Lantai atas yang dimaksud Joshua adalah tempat penyimpanan bahan baku, yang terbilang tidak terlalu luas.
"Coba ceritakan masalahmu."
"Aku ditagih uang sekolah. Tunggakanku akhir-akhir ini semakin naik, karena Spp dua bulan yang terpotong karena kebutuhan dadakan, ditambah lagi uang buku untuk semester baru ini. Jadi, apa Aku boleh meminjam uang untuk salah satu tunggakanku? Jika tak ada juga tidak apa-apa."
"Oh, Kau tenang saja. Uangnya ada Kok, Kau butuh berapa?"
"Apa Kau masih ingat biaya Sppku untuk satu bulan, yang pernah Kuceritakan pada Kakak?"
"Ehm... Oh ya, pernah. Dan Aku masih ingat dengan jumlahnya." Kak Joshua mengeluarkan sejumlah uang, yang sesuai dengan jumlah Spp Rafael tuk dua bulan.
"Ini... ini lebih dari uang Spp-ku Kak. Aku hanya ambil yang sesuai dengan jumlah Sppku saja."
"Sudah, Kau ambil saja dan tak usah dikembalikan. Itu adalah uang bonus untukmu," kata Joshua Abraham dengan senyuman tulus.
"Sebanyak ini untukku? Bahkan ini lebih dari, jumlah uang sppku selama lima bulan. Ini uang apa sebenarnya, Kak Joshua?"
"Uangnya memang untukmu kok, sebagai bonus dari keuntungan restoran kecil ini. Apa tadi Kau tidak lihat, restoran kita sudah sepi?"
"Lihat. Bukannya sampai hari ini masih sepi pelanggan?"
"Kau salah, restoran kita sejak tadi pagi ramai sekali. Karena buku yang telah Kau pinjamkan itu padaku."
Hal itu membuat Rafael tercengang sekaligus terkejut haru, mendengar perkataan dari Kak Joshua. "Kenapa bisa secepat itu?"
"Kemarin, Aku sengaja membuka dadakan restoran ini setelah pulang gereja. Aku sangat penasaran dengan kemanjuran buku itu, sewaktu Aku membacanya semalaman. Alhasil, dari hasil kemarin Aku buka dadakan untuk mencoba resep buku itu. Membuat tadi pagi sangat ramai, sampai sebelum Kau datang kemari sudah habis. Sekarang, Aku mau bersiap-siap untuk besok."
Rafael sangat berkaca-kaca mendengarnya, "Terima kasih Kak."
"Aku yang harusnya berterima kasih. Ini semua karena Tuhan yang membuat keajaiban."
"Iya, Bless the lord. Kalau gitu, Aku mau pergi mencuci piring ya."
"Eh, tak usah." Rafael yang hendak bangkit berdiri, terhenti karena ucapannya. "Kau bantu bersih-bersih toko ini saja. Urusan piring sudah beres semua, jadi Kau bantu kita bersih-bersih dan tutup resto saja."
"Baik Kak!" ucap Rafael sebelum ia memasukan uangnya itu, ke dalam amplop yang berada di atas meja penyimpanan.
Pada keesokan harinya, Rafael dengan hati yang gembira, sudah siap untuk melunasi semua tunggakan sekolahnya. Namun, kejadian yang tak terduga tengah terjadi di hadapannya. Rafael melihat seseorang yang tengah dirudung oleh tiga orang preman sekolah, saat melewati lorong yang memang terkenal sepi.
Lorong itu adalah jalan pintas yang menghubungkan ruang administrasi, dari kelasnya Rafael. Namun karena banyak yang memilih naik lift, membuat lorong itu menjadi sepi.
Merasa tak tega, membuat ia menolong seseorang tersebut dengan menghampirinya. "Hoi!" teriak Rafael sambil mendekati mereka berempat.
Seketika mereka menoleh. "Siapa Kau?" tanya seseorang yang terlihat, seperti Bos dari mereka.
"Apa Kalian tahu, bagaimana rasanya sakit? Atau merasa kesakitan?"
"Apa maksudmu? Kau datang untuk menantang kami ya?" ucap Bos mereka dengan senyum yang menyebalkan.
"Bukan itu maksudku. Tapi Aku hanya bertanya saja pada kalian," jawabnya dengan mata penuh pertahanan.
Bos tersebut tiba-tiba tertawa. "Ya sudah pasti kami tahu dong. Hanya Kau saja orang aneh yang tiba-tiba menanyakan hal itu!"
"Lalu, kenapa Kalian menyakitinya? Ada masalah apa kalian dengannya?"
