"Ketika Aku memutuskan untuk berhenti, Aku juga perlu persiapan. Sebelum Aku benar-benar berhenti untuk memberi mereka uang, Aku mempelajari bela diri terlebih dahulu selama satu bulan. Tapi Aku malah ragu menggunakannya di saat sudah waktunya tiba. Maka, jadinya Aku yang dipukuli mereka sebelum Kau datang menolongku. Aku ragu karena terlalu takut, tapi Aku lebih takut jika harus merepotkan orang lain lagi."
"Owh.. pantas saja di saat itu Kau menolak untuk ditolong. Soalnya, Kau sudah menyiapkan diri tapi malah ditolong orang lain ya?" kata Rafael dengan tatapannya yang berubah menjadi hangat.
"Benar. Benar sekali. Tapi yang lebih membuatku terkejut adalah, aksimu tadi, yang tiba-tiba membawanya melompat dari jendela. Bikin shock saja."
"Hehehe.. maaf-maaf. Habisnya, tadi Kau diancam oleh senjata tajam. Ya Aku coba saja untuk menyelamatkanmu, dan semoga membuat mereka kapok."
"Sebenarnya Aku bisa membela diri dari senjata tajam. Apa Kau tadi tidak melihatku sudah menyiapkan ancang-ancang?"
"Tidak sih. Aku hanya mencoba untuk membantumu, apalagi karena Aku shock melihat aksi yang berbahaya seperti tadi."
"Kau juga membuatku shock tahu! Dengan Aksi yang lebih berbahaya dari Bos preman itu! Padahal, dia juga belum menyerang. Lain kali, jangan lakukan itu lagi atau jangan lakukan itu lagi di depanku. Kali ini saja Kau membuatku shock, okay?"
"Baiklah, Kau juga lain kali beri tahu Aku kalau bisa bela diri. Jangan disembunyikan seperti itu."
"Sekarang kan Kau sudah tahu! Kenapa harus kuberi tahu lagi?" kata Mickel dengan nada kesal.
"Oh, iya benar," tingkah nyeleneh dari Rafael karena dirinya masih ragu, jawabannya dipercaya atau tidak oleh Mickel.
"Lalu, bagaimana dengan pisau itu? Apa Kau sudah mengamankannya?"
"Sudah, tapi ternyata hanya sebuah pisau mainan. Mungkin niatnya untuk mengerjai Kau. Atau melemparkan pisau mainan itu, sebelum lari," kata Rafael sambil mengelus dagunya.
"Bisa jadi. Orang-orang seperti mereka, tidak mau terlihat cupu di depan anak buahnya. Niatnya hanya bercanda, tapi gara-gara Kau, hampir membahayakan nyawa orang lain dan dirimu."
"Sudahlah, jangan dibahas-bahas. Aku tahu, Aku salah ketika melakukannya. Lain kali, Aku akan diam saja saat Kau berkelahi dengan mereka."
"Bagus, itu lebih baik." Begitulah mereka berbincang sambil menyantap makan siangnya, hingga bel masuk mengeluarkan bunyi yang paling dikeluhkan mereka.
Tibalah dimana Rafael sudah berada di rumah Natalie, usai meminta alamatnya lewat media chat. Sebelumnya, ia juga telah meminta izin pada Kak Joshua untuk yang kedua kalinya.
"Sekarang, kita mulai dari mana ya? Di sini babnya banyak sekali," ucap Rafael sambil membaca buku yang waktu itu dipinjamnya, dari perpustakaan lokal.
"Tidak usah. Buku ini Kau simpan saja," kata Natalie yang mengambil buku itu dari tangan Rafael. Mereka sedang berdiri di tengah-tengah halaman belakang rumah milik Natalie, yang luasnya sebesar lapangan tenis. Dengan setiap sisinya terdapat bunga-bunga indah, yang menghiasi sekeliling halaman itu.
"Ha? Simpan saja? Apa Kau mengganggap buku ini tidak berfungsi?"
"Bukan seperti itu. Semua isi buku ini berisi tentang teknik pedang untuk yang profesional, dan sangat berbahaya sekali. Apa Kau lupa ya? Aku hanya mengajarkanmu mengayun dan menangkis. Kau sendiri yang bilang hanya ingin menguasai itu."
"Benar juga. Saking excitednya, Aku sampai melupakan itu. Lalu, bagaimana dengan alat latihan yang Kau maksud? Apa benar, Kau yang membuatnya sendiri?"
