yang tengah berjalan sambil membawanya.
Rafael segera menuju ke restoran Kok Joshua, meskipun Ibunya telah sembuh dan semua biaya rumah sakit telah lunas. Ia tetap bekerja part time di sana, karena dua alasan yang masih dipegangngya. Yakni, Ia sudah terbiasa bekerja part time di sana dan sudah terlalu akrab dengan Kak Joshua, sehingga sangat sulit bagi dirinya untuk move on.
Kedua, Rafael juga tetap membutuhkan uang untuk biaya sekolah yang akan datang, agar tidak terlalu membebankan Ibunya, sekaligus untuk uang keperluan sekolah lainnya, seperti jajan dan uang kas.
"Hai, Rafael. Selamat Ulang tahun," ucap mereka semua, menyambut kedatangan Rafael di restoran tersebut. Sontak, membuat Rafael terkejut dengan aksi mereka.
"Ulang tahunku, sudah lewat tiga hari yang lalu."
"Ya, maafkan kami. Gara-gara kami baru ingat, kami hanya bisa mengucapkannya saja. Kami sangat telat untuk memberimu kejutan."
"Tidak masalah. Justru, kalian masih sempat ingat dan sempat untuk mengucapkannya saja, sudah cukup bagiku. Sebenarnya, tidak masalah untuk tidak mengucapkan, karena Aku tidak pernah memaksa."
"Jangan bilang begitu. Lain kali, kami akan menyiapkan kejutan special untukmu," ujar Joshua.
"Baikah," jawab Rafael sebelum menaruh barang bawaannya ke dalam lacinya. Kemudian mencuci piring-piring kotor seperti biasanya. Pada saat tiba jam istirahat kerja, Rafael duduk di bagian paling belakang dapur, dengan kipas yang berputar sepoi mendinginkannya.
"Kemarin, level pada skill tiganya sudah terbuka semua keempat-empatnya, tapi sampai sekarang Aku belum sempat melihat skill yang baru terbuka itu. Lebih baik, Aku melihatnya lebih dulu sebelum menggunakan skill tingkat tinggi itu," ucap Rafael yang terlihat begitu penasaran.
Ia dibuat terkejut saat melihat lembar kertas, berisi skill ke empat yang masih terkunci. "Bagaimana bisa?" Kemudian ia menemukan tulisan di balik lembar pada skill ke empatnya.
Ada sebuah catatan yang bertuliskan, "Telah melakukan pelanggaran sebelumnya. Maka skill berikutnya tertutup kembali meskipun level pada skill tiga sudah lengkap."
"Apa? Pelanggaran apa? Apa di saat itu Aku salah karena langsung kabur begitu saja, dan membiarkan perampok itu pergi?" heran Raael di benatnya. Rafael kemudian, terbesit sesuatu di dalam kepalanya, teringat akan suatu hal yang sepertinya benar. "Pelanggaranku, apa waktu itu hampir melukai manusia dengan pedang itu?"
Beberapa menit ia merenung, lalu teringat akan mimpi yange pernah ia alami itu. "Sepertinya benar. Saat Aku ingin melukai perampok itu, tiba-tiba saja pedangku menghilang begitu saja. Dan di mimpi waktu itu, Dia bilang bertanggung jawab sebagai Pahlawan Suci. Itu artinya, tidak boleh melukai manusia, karena Aku bertugas hanya untuk Menghakimi para Mamon itu! Ah, artinya Aku harus mengayun pedang ini lebih banyak lagi dong."
Terdengarlah suara televisi pada bagian dapur, di hadapannya memberitakan seseorang yang tak terlihat asing bagi Rafael, terkapar pingsan penuh luka, di sebuah jalan sepi waktu itu.
"Itu... perampok yang waktu itu kan? Apa yang terjadi dengannya? Apa ini ulah Mamon busuk itu? Mana mungkin."
"Dari identitas korban, Korban adalah perampok perhiasan yang selama ini buronan polisi. Diduga, korban baru saja merampok seseorang di malam hari, yang terlihat dari sebuah kalung tanpa permata di tangannya. Lalu dirampok kembali oleh seseorang yang entah perampok lain, atau pemilik sebenarnya," suara Reporter dari televisi tersebut.
"Itu.... kalung milik orang yang kuselamatkan itu kan? Ternyata memang benar, dia punya permata dan sekarang tidak ada di kalungnya. Tidak mungkin, dia kembali lagi untuk mencurinya. Karena dari tampilannya saja, dia benar-benar anak kuliah yang biasa-biasa saja," dalam hati Rafael yang terlihat heran.