"Masalah? Oh iya, benar juga. Dia sudah tak mau lagi memberikan kami uang. Padahal, Dia sendiri yang sudah berjanji untuk memberi kami uang setiap hari. Padahal kami tak memintanya loh."
"Ucapan orang ini, sudah ketahuan berbohong, dan percuma diberi nasihat. Bukan cuma sekedar buta apalagi bodoh, tapi juga keras kepala," dalam hatinya.
Rafael mengeluarkan amplop yang berisikan uang, yang akan dipakainya untuk membayar tunggakan. "Tak masalah jika Aku kasih sedikit saja," dalam hatinya.
"Ini yang kalian mau kan?" ucap Rafael saat menggenggam amplopnya di depan mereka.
"Woi! Apa yang Kau lakukan? Aku sama sekali tidak mengenalmu, buat apa Kau menolongku?"
"Kau diam saja!" balas Rafael kepada orang yang ditolongnya. "Uang ini adalah sebagai ganti uangnya, dan sebagai perjanjian Kau jangan mengganggu dia lagi! Bagaimana?" ucap Rafael kepada preman sekolah itu.
"Apa itu uang asli? Bagaimana jika Kau menipu kami?"
Rafael langsung melemparkan amplop itu. "Periksa saja sendiri! Apa Aku berbohong?"
Bos tersebut menangkapnya dan memeriksa isi dari amplop itu. Tanpa sepatah kata lagi, Bos itu langsung menyuruh kedua anak buahnya, pergi bersamanya, dari hadapan mereka.
"Kau tidak apa-apa? Apa Kau mau ke UKS?" tanya Rafael saat preman sekolah itu sudah kabur.
"Ya boleh, dan terimakasih banyak untuk ini."
Saat sudah berada di dalam UKS, mereka berbincang-bincang mengenai masalah tadi. Terlihat juga, orang yang telah ditolongnya sudah selesai diobati. Sebab saat ditemui tadi, ia sudah terlihat lebam pada wajahnya.
"Kau kenapa baik sekali mau menolongku? Kau kan tidak kenal denganku dan Aku juga tidak mengenalmu."
"Kau pikir, Aku ini bodoh seperti mereka? Aku sangat membenci orang yang beraninya hanya kepada orang lemah. Ya, merekalah yang sebenarnya sangat lemah."
"Begitu ya, kau menolongku karena membenci orang-orang, yang beraninya dengan orang lemah. Baiklah, terimakasih banyak. Siapa namamu?"
"Aku Rafael Fernando panggil saja Rafael."
"Aku Mickle William, panggil saja Mika." Mereka berdua berjabat tangan.
"Kau kenapa bisa sampai dibully mereka? Apa benar Kau yang berjanji untuk selalu memberi mereka uang?"
"Kurang lebih seperti itu. Kelasku berada di ujung lorong itu, dan ditemani oleh dua kelas lain saja. Dan preman itu, membullyku karena Aku terlihat lemah dan tak ada yang peduli denganku. Karena kelas-kelas di lorong itu, lebih dominan kelas preman dan tak ada orang baik yang berani menegurnya. Sejak saat itu, Aku berjanji untuk selalu memberi mereka uang, asalkan tak menggangguku lagi."
"Tapi, Kau ini tampan tahu. Hanya penampilanmu saja yang tak sesuai, dan terlihat culun. Maaf bukan-"
"Ya begitulah! Kehidupan tak seindah dalam novel, dimana orang tampan selalu terlihat sempurna. Berbeda denganku yang terlihat culun dan lemah."
"Oh begitu ya... lalu bagaimana Kau bisa berhenti memberi mereka uang?"
"Seperti tupai yang ahli melompat, dan pada akhirnya jatuh juga. Begitulah Aku, yang ketahuan memberi uang pada orang lain, tanpa alasan yang jelas. Mulai saat itu, Aku memutuskan untuk menegaskan diriku buat melawan mereka. Dengan cara berhenti memberi uang lagi kepada mereka, meski harus dipukuli."
"Tiga kelas yang berada di ujung lorong itu, dekat dengan Ruang tata usaha/administrasi. Apakah dari mereka tak ada yang menegur? Paling tidak mereka sering lewat lorong itu kan?"
"Mereka jarang sekali lewat lorong itu, dan lebih sering lewat lorong yang terhubung dengan lift, yaitu lantai atas. Hanya terkadang saja, di saat mereka telat. Terpaksa melewati jalan pintas ini, yang selebihnya adalah gudang-gudang peralatan sekolah."