"Iya, benar. Nanti Aku tunjukan padamu, saat sudah selesai mengajarimu latihan dasarnya."
"Baiklah, tolong bantuannya ya, Sensei!" kata Rafael sambil hormat menunduk padanya.
"Sudahlah, jangan berlebihan! Aku hanya membantu saja, soalnya Aku tak tega melihat wajah murungmu waktu itu." Dalam hati Natalie, "Kau kalau lagi murung, cute banget."
Rafael mengangkat kepalanya. "Baiklah. Ngomong-ngomong pedangmu bagus juga, ada motif-motifnya," puji Rafael yang melihat motif bunga, pada pedang yang dipegang Natalie.
"Terimakasih. Tapi pedangmu kemana? Apa Kau lupa membawanya?" tanya Natalie yang melihat Rafael berdiri dengan tangan kosong.
"Owh.. benar. Aku lupa mengeluarkannya dari dalam tasku. Sebentar ya." Rafael pergi mengambil tasnya yang berada di teras belakang rumah itu. Dan kembali dengan membawa sebuah pipa pendek di tangannya.
"Jadi, pedangmu terbuat dari pipa berdiameter sedang ya. Tapi pendek sekali?"
"Lihat dan perhatikan." Rafael memutar pipa di tangannya, kemudian menjadi panjang dan siap digunakan. Pipa itu terbuat dari rangkaian komponen pipa berukuran panjang dan sedang, dengan penghubung-penghubungnya. Lalu dirangkainya menjadi pedang pipa rakitan, yang bisa dipanjangkan dan dipendekkan.
"Jadi, Kau membuatnya agar bisa masuk ke dalam tasmu ya. Lalu, supaya bisa dengan mudah dibawa kemanapun."
"Sebenarnya, Aku membuat ini karena malu jika membawa pedang secara utuh. Jadi, ya kubuat saja yang bisa ditaruh ke dalam tas, dan tidak terlihat mencolok saat membawanya."
"Baiklah, kuharap pipamu tidak patah dengan pedang kayuku. Ayo kita mulai dari empat ayunan: Horizontal, Vertikal, Menyamping kanan, dari atas dan bawah serta Menyamping kiri, dari atas dan bawah. Teknik ini juga digunakan untuk menangkis," jelas Natalie sambil memperagakannya.
Secara langkah demi langkah, Natalie mengajari gerakan mengayun hingga bisa diperagakan oleh Rafael. Selepas Rafael bisa menguasai gerakan yang diajarkan Natalie. Mereka mulai mensimulasikan gerakan tadi, secara pertarungan nyata.
Rafael mengayunkan pedangnya dengan gerakan tadi, dan Natalie menangkisnya dari perlahan-lahan sampai bertarung dengan sangat serius. "Bagus! Kau sudah bisa melakukannya dengan benar. Setelah ini, Kau belajar bertahan dengan ayunan tadi."
Natalie mulai menyerang Rafael secara tiba-tiba, maka secara refleks Rafael berhasil menangkis serangan pertamanya. "Bilang-bilang dong!" teriak Rafael sebelum ia kembali menangkis serangan kedua dari Natalie.
Begitulah mereka berlatih menyerang dan bertahan hingga rasa lelah benar-benar menguasai diri mereka. Maka mereka sepakat untuk beristirahat sejenak selama sepuluh menit.
"Habis ini, kita mempelajari apa? Atau Kau akan segera menunjukan alat latihannya?" kata Rafael yang nampaknya sudah tak sabar.
"Tidak secepat itu, ferguso. Ada lagi yang harus Kau pelajari sebelum melihat alatnya. Aku akan mengajarimu mengincar bagian lawan sebagai targetnya, seperti seekor singa yang tanpa ragu menerkam mangsanya."
"Begitu ya. Ternyata, Kau hebat juga bisa mengajari orang lain, padahal hanya setengah jalan saja Kau mempelajarinya."
"Ya, Aku memang mempelajarinya hanya setengah jalan, dan baru bagian dasarnya saja. Latihannya tidak bisa dibilang lembut, benar-benar keras. Karena itulah Aku berhenti, dan bisa menangkis semua seranganmu."
"Benar, Kau bisa menghindari dan menangkis semua seranganku dengan mudahnya. Hanya Aku yang memar pada bagian kaki, karena kalah cepat dan kalah kuat dari ayunanmu. Belum termasuk, lengan, dada, pinggang dan punggung. Benar-benar hebat."
"Ayo, kita berlatih lagi. Sudah sepuluh menit kita beristirahat," kata Natalie setelah ia menghabiskan minuman jeruk yang masih tersisa sepertiga. Begitu juga dengan Rafael yang kembali berdiri setelah menghabiskan minumannya.
Natalie mengambil sebuah lilin mainan yang dilekatkannya pada bagian dahi, kedua bahu, kedua lengan, pinggang, dan kedua kakinya. Ia bermaksud agar Rafael mengenai lilin-lilin itu dengan pedangnya, tapi tidak semudah itu. Rafael harus mencari celah dari pertahanan Natalie, agar bisa mengenainya.
"Baiklah. Aku akan mengenai lilin-lilin itu dengan pipa ini."
"Ya, semoga Kau bisa mencari celah dari pertahananku. Jadi, cobalah untuk mengenainya kalau bisa!"
Rafael mulai menyerang lilin-lilin itu secara acak, dan Natalie masih bisa menangkis semuanya itu. Natalie tidak akan menangkisnya saja, namun juga menyerang Rafael seakan benar-benar pertarungan pedang sungguhan.
Lagi-lagi, Rafael dibuat merasakan sakit dari serangan Natalie yang berhasil mengenainya lagi. Bukan hanya rasa lelah yang dirasakan mereka berdua, tapi juga adrenalin yang bergejolak pada semangat mereka. Serta rasa sakit yang harus diterima jika lalai sedikit saja, seperti yang baru saja terjadi pada Rafael.
"Kau tidak harus mengenaiku jika sudah tak sanggup. Yang terpenting ayunanmu sudah tidak kaku." Rafael masih menyerangnya, seperti tidak mau menyerah tuk mengenai lilin-lilin itu, meskipun hanya sedikit saja yang diharapkannya.
"Fuhh..Fuhhh," suara lelah dari mereka berdua setelah berselang lama. Tapi yang terlihat lebih lelah adalah Rafael. Dia sudah hampir tak berdaya karena kelelahan yang sudah menguasainya, sehingga rasa sakit yang diterima tidak dirasakannya pada saat itu.
"Latihannya sudah cukup sampai di sini. Maaf sudah membuatmu sedikit memar," ucap Natalie saat melihat Rafael berlutut tak berdaya, dengan pedangnya sebagai penopangnya berlutut. Ditambah lagi, beberapa bekas luka ringan yang terlihat di tangan, bahu, dan lengan Rafael.
Natalie maju menghampiri Rafael yang bercucuran keringat di sekujur badannya, dari wajah sampai kaki. Saat Natalie mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Secara tiba-tiba, Rafael mengayunkan pedangnya ke atas kepala Natalie, dan hampir mengenai dahinya.
Tak sampai di situ, Rafael memutar tubuhnya dan dengan cepat kakinya mengincar pedang di tangan Natalie. Alhasil, pedangnya Natalie terlepas dari genggamannya, karena tendangan Rafael berhasil mengenai bagian tangan Natalie yang mengenggam pedang.
Setelah terlepas, Rafael menghunuskan pedangnya ke perut Natalie, tapi di saat bersamaan. Natalie berputar untuk menghindarinya sekaligus melakukan tendangan berputar yang berhasil membuat pedang Rafael, terhempas ke atas.
Natalie dengan cepat menangkapnya dan menyodorkan pedangnya ke leher Rafael, sehingga Dia tak berkutik. "Okey, Aku sudah menang. Ternyata, Kau bermaksud menjebak ku ya."
Dengan nafas lelah, Rafael hanya bisa pasrah dan mengangkat tangannya untuk menyatakan dirinya telah kalah. Kemudian Rafael terbaring tak berdaya, sudah tak kuat berdiri karena gerakan tadi adalah serangan terakhirnya.
"Kau sangat kelelahan sekali ya? Kau benar-benar serius untuk mengenai lilin-lilin ini. Padahal, ini hanya untuk menghilangkan kekakuanmu saja, jadi tak harus mengenainya."
"Aku minta waktu lima belas menit."
"Baiklah, akan kubawakan minum lagi. Dan akan menunjukan alat bantunya, setelah lelahmu pudar."