"Lalu, apakah ada yang pernah ketahuan saat ada kejadian merudung?"
"Sejak satu semester yang lalu, belum pernah ada. Karena preman-preman itu sangat pintar berakting, di depan guru yang tengah lewat. Dan mereka dengan mudahnya mempercayai senyuman palsu itu, dan menganggapnya sebagai candaan biasa. Aku ingin sekali cepat-cepat naik kelas, agar dapat pindah ke kelas yang lebih layak."
"Sepertinya tempat ini butuh perhatian khusus. Karena tempat ini terlepas dari perhatian kepala sekolah, termasuk seluruh siswa yang jumlahnya sangat banyak ini."
"Kau benar, mana CCTV tidak ada sama sekali. Aku sudah pernah mengajukannya, tapi tak disetujui. Ditolak karena alasan yang aneh; kelas di lorong itu tak lebih banyak dari gudang, dan untuk apa pakai CCTV?"
"Begitu ya. Kejam sekali, bukan Kepala Sekolahnya. Tapi, keberadaan kelas di lorong itu, yang hanya selebihnya gudang, sehingga membuatnya tak ada yang percaya."
"Kalau Kau bagaimana? Kenapa Kau memberikan uangmu untuk menolongku? Apa tak rugi?"
"Ah tenang, karena yang kuberikan hanya separ-" ucapan Rafael yang terputus, seketika mengingat sesuatu yang terlewat di pikirannya.
Rafael menepuk keningnya sendiri, usai meraba-raba semua saku yang ada padanya.
"Waduh, Gawat! Aku lupa mengeluarkan sebagian besarnya terlebih dahulu, sebelum kulemparkan tadi. Padahal, Aku sudah sangat bersemangat ingin melunasi semuanya."
"Melunasi Semuanya? Melunasi apa?" tanya Mika.
"Melunasi semua tunggakanku, dari uang pangkal, spp yang telat dua bulan sama uang buku yang belum kubayarkan."
"Oh begitu ya. Ya sudah, besok kita ketemuan di kantin, dan Aku yang akan membayar semua biayamu."
"Ah, tidak usah. Kesannya seperti Aku yang memalakmu. Lagipula, Apakah Kau mampu untuk membayar semua tunggakanku itu?"
"Tenang saja. Ayahku adalah pengusaha katering terhebat, dan dia sangat mau jika uangnya kugunakan untuk membantu teman."
"Ah, tetap saja Aku merasa tak enak. Sudahlah tak usah, biar Aku cari saja uang penggantinya."
Melihat Rafael yang masih bersikeras menolaknya, membuatnya teringat dengan salah satu khotbah Pastor yang kemarin ia dengarkan.
"Oi, Rafael. Hari minggu kemarin, Aku mendengar khotbah tentang: orang yang kita tolong akan ditolong Tuhan. Dan kita yang menolong orang tersebut, juga akan ditolong Tuhan. Jadi imanku percaya, Tuhan menolongku melalui Kau, dan Kau yang menolongku, juga ditolong Tuhan melalui Aku," ucapnya sambil mengacungkan jempol.
Mendengar perkataan Mika barusan, membuatnya tercengang kagum. Lagi-lagi ia kembali dibuat haru dan berkaca-kaca, oleh orang-orang yang baru ia temui. "Terimakasih banyak Mika!"
"Ah, tak usah sungkan. Aku yang harusnya berterima kasih padamu."
"Ya sudah, kalau gitu kita impas," ucap Rafael sebelum mereka tertawa pecah.
Tibalah hari yang dimaksud mereka tadi, dan mereka telah berada di dalam kantin. Terkejutlah Rafael, saat menerima amplop yang berisi uang, lebih dari uang bonusnya.
"Hah? Benar juga. Aku kemarin lupa memberitahumu, berapa jumlah tunggakan yang ada padaku. Ini Aku kembalikan selebihnya."
"Tak usah. Semua uang itu untukmu, soalnya itu bonus dari papaku. Aku tak tahu alasannya apa, tapi dia bilang pakai saja untuk keperluanmu yang lainnya. Kau pasti sangat membutuhkannya kan?"
"Apa Kau sungguhan? Serius? Ini banyak sekali loh."
"Aku tak ada maksud, apalagi niat untuk bercanda sama sekali. Aku benar-benar serius Rafael."
"Baiklah, terimakasih banyak," ucap Rafael dengan sangat girang, sambil berjabat tangan dengan Mika. "Selebihnya, akan kugunakan sebagai biaya rumah sakit ibuku, beserta obatnya. Thank lord, You are good, You are great and awesome."